top of page

Sejarah Indonesia

Membedah Kolonialisme Belanda Lewat Sejarah Kesehatan Dan Kedokteran

Membedah Kolonialisme Belanda Lewat Sejarah Kesehatan dan Kedokteran Indonesia

Perkembangan ilmu kesehatan dan kedokteran di Hindia Belanda berkaitan erat dengan kepentingan pemerintah kolonial Belanda di wilayah jajahannya.

Oleh :
20 Juni 2025
bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

...

ADA beragam cara yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda untuk melanggengkan kekuasaannya di Hindia Belanda. Relasi kuasa itu tak hanya terlihat di bidang sosial, politik, dan ekonomi, tetapi juga dalam dunia kesehatan. Pandangan dan kebijakan pemerintah kolonial Belanda di bidang pengembangan ilmu kesehatan serta pendidikan dokter di wilayah jajahan inilah yang dikupas oleh sejarawan Hans Pol.


Hans Pols bercerita bahwa gagasan menyusun buku Obat, Ilmu, dan Kuasa: Sejarah Kesehatan dan Kedokteran Indonesia berangkat dari rasa ingin tahu dan kenangan masa kecil yang kerap bermain di dekat rumah sakit jiwa.


“Masa kecil saya dekat dengan rumah sakit jiwa. Ayah saya seorang psikiater yang bekerja di rumah sakit jiwa. Saat kecil, saya dan teman-teman bermain di dekat rumah sakit jiwa. Ketika itu saya tahu beberapa orang tidak berani ke sana karena takut. Selain itu, ada pula sentimen terhadap ‘orang gila’. Tapi saat kecil saya ingin tahu, apakah itu sebuah penyakit atau apa,” kata Hans Pols dalam peluncuran bukunya di Kantor AIPI Lantai 17 Perpustakaan Nasional Indonesia, Jumat (20/6/2025).


Selain itu, ketertarikan profesor dari Sekolah Sejarah dan Filsafat Sains Universitas Sydney itu terhadap kajian sejarah kolonialisme di Indonesia didorong oleh latar belakang ibunya yang dilahirkan di Hindia Belanda. Meski begitu, baik ibu maupun keluarganya, tak banyak bercerita tentang kenangan mereka selama tinggal di Hindia Belanda walaupun beraneka makanan khas Indonesia kerap dihidangkan di meja makan.


“Ibu saya adalah anak Menteng. Dia lahir di Menteng, Jakarta. Sementara nenek saya lahir di Yogyakarta. Seluruh keluarga yang sebelumnya menetap di Hindia Belanda setelah Perang Dunia II pergi ke Belanda. Mereka tidak berbicara tentang Hindia Belanda atau Indonesia, tapi ada nasi goreng dan makanan Indonesia lainnya... Wayang kulit juga menghiasi dinding. Mereka tidak bicara karena trauma Perang Dunia II. Karena itu saya ingin tahu tentang Indonesia. Selain juga rasa ingin tahu yang besar terhadap sejarah kedokteran dan kedokteran jiwa,” kata Hans Pols.


Berangkat dari rasa ingin tahu tersebut, Hans Pols pergi ke Indonesia dan mengunjungi Rumah Sakit Jiwa Marzoeki Mahdi di Bogor. Rumah sakit jiwa pertama di Indonesia ini dirikan pada 1882 dan mulanya bernama Krankzinnigengestich te Buitenzorg. Hans Pols melakukan riset panjang terkait kebijakan pemerintah kolonial Belanda dalam kesehatan dan kedokteran di Hindia Belanda. Catatan-catatan sejarah itulah yang dikembangkan menjadi buku yang menggambarkan upaya pemerintah kolonial dalam menancapkan pengaruh serta melanggengkan kekuasaannya di wilayah koloni.


Buku Obat, Ilmu, dan Kuasa: Sejarah Kesehatan dan Kedokteran Indonesia karya Hans Pols terdiri dari 12 studi kasus sejarah kesehatan yang sebagian besar sudah pernah diterbitkan dalam beberapa jurnal internasional. Menurut dosen Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Ravando, Hans Pols secara cermat memilih studi kasus yang relevan dan kemudian merangkainya ke dalam tiga bagian utama, yakni sejarah kesehatan dan ilmu kedokteran di Hindia Belanda, sejarah psikologi dan psikiatri di Hindia Belanda, serta ilmu kedokteran dan nasionalisme di Asia Tenggara.


Tak hanya itu, Hans Pols juga menggunakan studi kasus tersebut untuk menganalisis transisi kesehatan masyarakat Indonesia mulai dari periode kolonial Belanda hingga setelah kemerdekaan Indonesia. Topik yang diangkat pun sangat beragam, di antaranya teori aklimatisasi, karantina, psikiatri, hingga dekolonisasi ilmu kedokteran.


“Alih-alih memosisikan ilmu kedokteran Barat lebih superior ketimbang ilmu kesehatan tradisional Indonesia, Hans justru mempertanyakan dan mengkritisi klaim tersebut. Misalnya, dalam bab 1 yang berjudul ‘Catatan dari Batavia: Kuburan Bagi Orang Eropa’, Hans memperlihatkan bahwa teori-teori seperti aklimatisasi, degenerasi ras, atau konsep pikiran pribumi merupakan pandangan yang sarat dengan bias dan kerap digunakan untuk melegitimasi penjajahan... Hans juga memberi ruang yang sangat lebar bagi diskusi mengenai pengobatan tradisional maupun herbal sebagai wujud resistensi terhadap dominasi Barat,” kata Ravando. “Dan di sini, Hans menunjukkan bahwa pengetahuan medis kolonial bukanlah satu hal yang bersifat netral dan monolitik. Ia penuh dengan ketegangan internal, konflik ideologis, hingga kemudian proses negosiasi,” tambahnya.


Dalam pembahasan mengenai sejarah perkembangan psikologi dan psikiatri di Indonesia, Hans Pols menyoroti evolusi ilmu tersebut sejak masa kolonial, termasuk pembangunan rumah sakit jiwa dan penanganan terhadap gangguan jiwa dari masa ke masa, hingga bagaimana pemerintah kolonial menciptakan norma-norma perilaku waras dan tidak waras. Di sini, Hans Pols secara khusus membongkar fenomena “amok” di Asia Tenggara dan menunjukkan bagaimana konsep ini dikonstruksi oleh pengetahuan Barat dalam kerangka kolonial untuk memperkuat stereotip dan hierarki rasial terhadap penduduk bumiputra.


“Jadi, penanganan terhadap pasien dengan gangguan jiwa dijalankan oleh pemerintah kolonial Belanda bukan hanya atas dasar kemanusiaan, tetapi juga untuk menertibkan masyarakat kolonial yang dianggap ‘tidak rasional’ atau ‘berbahaya’. Di sini, lagi-lagi Hans menunjukkan bagaimana ilmu kedokteran tidaklah netral, tetapi sangat dipengaruhi oleh aspek politik, budaya, dan juga kekuasaan,” kata Ravando.


Di sisi lain, psikolog yang juga dosen Fakultas Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta, Eunike Sri Tyas Suci, memandang buku yang disusun Hans Pols tak hanya menyajikan catatan sejarah yang mungkin belum banyak diketahui masyarakat luas, tetapi juga dapat menjadi rujukan untuk mengetahui sejarah bangsa Indonesia terkait dunia kesehatan dan kedokteran.


“Dokumentasi tentang pengobatan tradisional di Indonesia sesungguhnya banyak dicatat oleh para ahli di zaman kolonial. Hanya saja yang menjadi masalah, kita orang Indonesia tidak memiliki akses untuk mengetahui informasi tersebut. Karena, pertama, tulisannya dalam bahasa Belanda, yang mana orang Indonesia sulit membacanya. Dokumennya juga tidak selalu ada di Indonesia, sehingga buku yang disusun Hans Pols ini saya rasa memberikan informasi yang sangat kaya, betapa pada masa kolonial dulu para ahli sudah mendokumentasikan secara lengkap pengobatan tradisional yang menjadi rujukan untuk dokter-dokter yang ada di sini juga,” kata Tyas Suci.*

Comments

Rated 0 out of 5 stars.
No ratings yet

Add a rating
Seabad Batik Oey Soe Tjoen

Seabad Batik Oey Soe Tjoen

Salah satu batik tulis halus tertua di Indonesia. Pengerjaan yang penuh dedikasi dan balutan sejarah yang panjang menjadikan batik ini lebih dari sekedar kain, tetapi sebuah mahakarya seni.
Iming-iming Kekayaan di Balik Perekrutan Tenaga Kerja VOC

Iming-iming Kekayaan di Balik Perekrutan Tenaga Kerja VOC

Para perekrut tenaga kerja menggunakan tipuan dan iming-iming kekayaan untuk merekrut orang-orang Eropa miskin agar mau bekerja untuk VOC. Karena caranya itu mereka disebut penjual jiwa.
Sepenggal Riwayat Kampung Ampel

Sepenggal Riwayat Kampung Ampel

Kampung Ampel yang jadi tempat wisata religi amat dekat dengan pergerakan. Masjidnya yang didirikan Sunan Ampel pernah jadi tempat kongres.
Reformasi Atas Nama Revolusi

Reformasi Atas Nama Revolusi

Terinspirasi semangat revolusi Prancis, Daendels mereformasi total birokrasi pemerintahannya. Semua dijadikan pejabat pemerintah, diberi pangkat militer, dan digaji.
NU-Muhamadiyah Bersatu di Ampel

NU-Muhamadiyah Bersatu di Ampel

Sunan Ampel membangun kawasan yang kemudian membuat NU-Muhamadiyah bersatu. Ada dua ketua mereka yang dimakamkan di sini.
bottom of page