- Nur Janti
- 19 Jul 2019
- 3 menit membaca
KEDUTAAN Besar Indonesia untuk Hungaria hendak mengadakan pameran bersama antara seniman Indonesia dan Hungaria. Para pelukis Indonesia akan diberangkatkan ke Budapest, Hungaria untuk observasi dan penggalian ide lukisan. Sebaliknya, perupa Hungaria akan berkunjung ke Indonesia guna mencari ide. “Ini bisa sekalian jadi promosi pariwisata kita,” kata Duta Besar Indonesia untuk Hungaria Dimas Wahab.
Pameran bersama ini diprakarsai Dimas Wahab. Dua orang kurator dipilih untuk menanganinya, yakni budayawan Toeti Heraty dan Ari Kupsus, pemilik gallery di Budapest.
“Budapest, Hongaria sering disebut Parisnya Eropa Tengah. Di sana penuh peninggalan budaya karena pernah dikuasai Romawi, Mongolia, Turki, Austria, dan pernah jadi bagian dari Uni Soviet,” kata Toeti Heraty dalam konferensi pers di Roosseno Plaza, Rabu (17/07/2019).
Budapest merupakan gabungan dua kota yang dipisahkan Sungai Danube, yakni Kota Buda (Obuda) dan Pest di sebelah kiri sungai. Setelah jembatan rantai Széchenyi dibangun pada 1839 di bagian anak sungai Danube yang menyempit, kedua kota pun terhubung. Pada 17 November 1873, gabungan dua kota itu diresmikan menjadi Budapest.
Penemuan arkeologis membuktikan adanya permukiman besar suku Celtic di Budapest selama ribuan tahun. Mereka menetap di kedua tepi Sungai Danube sejak abad ke-3 SM. Bangsa seperti Romawi, Turki, Jerman, Latin dan pedagang muslim dari Bulgaria juga pernah bermukim di sini.
Periode besar pertama pembangunanan Buda (sebelah kanan Sungai Danube) terjadi pada paruh kedua abad ke-13. Beberapa gereja dan biara didirikan, di antaranya Gereja Bunda Maria (sekarang Gereja Matthias) dan Gereja St. Mary Magdalene. Pembangunan skala besar antara abad ke-14 dan ke-16 membentuk pola jalan dan tata letak kota Buda yang tidak berubah hingga hari ini.
Sementara, Kota Pest berada di posisi penting rute perdagangan ke Eropa Barat, dikenal sebagai Jalan Kiev. Pada abad ke-11, tembok yang jadi cikal-bakal Gereja Dalam Kota Parish dibangun di atas tembok bekas kamp Romawi. Populasi kota Pest tumbuh pesat pada paruh pertama abad ke-13, mayoritas orang Jerman.
Perkembangan Kota Buda dan Pest kemudian terhenti lantaran kalah perang dari Turki pada 1526. Sebagian penduduk kaya melarikan diri keluar kota Buda, sementara seluruh Hungaria berada di bawah kekuasaan Turki dari 1541 hingga 145 tahun kemudian.
Institute Riset Metropolitan Urbanisztika menyebut pada abad ke-19 Budapest dikuasai Kekaisaran Austro-Hungaria sampai Perang Dunia I. Hingga empat dekade terakhir abad ke-19, gaya romantis dominan dalam rancang-bangunan di Budapest. Gaya Art Nouveau ini jadi upaya sadar menciptakan gaya nasional, seperti terdapat pada bangunan Museum Seni Terapan (Museum of Applied Arts, Budapest) karya Odon Lechner.
Ketika Hungaria dikuasai Jerman-Nazi pada Perang Dunia II, pembangunan dihentikan. Kondisi Hungaria kacau-balau selama delapan bulan. Budapest sendiri jadi medan pertempuran selama dua bulan. Pengeboman dan baku tembak merusak 75 persen bangunan di Budapest. Hanya sekira 10 ribu bangunan yang tersisa tanpa cacat.
Suasana gawat itu baru berhenti ketika Hungaria dibebaskan tentara Soviet yang berhasil memukul mundur pasukan Jerman. Sejak itu, Hungaria menjadi bagian blok Timur. “Setelah Perang Dunia II, Budapest masuk Uni Soviet dan jadi komunis,” kata Toeti.
Runtuhnya Uni Soviet mengakhiri pula komunisme di Hungaria. “Pada 1989 (Hungaria, red.) bertransformasi jadi negara demokrasi. Sejarahnya sudah dimulai dari dari dua ribu tahun lalu. Jadi, akan ada banyak jejak-jejak kebudayaan yang bisa digali untuk jadi sasaran seni di sana,” sambung anak mendiang Ir. Roosseno itu.
Beberapa seniman Indonesia yang akan diberangkatkan antara lain Afriani, Hardi, Baron Basuning, Tatang Ramadhan Bouqie, dan Hannyoto Roosseno. Mereka akan mengunjungi Budapest pada September 2019 dan menginap di kastil milik Ari Kupsus.

Hardi merupakan pelukis yang menjadi salah satu pencetus Gerakan Seni Rupa Baru. Karya-karyanya kebanyakan mengambil tema realisme sosial. Semasa Orde Baru, Hardi yang menampilkan diri sebagai presiden tahun 2001 lewat pamerannya di Taman Ismail Marzuki, dicap melakukan tindakan subeversif.
Sementara, Hannyoto merupakan seorang arsitek sekaligus perupa. Dia mempopulerkan gaya gedung berpilar ke Jakarta pada 1970-1980-an. Pada 2006, Hannyoto memenangkan penghargaan arsitektur terbaik Skala +02.
“Lukisan jadi penghubung kerjasama dua negara ini karena Hungaria dikenal sebagai kota seni,” kata Dimas Wahab. Pameran akan diselenggarakan pada Oktober mendatang di Indonesia dan Hungaria. Pameran di Hungaria berbarengan dengan Indonesian Food Festival di Budapest sehingga akan ada satu rangkaian pemeran tentang budaya Indonesia, baik makanan maupun lukisan.










Komentar