- Martin Sitompul

- 11 Agu
- 4 menit membaca
SELAIN sebagai wakil presiden RI pertama, Mohammad Hatta juga dikenal Bapak Koperasi. Predikat itu melekat atas dedikasi Hatta menjadikan koperasi sebagai soko guru ekonomi Indonesia, bahkan sejak sebelum Indonesia merdeka. Berbilang karya buah pikiran Hatta mengenai koperasi telah dibukukan dan menjadi rujukan studi. Selain sebagai ekonom penganjur koperasi, Hatta juga seorang pelaku koperasi. Pada 1930-an, saat diasingkan di Banda Neira, Hatta mendirikan koperasi kecil-kecilan untuk memberdayakan pemuda-pemuda setempat.
Namun, selain Hatta, ada beberapa tokoh lain yang menggagas pemikiran tentang koperasi lebih dulu. Salah satunya adalah Raden Mas Margono Djojohadikusumo. Nama terakhir ini merupakan kakek dari Presiden RI saat ini, Prabowo Subianto.
“Mungkin lebih tepat Pak Margono disebut Bapak Koperasi tapi Bung Hatta Bapak Ekonomi Kerakyatan,” kata Menteri Kebudayaan Fadli Zon dalam peluncuran dan bedah buku Margono Djojohadikusumo: Pejuang Ekonomi dan Pendiri BNI 46 karya Jimmy. S Harianto dan H.M.U. Kurniadi di Kompas Institute, Jumat yang lalu (9/8).
Margono, menurut Fadli, merupakan tokoh yang sangat dekat dengan koperasi. Persentuhan Margono dengan koperasi berkat kedudukannya pada masa kolonial Hindia Belanda sebagai ketua Jawatan Koperasi. Intitusi itu sebelumnya bernama Jawatan Perkreditan Rakyat, tempat Margono menjadi salah satu pegawainya.

Selama satu dekade mengepalai Jawatan Koperasi, Margono mencatat berbagai hal penting sehubungan dengan koperasi di masa Hindia Belanda. Sebagai pejabat pemerintah, Margono bertugas melakukan pendataan koperasi-koperasi pribumi yang berdiri sejak 1930—1940. Hingga 1939, secara resmi tercatat 574 koperasi dengan keanggotaannya yang mencapai 52.055.
Pengalaman dan kiprah Margono sebagai ketua jawatan koperasi dituangkannya dalam buku 10 Tahun Koperasi yang diterbitkan Balai Pustaka pada 1941. Dalam buku itu, Margono menulis tentang sejarah koperasi sampai tahun 1930, Undang-undang koperasi termasuk tata cara pendirian koperasi sesuai peraturan hukum pemerintah kolonial, hingga jenis-jenis koperasi di Hindia Belanda. Margono pada akhir bukunya menyimpulkan betapa pentingnya koperasi bagi perekonomian rakyat.
“Itu adalah buku yang sangat monumental tentang sepuluh tahun koperasi,” ujar Fadli Zon.
Menjelang kemerdekaan Indonesia, Margono menjadi satu dari 79 anggota Badan Penyelidik Kemerdekaan Usaha Kemerdekaan (BPUPK). Setelah kemerdekaan, Margono menjadi tokoh penting di balik pendirian Bank Nasional Indonesia (BNI). BNI atau sering disebut pula BNI 46 didirikan pada 5 Juli 1946 dengan Margono sebagai direktur pertamanya. BNI saat itu bertugas mencetak uang rupiah (ORI) di tengah berbagai jenis mata uang sisa-sisa penjahahan yang beredar di Indonesia. Sebagai alat tukar dan alat sirkulasi resmi, ORI menjadi simbol kedaulatan dan identitas Indonesia yang baru merdeka di bidang ekonomi.
Pada saat membidani lahirnya BNI itulah Margono harus kehilangan kedua putranya, Subianto dan Sujono, yang gugur dalam Pertempuran Lengkong di Tangerang pada akhir Januari 1946. Subianto (anak ke-4 Margono) saat itu perwira polisi TKR Resimen IV Tangerang berpangkat letnan satu sedangkan si bungsu Sujono seorang taruna Akademi Militer Tangerang. Untuk mengenang Subianto dan Soejono, Margono menulis memoar keluarga berjudul Kenang-Kenangan dari Tiga Zaman, yang diterbitkan pertama kali oleh penerbit Indira. Meski ditulis Margono sebagai kenang-kenangan untuk keluarganya, buku itu memuat rekaman zaman yang penting mengenai periode zaman kolonial, periode pergerakan nasional, hingga periode Indonesia merdeka. Sementara itu, Sumitro, putra sulung Margono, meneruskan jejak ayahnya sebagai ekonom. Sumitro kemudian menamai kedua putranya sesuai nama dari adik-adiknya yang gugur di Pertempuran Lengkong, yaitu Prabowo Subianto –kini presiden RI– dan Hasjim Sujono yang dikenal sebagai pengusaha nasional.
Margono sendiri wafat pada 25 Juli 1978 dalam usia 84 tahun. Dia masih sempat menyaksikan putranya Sumitro menjadi menteri di era Orde Baru. Sementara itu sang cucu, Prabowo baru meniti karier militernya sebagai prajurit Kopassus TNI AD berpangkat letnan.
“Peran Pak Margono terutama di bidang perekonomian dan perbankan sangatlah penting. Begitu juga perannya dalam koperasi. Koperasi merupakan alat perjuangan kita karena Belanda punya ekonomi kolonial. Koperasi menjadi basis paling penting ekonomi rakyat untuk perjuangan,” terang Fadli.

Ditinjau Kembali
Tanpa mengesampingkan jasa dan perjuangan Margono di bidang ekonomi, terutama di awal Indonesia merdeka, klaim Fadli Zon yang menyebut Margono sebagai Bapak Koperasi agaknya perlu ditinjau kembali. Praktisi koperasi Firdaus Putra menilik peran Margono sebagai pejabat pemerintah Hindia Belanda yang mengurusi koperasi. Pada zaman itu, Margono mengelola aparatur koperasi rakyat yang tumbuh dari bawah. Keadaan koperasi sendiri masih terbilang sederhana.
“Kalau dilihat dari bukunya yang 10 tahun Koperasi, saya belum melihat pengembangan konsep koperasi secara utuh. Ia hanya sebagai pejabat saja saat itu. Berbeda dengan Bung Hatta yang benar-benar kuliah di negara lain dan sempat melihat negara-negara yang koperasinya maju dan bagus seperti ke Denmark, Skandinavia, dll. Ketika pulang ke Indonesia, ia menjadi wakil presiden. Ia mempunyai imajinasi mengenai perkembangan koperasi,” papar Firdaus, ketua komite eksekutif Indonesian Consortium for Cooperatives Innovation (ICCI) dalam wawancara dengan Historia.id.
Senada pula dengan Iip D. Yahya, sejarawan yang meneliti tentang koperasi. Iip memandang peranan Margono sebatas pejabat dalam birokrasi pemerintah kolonial. Dalam kaitannya dengan perkembangan koperasi di Indonesia, maka Margono sebagai birokrat lebih cenderung perannya pelaksana kebijakan pemerintah.
“Kalau Margono hanya pejabat koperasi masa Hindia Belanda. Jabatan dia saat itu sebagai inspektur pengawas koperasi Hindia Belanda. Sehingga kalau mau dilihat dari bottom-up, sebagai aktivis dari bawah memang yang berperan adalah Niti Soemantri,” jelas Iip. Niti Soemantri adalah tokoh penggerak koperasi di Priangan dan menjadi ketua Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) pertama.
Dalam biografi Margono yang ditulis Jimmy dan Kurniadi juga tak banyak mengulas sepak terjang Margono dalam perkoperasian. Peran Margono dalam koperasi dijelaskan dalam satu paragraf (hlm. 132) yang bersumber dari buku Orang Indonesia jang Terkemoeka di Djawa terbitan Gunseikanbu (Badan Propaganda Jepang) pada 1944. Margono disebutkan pada 1936 menjabat sebagai ketua Gaboengan Poesat Koperasi Indonesia (Gapki). Sebelumnya, melalui rekomendasi R.M. Abdul Karim Pringgodigdo, Margono banyak membantu usaha-usaha pribumi di bidang perbatikan di Surakarta dan Jogja.
“Juga yang membantu didirikannya Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI), menerapkan kebijaksanaan yang disusulkan dr. Soetomo selaku tokoh kebangkitan kebangsaan dari Parindra dan tokoh pendiri Bank Rakyat Indonesia,” catat Jimmy dan Kurniadi.
Kendati demikian, sebagai pejuang ekonomi dan perbankan, peran Margono tak dapat diragukan. Apalagi perannya tak banyak diumbar selama masa krusial mempertahankan kemerdekaan. Meski sama pentingnya, apa yang dilakoni Margono masa itu kalah pamor dari hingar bingar perjuangan fisik dalam balutan perang, ataupun narasi besar politik-militer.*













Komentar