top of page

Sejarah Indonesia

Menyaring Arus Globalisasi Dan Ledakan Pluralisme Dengan

Menyaring Arus Globalisasi dan Ledakan Pluralisme dengan Pancasila

Karakter dan identitas bangsa Indonesia bertahan dari arus globalisasi karena Pancasila. Dasarnya titik temu simpel dari keragaman yang kompleks sejak dahulu kala.

6 Juni 2025
bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Seminar sejarah memperingati Harlah Pancasila di UNJ Rawamangun (Randy Wirayudha/Historia.ID)

ARUS globalisasi yang membawa beraneka ideologi seperti liberalisme ataupun radikalisme sekarang begitu mudah mengintai generasi muda Indonesia lewat kemudahan-kemudahan teknologi. Figur publik dan aktivis muda Olivia Zalianty menyadari itu bisa jadi ancaman penyimpangan nilai-nilai Pancasila yang didengungkan para pendiri bangsa sejak delapan dekade silam. 

 

“Apalagi anak muda sekarang mindset-nya kalau enggak ada manfaatnya, buat apa untuk tahu atau memperdalam (Pancasila)? Itu karena kurangnya pendidikan nilai-nilai Pancasila. Perlu ada pendidikan Pancasila yang relevan dan pembinaan moral yang efektif mulai dari lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat sekitar,” katanya dalam seminar sejarah dalam rangka peringatan Hari Lahir Pancasila bertajuk “Pancasila Solusi Perdamaian Dunia: Perspektif Humanis dan Kebudayaan” di Auditorium Gedung Raden Dewi Sartika Universitas Negeri Jakarta, Kamis (5/6/2025). 

 

Cendekiawan Yudi Latif menanggapi. Negara-negara lain terutama di Eropa, katanya, begitu gagap mengatasi globalisasi dan ledakan pluralisme yang mengguncang kemapanan budaya-budaya lama karena tsunami sosial yang turut terbawa gelombang kedatangan para imigran. 

 

“Ketika dunia dihadapkan pada ledakan pluralisme di India, Eropa, Amerika (Serikat), sekarang ini mereka mengalami tsunami sosial luar biasa, yaitu ketidakmampuan mengalami ledakan pluralisme dari luar dan dari dalam. Di Eropa misalnya akibat arus imigran yang luar biasa itu menimbulkan goncangan terhadap kemapanan budaya Eropa yang untuk masa yang panjang hidup di zona nyaman dan relatif seragam. Sekarang dengan unsur-unsur imigran baru, budaya lama mereka dipaksa mengadopsi gaya yang baru dan itu tidak selalu mudah untuk mereka lakukan,” ujarnya yang hadir secara daring. 

 

Namun tidak bagi Indonesia yang menurut Yudi Latif, sudah kokoh dan bisa bertahan. Sebab, nilai-nilai Pancasila –seperti karakter, identitas, dan jiwa bangsa Indonesia– yang didengungkan para pendiri bangsa sejak merumuskan konstitusi, dasar negara, hingga falsafah negara dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) melalui pidato Sukarno pada 1 Juni 1945 sudah begitu lama tertanam. 

 

“Untung ya, Indonesia ini right from the very beginning. Ketika para pendiri bangsa merumuskan konstitusi di BPUPKI, kita sudah punya sejarah panjang perjumpaan antarkultural, antar-ras, antaragama, antarbudaya. Ketika kita mau merdeka, juga kebetulan, barangkali di dunia ini tidak banyak negara yang pembentuk konstitusinya sejak awal sudah mencerminkan gotong-royong, diversity. Di anggota dari segi agama bukan hanya Islam tapi ada Kristen, Hindu, Konghucu. Dari segi etnis juga ada unsur-unsur (etnis) tionghoa, keturunan Eropa, keturunan Arab. Ada perempuan juga. Macam-macam golongan, macam-macam perwakilan politik dan idelogi juga di sana,” tambah eks kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) tersebut. 

 

Titik Temu untuk Menawarkan Solusi Perdamaian Dunia

Sedari awal, masyarakat di Nusantara yang heterogen bukan tidak terpengaruh arus globalisasi karena karakter dasar masyarakatnya luwes, fleksibel, dan toleran. Namun, menurut budayawan Dr. Ngatawi al-Zastrow, arus globalisasi yang datang bersamaan dengan kedatangan agama dari Tiongkok, Persia, maupun India mengalami “pribumisasi” sehingga mereka tidak menerima begitu saja budaya maupun nilai-nilai yang datang dari luar. 

 

“Khittah bangsa Indonesia sejak historis genetika itu sudah beragam. Sejak Hindu-Buddha masuk di sini sudah terjadi pribumisasi oleh masyarakat Nusantara. Kalau sekarang resah era globalisasi, saya jelaskan globalisasi tidak hanya sekarang karena sejak dulu Nusantara posisi (geografisnya) strategis. Makanya bangsa Nusantara tidak menjadi masyarakat yang hilang dan tidak menjadi orang China, India, atau Persia karena memiliki imunitas kultural. Ini kata kunci kita bisa survive. Imunitas ini untuk menghadapi kebudayaan luar yang merusak tatanan tradisi mereka. Jadi (budaya) yang masuk dari China, Persia, India, bahkan Eropa, direkonstruksi secara inovatif sehingga memunculkan tatanan budaya yang luar biasa,” terangnya. 

 

Ajaran Siwa dan Buddha bisa harmonis di Nusantara pada masa-masa kerajaan Hindu-Buddha jadi buktinya. Begitu juga, lanjut Gus Ngatawi, ketika Islam masuk di abad ke-8 kurang bisa berkembang karena ada kesalahan penyampaian (syiar) dan pendekatan, namun terjadi perubahan yang signifikan ketika syiar-syiar Islam digencarkan Wali Songo dengan pola komunikasi dan “evaluasi” pendekatan syiar yang berbeda. 

 

“Ketika kolonialis (Eropa) masuk, budaya di pesantren (dan kraton) jadi inkubator sehingga 350 tahun Islam diinjak-injak penjajah tidak hilang. Di era kebangsaan dan kemerdekaan, imunitas kultural ini jadi ijtihad kebudayaan yang sophisticated. Maka Bung Karno mengatakan, ‘saya bukan pencipta tapi penggali Pancasila’ karena bersumber dari akar-akar tradisi jauh sebelum itu,” tambah mantan ketua Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) dan pengajar Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) tersebut. 

 

Bung Karno dan para pendiri bangsa menggali Pancasila dengan mencari titik temu keragaman yang kompleks yang sudah eksis sejak peradaban awal Nusantara. Mencari titik temu agar, menurut Yudi Latif, aneka “anggur tua” itu bisa muat dalam sebuah “botol” baru berupa sebuah bangsa Indonesia. Mereka menemukan simpul titik temu dari keragaman itu. Mencari dasar yang simpel dari kompleksitas keragaman agama, adat, hingga ideologi yang kemudian menghasilkan lima sila dari aneka dimensi manusia Indonesia. 

 

“Pancasila itu adalah dimensi rohani manusia (sila pertama), makhluk universal (sila kedua), manusia sebagai makhluk dalam kenyataan partikularitas hidup dalam konteks tanah airnya sendiri (sila ketiga), manusia sebagai makhluk sosial dalam kenyataan majemuk sehingga cara kita mengambil keputusan pun tidak lewat menang-menangan jumlah atau otot tapi dengan berbagi dan welas asih musyawarah (sila keempat), dan manusia sebagai makluk pribadi dan makhluk jasmani yang butuh sandang, pangan, papan, sehingga cara berbagi kasih terhadap sesama (sila kelima),” sambung Yudi. 

 

Maka, lanjut Yudi, ketika Pancasila sudah menjadi falsafah negara dan grand ideology of social inclusion, Bung Karno pun sempat menawarkan Pancasila untuk solusi perdamaian dunia. Pasalnya ideologi-ideologi lain sekadar memotret manusia dari satu dimensi semata, yakni dimensi material sehingga konflik-konflik yang terjadi memunculkan solusi material saja. 

 

“Sekarang pengalaman bangsa-bangsa menunjukkan konflik-konflik itu tidak melulu bisa dijelaskan oleh relasi materi. Konflik bisa dijelaskan dalam relasi keagamaan, relasi globalisme dan lokalisme, karena keragaman adat budaya dan suku, keragaman aliran-aliran partai politik, kelas-kelas ekonomi,” jelasnya. 

 

Bung Karno pernah menggaungkannya seiring menyampaikan pidato “To Build the World Anew” di hadapan Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat pada 30 September 1960. Dalam pidato –yang pada 2023 ditetapkan UNESCO sebagai Memory of the World– tersebut, Bung Karno menawarkan Pancasila untuk menjembatani perdamaian dunia walau dengan penyesuaian kata-kata karena saat itu dunia sedang “panas” akibat Perang Dingin. 

 

“Kami menamakannya Pantja Sila. Ya, lima pilar negara kami yang bukan berasal dari Manifesto Komunis atau Deklarasi Kemerdekaan (Amerika). Justru gagasan-gagasan ideal yang kami miliki ini mungkin berasal dari masyarakat kami selama berabad-abad. Dalam menyampaikannya kepada Anda tentang Pantja Sila, saya menguraikan esensi dari dua ribu tahun peradaban kami.  Lima pilar itu, quite simple. Pertama, kepercayaan kepada Tuhan. Kedua, nasionalisme. Ketiga, internasionalisme. Keempat, demokrasi. Kelima, keadilan sosial,” seru Bung Karno, sebagaimana yang termaktub dalam arsip ANRI, “Text of President Sukarno’s Speech at the 15th United Nations General, 30 September 1960”. 

 

Selain memperkenalkan Pancasila, Bung Karno dalam pidatonya itu juga memanfaatkan kesempatan untuk mengkritik soal hak veto dan Piagam PBB. PBB menurutnya perlu mengadakan reorganisasi, mereformasi, hingga merombak internalnya agar nasib umat manusia tidak lagi bergantung kepada segelintir kekuatan dunia dengan hak vetonya. 

 

“Singkat kata, karena Pancasila itu, sebagaimana Bung Karno katakan, adalah satu ideologi besar yang bisa menjadi jembatan bagi perdamaian dunia. Dia bilang bahwa Piagam PBB itu akan sempurna, bisa menyatukan umat manusia, kalau piagamanya dipakai dengan Pancasila. Karena ketika Piagam PBB itu disusun, masih bias kapitalisme dan komunisme. Dia bilang kapitalisme tidak mengandung gagasan keadilan sosial, sedangkan komunisme tidak mengandung gagasan ketuhanan, maka semuanya harus naik ke atas pada Pancasila karena Pancasila adalah ideologi semua titik temu semua agama, ideologi, budaya, latar belakang dan golongan yang ada di dunia,” tandas Yudi. 



Comments

Rated 0 out of 5 stars.
No ratings yet

Add a rating
Ketika Jenderal Purnawirawan Bersuara

Ketika Jenderal Purnawirawan Bersuara

Di masa Orde Baru para jenderal purnawirawan mengajukan pandangan untuk mengoreksi Dwifungsi ABRI. Kini para jenderal purnawirawan bersuara untuk memakzulkan wakil presiden.
Haji Hilal dan Para Pejuang Sulawesi Selatan

Haji Hilal dan Para Pejuang Sulawesi Selatan

Dari menjadikan rumahnya sebagaik pondokan, di masa revolusi Haji Hilal dekat dengan pemuda-pemuda Sulawesi di Yogyakarta. Beberapa di antara mereka kelak jadi orang top.
Sultan Bagi-bagi Uang di Masa Perang

Sultan Bagi-bagi Uang di Masa Perang

Kedermawanan Sultan Hamengkubuwana IX tak semata berupa menyantuni rakyat. Sultan membantu membiayai pemerintahan republik semasa diterpa gejolak. Enggan digembar-gemborkan.
Tangan Besi Daendels dalam Menjaga Ketertiban di Jawa

Tangan Besi Daendels dalam Menjaga Ketertiban di Jawa

Daendels menggunakan kebijakan tangan besi untuk menjaga ketertiban di Jawa. Hukuman yang diberikan beragam, mulai dari pemecatan, penjara, hingga dibuang.
Klarifikasi Fadli Zon Soal Pemerkosaan Massal dalam Kerusuhan Mei 1998

Klarifikasi Fadli Zon Soal Pemerkosaan Massal dalam Kerusuhan Mei 1998

Anggota Komisi X DPR RI menuntut Menteri Kebudayaan Fadli Zon meminta maaf atas pernyataan kontroversialnya terkait kekerasan seksual terhadap perempuan dalam kerusuhan Mei 1998.
bottom of page