top of page

Sejarah Indonesia

Mengintip Masa Lalu Dari Mangkunegaran

Mengintip Masa Lalu dari Mangkunegaran

Beragam barang antik di Mangkunegaran kondisinya masih baik. Pintu masuk untuk sedikit memahami masa lalu Surakarta.

23 Maret 2019

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Gamelan Kyai Kanyut Mesem milik Mangkunegaran/Foto: MF Mukthi/Historia

DUA set gamelan di pendopo Pura Mangkunegaran itu sedang “menganggur”. Kecuali alat musik-alat musik lain seperti kendang, dua set gamelan tadi ditutupi kain hijau siang itu, 18 Maret 2019. “Kalau Rabu malam sama Jumat malam dimainkan,” ujar Doni Irawan, tour guide Pura Mangkunegaran, kepada Historia.


Di depan seperangkat gamelan yang berada di utara, berdiri papan keterangan bertuliskan: Kyai Kanyut Mesem. Usia gamelan itu lebih dari 200 tahun. Saat Raden Mas Said naik takhta menjadi Mangkunegara I, gamelan itu sudah ada.


“Nah, (gamelan, red.) itu yang dipakai untuk siaran langsung dengan peralatan radio,” kata Supriyanto dari Dinas Urusan Istana Mangkunegaran kepada Historia.


Siaran langsung yang dimaksud Supriyanto adalah live radio Solosche Radio Vereeniging (SRV) pada 1937 yang menyiarkan Kyai Kanyut Mesem dimainkan untuk mengiringi Gusti Nurul, putri Mangkunegara VII dan Gusti Kanjeng Ratu Timur, menari di hadapan Ratu Wilhelmina saat pernikahan Putri Juliana dengan Pangerang Bernhard.  


“Pas Hari-H, putrinya (Gusti Nurul) nari (di Belanda) diiringi siaran radio langsung dari pendopo ini gamelannya. Gamelannya dari sini, diiringi dari sini,” sambung Supriyanto.  


Kendala koneksi gelombang sempat melanda pertunjukan itu. "Sambungan terputus selama beberapa menit. Namun, penari melanjutkan dengan tarian anggunnya dan orkestra gamelan dengan permainannya. Ketika koneksi nirkabel dipulihkan, penari dan orkestra bertemu tepat pada iramayang sama," kata Rudolf Mrazek menuliskan pengakuan Gusti Nurul di Engineers of Happy Land: Techlonogy and Nationalism in a Colony.


Pentas tari dengan iringan gamelan lintas benua itu mungkin yang pertama di dunia. Ratu Wilhelmina amat terkesan dengan keindahan tari dan keanggunan penarinya. Sejumlah media, termasuk Majalah Life edisi 25 Januari 1937, mengabadikannya.


Kini, 82 tahun setelah pentas itu, kondisi gamelan Kyai Kanyut Mesem masih terawat dan berfungsi baik. Namun, ia bukan satu-satunya barang antik milik Mangkunegaran. Di Dalem Ageng yang kini jadi Museum Pura Mangkunegaran, ratusan barang lain terpajang rapi dengan kondisi baik.


Beragam perhiasan emas maupun berlian raja dan ratu terpajang dalam beberapa lemari kaca. Di dekatnya, sebuah lemari kaca memuat beberapa replika mini meja-kursi berlapis emas. Dalam keterangan di papan petunjuknya, replika lucu berukuran amat kecil itu merupakan mainan Gusti Nurul semasa kanak-kanak. “Ini hadiah dari Ratu Belanda,” kata Doni.


Beragam senjata, mulai dari tombak sepanjang lebih dari dua meter hingga keris sepanjang puluhan sentimeter, juga terpajang dalam lemari-lemari kaca di beberapa sudut ruangan. Beberapa di antaranya sudah berkarat. “Ini masih ada khodam-nya,” kata Doni sambil menunjuk lemari tempat keris-keris itu disimpan.


Berseberangan jauh dari keris-keris itu, pedang-pedang hadiah dari kerajaan-kerajaan lain, semisal Turki, berjajar rapi di lemari kaca sebelah kanan dari pintu masuk. Tak jauh darinya, ada lemari kaca yang memuat uang-uang kuno. Banyak dari uang itu berbahan emas. Satu lemari kaca di tengah menyimpan benda unik dengan bentuk asing. Nama benda itu badong. “Ini untuk dipakai raja dan ratu supaya ndak selingkuh,” kata Doni.


Tiga sisi dinding ruangan itu dihiasi lukisan-lukisan para raja berikut permaisuri karya Basoeki Abdullah. Hanya Mangkunegara I yang tak ada lukisannya dan diganti dengan gambar matahari dengan cahaya berpencar. “RM Said ndak bisa dilukis, jadinya digambarkan matahari,” lanjut Doni.


Sebagian besar barang-barang antik itu masih dalam kondisi baik. Para penerus Mangkunegara I amat memperhatikan perawatan barang-barang itu. “Ada kewajiban turun-temurun untuk memelihara. Biar generasi berikutnya tidak kehilangan sumber, tidak kehilangan arah,” ujar Supriyanto.

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
Anak Tawanan Itu Bernyanyi “Nina Bobo”

Anak Tawanan Itu Bernyanyi “Nina Bobo”

Sukses sebagai penyanyi di Belanda, Anneke Gronloh tak melupakan Indonesia sebagai tempatnya dilahirkan.
Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Film perdana Reza Rahadian, “Pangku”, tak sekadar merekam kehidupan remang-remang lewat fenomena kopi pangku. Sarat pesan humanis di dalamnya.
bottom of page