- Kirsten Kamphuis
- 25 Des 2020
- 4 menit membaca
PADA bulan Oktober 1912, seorang wanita muda di keraton Paku Alam Yogyakarta memulai surat pertamanya kepada sahabat pena baru di Belanda. Raden Ajeng Kaida berumur delapan belas tahun dan terus berkomunikasi dengan teman barunya dari Belanda, Kaatje, selama kurang lebih empat tahun. Surat-suratnya, yang sekarang disimpan dalam arsip di Amsterdam, memberikan pengetahuan yang menarik tentang harapan Kaida untuk masa depannya. Surat-surat itu juga menunjukkan bahwa dia harus menghadapi banyak kekecewaan, karena tradisi priayi terkadang lebih kuat daripada mimpinya sendiri.
Ingin membaca lebih lanjut?
Langgani historia.id untuk terus membaca postingan eksklusif ini.