- Andri Setiawan
- 13 Okt 2019
- 2 menit membaca
Pada 30 Juni 2019 lalu, dunia perfilman Indonesia kehilangan sosok Muhammad Abduh Aziz, Direktur Utama Perum Produksi Film Negara (PFN). Pria kelahiran Jakarta, 10 Oktober 1967 itu meninggal dunia karena serangan jantung, meninggalkan istri dan tiga anak.
Bertepatan dengan hari ulang tahunnya yang ke-52, buku Film dan Kebudayaan: Esai-Esai M. Abduh Aziz diluncurkan 10 Oktober 2019, bersama rangkaian Pekan Kebudayaan Nasional 2019 di Istora Senayan, Jakarta.
Buku ini merupakan kumpulan tulisan Abduh, yang merekam gagasan dan pemikirannya terkait kebudayaan secara umum dan film secara khusus, yang mana masih relevan dengan dinamika kebudayaan hari ini.
Dalam kumpulan ini, terlihat perhatian Abduh terhadap berbagai isu penting seputar kebudayaan, mulai dari RUU Kebudayaan, pers dan agenda kultural hingga persoalan film dokumenter dan film fiksi.
Ia juga menyoroti masalah tata kelola pemerintahan di bidang kebudayaan, bayang-bayang Orde Baru dalam film Indonesia hari ini, serta persoalan industri film dan ekonomi.
Abduh bukan hanya pemikir tapi juga praktisi yang aktif dalam produksi maupun kegiatan perfilman.
Pada 1997, Abduh berkolaborasi dengan Garin Nugroho dalam pembuatan film Daun di Atas Bantal. Baik sebagai produser, penulis naskah, supervisor maupun sutradara, beberapa karyanya antara lain The Rainmaker/Impian Kemarau (2004), Pertaruhan/At Stake (2008), Working Girl (2009), Tjidurian 19 (2009), Atas Nama… (2010), K vs K/Kita Versus Korupsi (2011) dan Sebelum Pagi Terulang Kembali (2014).
Abduh juga salah satu orang film yang memiliki perhatian besar terhadap sejarah. Baginya, salah satu hal penting dalam pemajuan kebudayaan ialah pendokumentasian. Dalam hal ini, menurutnya negara tidak memiliki visi yang jelas, terlihat dari kondisi Sinematek yang memprihatinkan.
“Kita bisa melihat aliran dana untuk institusi penting ini sangat minim, sikap tidak acuh terhadap peningkatan keahlian pekerja arsip film apalagi mutu layanannya. Sikap terhadap kelalaian arsip film serta upaya konservasi materi sejarah film Indonesia menjadi bukti nyata yang tidak dapat dibantah,” sebut Abduh.
Perhatian Abduh pada sejarah juga nampak ketika dia berkolaborasi dengan Lasja F. Susatyo membuat film Tjidurian 19 pada 2009. Film ini merekam testimoni pengalaman beberapa seniman Lekra, yaitu Putu Oka Sukanta, Amarzan Loebis, Amrus Natalsya, Martin Aleida, T. Iskandar AS, Hersri Setiawan, Oei Hay Djoen, S. Anantaguna, dan Jane Luyke.
Menurut Abduh, film ini tidak hendak membicarakan apakah Lekra adalah bagian PKI atau tidak. Bukan pula hendak menjelaskan tentang peristiwa G30S.
“Karena menarik buat gue mengetahui pengalaman. Pengalaman person-person ini pada suatu masa dan pada suatu tempat. Dan ini gue pikir mudah-mudahan bisa membantu orang memahami masa itu dengan lebih jernih,” ungkap Abduh dalam wawancara dengan Jurnal Footage yang disertakan dalam buku ini.
Sejak mahasiswa, Abduh telah menjadi koordinator periset penulisan sejarah bioskop di Indonesia (1990). Setelah lulus, ia memimpin rumah produksi Gemilang Enam Mitra (GEM), menjadi produser pelaksana film serial televisi Ali Topan Anak Jalanan, manager program SET Foundation & Komunitas TV Publik Indonesia (KTVPI) pada 2002-2003. Ia Menjadi Direktur Eksekutif Cangkir Kopi Mediavisual pada 2003 hingga 2019. Sejak 2016, ia menjadi Direktur Utama Perum PFN.
Hilmar Farid, dalam pengantar buku ini, mengatakan bahwa tulisan-tulisan Abduh adalah cerminan kebudayaan yang begitu kompleks, penuh dinamika, dan ironi bagi mereka yang terlibat di dalamnya. “Di sini Abduh sebagai pemikir dan praktisi adalah bagian dari gerakan sipil untuk memajukan kebudayaan,” sebutnya.












Komentar