- Petrik Matanasi
- 13 Jun
- 3 menit membaca
Diperbarui: 16 Jun
WIDODO Atmosutirto bukanlah tentara reguler di tahun 1965. Pria yang pernah ikut Tentara Pelajar sewaktu revolusi kemerdekaan itu merupakan pegawai negeri di Departemen Luar Negeri. Kampanye Dwikora yang –menentang pembentukan Federasi Malaysia sokongan Inggris– dilancarkan Presiden Sukarnolah yang membuat Widodo diberi pelatihan militer.
Widodo termasuk peserta latihan yang dilatih oleh Pasukan Gerak Tjepat (PGT, kini Kopasgat). Pasukan ini bermarkas di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta.
“Pelatihnya adalah Mayor Soejono, seorang Sukarnois yang pada Peristiwa Gerakan 30 September (G30S) divonis mati oleh pengadilan militer Orde Baru,” aku Widodo Atmosutirto dalam Jejak Kaki di Pasir.
Pelatihan itu sendiri dilakukan di Desa Lubang Buaya. Nama desa itu yang sama dengan nama tempat latihan terjun PGT di Lanud Halim di kemudian hari menjadi satu kerugian bagi AURI (kini TNI AU). Akibatnya, AU harus menanggung beban historis karena diberitakan terlibat secara institusi dalam Peristiwa G30S.
“Adanya kesamaan nama Lubang Buaya, yang satu Desa Lubang Buaya di luar wilayah Halim yang digunakan sebagai tempat pelatihan sukwan oleh Mayor Udara Soejono, dan yang lain adalah dropping zone, yakni lapangan tempat latihan penerjunan bagi pasukan PGT yang ada di dalam wilayah pangkalan Halim; membuat orang perpikir rancu, seakan-akan merupakan satu tempat, padahal keduanya berjarak jauh,” tulis Aristides Katoppo dkk. dalam Menyingkap Kabut Halim 1965.
Lepas dari soal nama Lubang Buaya, Soejono dalam pelatihan sukarelawan Dwikora itu akrab dengan para peserta pelatihan. Suatu kali ketika istirahat pada latihan menembak, Soejono menceritakan sesuatu yang mengejutkan. Soejono mengaku bahwa pistol yang ada padanya adalah pistol yang dia pakai untuk mengeksekusi Sukarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Eksekusi pemimpin Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) itu terjadi di Pulau Ubi, Teluk Jakarta sekitar tahun 1962.
Menurut cerita Soejono, setelah ditembak oleh 12 anggota regu tembak, rupanya Kartosoewirjo belum langsung terbunuh. Soejono lalu menuju ke Kartosoewirjo untuk menunjukkan di mana kelemahannya. Rupanya, menurut sang imam DI/TII itu, peluru yang dipakai untuk menembaknya harus terlebih dulu dibenamkan di dalam tanah sebelum dipakai. Soejono menuruti apa kata Kartosoewirjo. Kartosoewirjo pun kemudian dieksekusi lagi hingga meninggal dunia dan kemudian dikubur.
Begitulah cerita tentang pistol FN Mayor Soejono. Menurut catatan Sekretarias Negara dalam Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia, ia adalah pria kelahiran Kediri tahun 1920 dan dikenal sebagai Pak Joyo.
Ketika G30S meletus, Pak Joyo menjabat sebagai komandan Pasukan Pertahanan Pangkalan di Lanud Halim Perdanakusuma. Di hadapan sidang Mahmilub 2 yang menyidangkan perkara Letkol Untung, Pak Joyo menyatakan tinggal di Kompleks Perumahan Perwira No. 11 di Halim Perdanakusuma. Agamanya Islam.
Mayor Soejono ikut dalam rapat-rapat persiapan G30S bersama Kolonel Latief dan Letkol Untung. Menurutnya ketika ditanya sebagai saksi dalam pengadilan Letkol Untung, G30S diyakininya sebagai upaya penyelamatan presiden.
“Kami bertugas menjaga keselamatan, keamanan daripada Paduka Yang Mulia Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi,” kata Soejono.
Soejono tentu meyakini adanya Dewan Jenderal yang dikabarkan hendak kudeta terhadap Presiden Sukarno. Kabar itu kian hari kian santer, terutama setelah kabar sakitnya Bung Karno meluas. Seperti diumumkan dalam siaran di RRI yang dibajak pada 1 Oktober 1965, Mayor Soejono memegang posisi sebagai wakil ketua Dewan Revolusi.
Setelah G30S, yang menurut beberapa sarjana dan sejarawan dibuat memang untuk gagal, Mayor Soejono tentu dicokok dan ditahan. Lantaran posisinya yang dianggap penting dalam gerakan, ia digolongkan sebagai terdakwa penting yang mesti ditahan di ibukota.
“Mayor (U) Soejono ditahan di RTM (Rumah Tahanan Militer) Budi Utomo (sebelum menjalani eksekusi) menceritakan kepada teman-temannya sesama tahanan bahwa pada tanggal 30 September 1965 malam, ia ditugaskan menjemput Aidit dari rumahnya dibawa ke Pangkalan Udara Halim, tempat G30S menempatkan sentral komandonya,” catat Manai Sophiaan dalam Kehormatan bagi yang Berhak: Bung Karno tidak Terlibat G30S/PKI.
Mayor Soejono melihat bahwa Syam Kamaruzaman, yang kabarnya anggota Biro Khusus PKI –sebuah organ di dalam PKI bentukan Aidit, rupanya tidak melaporkan semua perkembangan gerakan kepada D.N. Aidit.
Orang seperti Mayor Soejono biasanya dihukum mati oleh rezim Orde Baru yang berkuasa menggantikan rezim Orde Lama Sukarno. Yang pasti, setelah 1966 tak ada lagi kabar atau cerita tentang Pak Joyo alias Mayor Soejono.*













Soejono dan sejumlah perwira AU ditahan oleh kolega2nya sendiri di AU yg melakukan penyidikan internal terkait g30s pki. Untuk selanjutnya meteka dikirim ke oditur militer. Omar Dhani juga didepak dari jabatannya oleh perwira2 AU sendiri sebelum ditahan dan dikirim ke oditur militer. Jadi di AU sendiri mayoritas perwira tdk mengetahui keterlibatan AU, sebagian lainnya bahkan menentang dgn tegas aksi g30s pki. Komandan pangkalan udara Manahan Solo bahkan berulang kali menolak menerbangkan Aidit ke Jakarta dan Bali untuk menyelamatkan diri hingga akhirnya aidit tertangkap.
Siapapun kala itu pasti berjuang demi negara. Adapun ada dinamika yang membuat pertikaian itu sudah milik sejarah. Siapa kawan dan siapa lawan menjadi santapan pengkhianat. Dan kewaspadaan elit harus jeli agar tidak terulang sejarah kelam itu kembali.