top of page

Sejarah Indonesia

Advertisement

Menghidupkan Ingatan Kolektif Budaya Melayu

Nilai budaya Melayu mulai luntur. Namun, bisa kembali dihidupkan melalui ingatan kolektif yang masih muncul dalam tradisi masyarakat Melayu.

1 Des 2017

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Istana Kuto Limo, Palembang, yang dibangun Sultan Mahmud Badaruddin.

PENGARUH budaya Melayu meluas di Nusantara. Jejak budayanya masih bisa dilihat bukan cuma dari kesusastraan, tetapi juga bangunan istana di Sumatra, Sulawesi, dan Semenanjung Malaya.


"Tapi kini seperti kayu yang tenggelam di sungai. Lama-lama menjadi keras," kata Chaidir, pembina Himpunan Melayu Riau, dalam Seminar Nasional Memori Kolektif dalam Kebudayaan Melayu, di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB UI), Depok, Jawa Barat, Kamis (30/11).


Mantan ketua DPRD Riau dua periode 1999-2008 itu mengatakan, karakter khas orang Melayu adalah saling menghormati, menjunjung tinggi nilai kekeluargaan, memegang kesantunan dalam bertutur, mengedepankan sikap persaudaraan dan gotong royong. Dalam nilai budaya Melayu juga, rakyat tak boleh mendurhakai pemimpin. Sebaliknya, pemimpin tak boleh pula mengkhianati rakyatnya.


"Nah ini bermasalah dalam masyarakat kita," tegasnya.


Mengapa bermasalah? Chaidir berkata, dalam perspektif adat Melayu, mungkin ada pantangan yang dilanggar. "Mungkin seorang raja telah mengubah janji. Mungkin anak cucu mendurhaka pemimpin," katanya.


Kepatuhan kepada pemimpin masih bisa disaksikan dalam ritus-ritus Melayu. Seorang pawang dalam suatu ritus Melayu di Palembang, memiliki peran penting karena paling paham bagaimana, kapan, dan di mana melalukan ritus. Dia bertanggung jawab membaca mantra dan memimpin jalannya ritus.


"Ini kearifan lokal soal kepatuhan kepada pemimpin. Semua sepakat untuk patuh pada pawang. Tanpa ada yang nyeleneh," jelas Welli Aprian, wakil ketua Yayasan Alam Melayu Sriwijaya.


Dalam ritus-ritus Melayu juga tercermin sikap gotong royong. Menurut Welli, tak ada pelaksanaan ritus yang dilakukan seorang diri. "20 kapal kami kerahkan dalam ritus gerhana matahari. Makin banyak orang makin bagus. Ini syiar," lanjutnya.


Syahrial, dosen Departemen Susastra FIB UI menambahkan, ingatan kolektif budaya Melayu juga tercermin dalam seni bertopeng di Lampung. Ketika seorang kepala marga menikahkan anaknya, dalam iring-iringan pengantin biasanya didahului oleh 12 orang yang mengenakan topeng atau tuping.


Keduabelas tuping itu mewakili 12 pengawal spiritual yang membantu perjuangan Radin Inten, pahlawan Lampung, dalam melawan Belanda. "Dampaknya buat masyarakat, dengan adanya tuping dalam upacara pernikahan orang diingatkan pada perjuangan Radin Inten dalam perjuangan melawan Belanda," kata Syahrial.


Nilai lainnya adalah hubungan mistis antara keseharian masyarakat dengan tempat di sekitar mereka. Masyarakat diingatkan, leluhur mereka punya hubungan akrab dengan lingkungan sekitar. Pun heroisme leluhurnya melawan ketidakbenaran. Sayang, hal itu masih kurang dimaknai masyarakat dengan baik. Filosofi arak-arakan pengantin ini tak dilihat dari sudut pandang memunculkan kesejarahan ingatan kolektif.


"Masyarakat tidak menganggap kegiatan ini penting. Perlahan nilai mistis dalam tuping pudar. Mulai ada yang menjadikannya sebagai usaha kerajinan yang memiliki nilai ekonomis," ujar Syahrial. Oleh karena itu, perlu ada revitalisasi nilai budaya Melayu.


Sementara itu, Lily Tjahjandari mengatakan bahwa Melayu bukan cuma sebagai suku. Ia adalah tren. "Zaman sekarang trennya Korea-Koreaan, dulu kita bergaya Melayu-Melayuan," ucap wakil direktur Lembaga Kajian Indonesia (LKI) itu.


Maka tak heran, kata Lily, jika hingga kini Bahasa Indonesia menjadi bahasa yang dipakai di seluruh Indonesia. Pada masa lalu, Bahasa Melayu menjadi bahasa penghubung (lingua franca) antarpulau di Nusantara khususnya dalam perdagangan.


"Memori kolektif melayu itu tulang punggung bangsa ini. Kita semua berbagi identitas melayu," ujar dosen Departemen Susastra FIB UI itu.

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian

Advertisement

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy masuk militer karena pamannya yang mantan militer Belanda. Karier Tedy di TNI terus menanjak.
Alex Kawilarang Menolak Disebut Pahlawan

Alex Kawilarang Menolak Disebut Pahlawan

Alex Kawilarang turut berjuang dalam Perang Kemerdekaan dan mendirikan pasukan khusus TNI AD. Mantan atasan Soeharto ini menolak disebut pahlawan karena gelar pahlawan disalahgunakan untuk kepentingan dan pencitraan.
Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Tan Malaka pertama kali menggagas konsep negara Indonesia dalam risalah Naar de Republik Indonesia. Sejarawan mengusulkan agar negara memformalkan gelar Bapak Republik Indonesia kepada Tan Malaka.
Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Hubungan diplomatik Indonesia dan Belgia secara resmi sudah terjalin sejak 75 tahun silam. Namun, siapa nyana, kemerdekaan Belgia dari Belanda dipicu oleh Perang Jawa.
Prajurit Keraton Ikut PKI

Prajurit Keraton Ikut PKI

Dua anggota legiun Mangkunegaran ikut serta gerakan anti-Belanda. Berujung pembuangan.
bottom of page