top of page

Sejarah Indonesia

Misi Orde Baru Menggerus Pni Dan

Misi Orde Baru Menggerus PNI dan NU

Setelah menumpas PKI, rezim Orde Baru kemudian menghabisi PNI dan NU. Dengan begitu Soeharto dapat berkuasa selama tiga dekade.

Oleh :
11 November 2025

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

...

Diperbarui: 12 Nov

SEBELUM pemilu pertama Orde Baru pada 1971, rezim Soeharto perlu waktu lima tahun untuk mengonsolidasi kekuatan. Sejak Soeharto memegang mandat kekuasaan lewat Surat Perintah 11 Maret 1966, Indonesia mulai merapat ke Barat. Konsolidasi ke luar ini guna memastikan investasi modal asing masuk ke Indonesia. Orientasi ke Barat sekaligus menegaskan ulang posisi Indonesia dalam konteks Perang Dingin yang di era Sukarno cenderung ke Timur. Selain itu, politik luar negeri Indonesia di bawah Soeharto juga lebih membatasi aktivitasnya di lingkup Asia Tenggara.

 

Di dalam negeri, pemilu yang mestinya digelar pada 1968 diudur. Selain PKI yang ditumpas sampai ke akar-akarnya, PNI yang menjadi partai nasionalis terbesar sejak pemilu 1955 dikikis habis dari pengaruh Sukarno. Sementara itu, NU sebagai partai Islam terbesar di Jawa dibonsai sedemikian rupa. Ketika Orde Baru menggelar pemilu perdananya, PNI hanya meraup suara 6 persen, NU 18 persen, sedangkan Golkar berjaya dengan 62 persen. Sisanya terbagi kepada partai-partai gurem.

 

“Enggak hanya kelompok kiri yang dihabisi. Sampai tahun 1980-an itu, kelompok Islam juga habis,” kata sejarawan Bonnie Triyana yang juga anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan dalam diskusi publik “NU, PNI, dan Kekerasan Orde Baru” di Outliar Cafe, Tangerang Selatan, Banten (7/11).


Meski disokong kekuatan militer Angkatan Darat, menurut Bonnie, Soeharto memerlukan pula dukungan partai politik atau organisasi politik jelang pemilu 1971. Untuk itu, partai-partai yang berpotensi menjadi oposisi dipecah-belah. PNI terbagi atas dua faksi, kubu Ali Sastroamidjojo-Surachman, kerap diledek “PNI ASU”, dan PNI kubu Osa Maliki-Usep Ranawidjaja yang lebih pro-Soeharto. Surachman kemudian mati dibunuh tentara dalam operasi penumpasan PKI di Blitar Selatan pada 1968.


Para ulama juga tak luput dari represi, khususnya mereka yang bersuara vokal menentang rezim Orde Baru. Salah satunya kepada Abuya Dimyathi, ulama kharismatis asal Banten. Abuya Dimyathi ditangkap setelah mengkritik intimidasi Golongan Karya (Golkar) kepada masyarakat Pandeglang. Golkar sendiri menjadi partai yang selalu mengusung Soeharto sebagai presiden dalam pemilu. Atas keberaniannya bersuara, Abuya Dimyathi dianggap pemberontak bahkan dicap PKI. Pada 14 Maret 1977, Abuya Dimyathi ditangkap dan ditahan di penjara Pandeglang selama empat bulan.


“Dan tuduhannya lucu. Tuduhannya PKI. Dia dituduh PKI. Nah, jadi powerfull betul. Jadi, kalau bicara represi, itu banyak sekali,” kata Bonnie, “Maka kalau menurut saya wacana mempahlawankan Soeharto ini bukan soal pengakuan jasa. Ini satu pertempuran memori. Pertarungan memori di wilayah publik yang akan melegitimasi satu kelompok tertentu atau mendelegetimasi.”


Diskusi publik “NU, PNI, dan Kekerasan Orde Baru” di Outliar Cafe, Tangerang Selatan, Banten (8/11). (Riyono Rusli/Historia.ID).
 Diskusi publik “NU, PNI, dan Kekerasan Orde Baru” di Outliar Cafe, Tangerang Selatan, Banten (7/11). (Riyono Rusli/Historia.ID).

Sementara itu, budayawan Hairus Salim menyebut pemilu 1971 jadi titik tonggak Soeharto memperoleh legitimasi sebagai presiden. Antara 1966—1971, Soeharto belum sepenuhnya menjadi presiden karena tidak dipilih melalui pemilu. Setidaknya legitimasinya rendah.


“Tapi dengan kesiapan pemilu tahun 1971 itu pun kekerasannya banyak sekali,” ujar Hairus Salim.


Menurut Hairus Salim, korban dari konsolidasi kekuasaan rezim Orde Baru bukan hanya kelompok kiri dan pengikut Sukarno. Kelompok-kelompok Islam juga turut mengalaminya. Seperti misalnya, Partai Masyumi yang berharap untuk direhabilitasi dan menjadi peserta pemilu, ditolak oleh Soeharto. Kader Masyumi kemudian dileburkan ke dalam Parmusi dan hanya meraih lima persen suara dalam pemilu. Penolakan rehabilitasi partai juga terjadi kepada Partai Sosialis Indonesia (PSI). Sementara itu, pengaruh NU pelan-pelan digembosi, khsusnya dalam pemerintahan.


“Portofolio NU itu kekuatannya di birokrasi Kementerian Agama. Nah, sejak 1971 menteri agama diganti dengan Mukti Ali. Sampai Pak Harto turun tidak pernah lagi ada orang NU yang duduk sebagai menteri agama. Dan itu luar biasa sampai ke bawah-bawah karena mereka yang berkarier di Kementerian Agama tidak ingin menunjukkan dirinya sebagai NU. Kalau dia menunjukkan diri sebagai NU, hampir pasti kariernya mentok,” terang Hairus Salim.


Setelah fusi partai pada 1973, partai-partai bercorak Islam dilebur ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Menurut Hairus Salim, sampai pemilu 1977, Soeharto masih memperhitungkan NU sebagai kekuatan politik. Pertimbangan Soeharto terhadap NU itu dibuktikan dengan fakta bahwa tokoh NU tidak pernah menjadi ketua umum PPP. Akibatnya, NU kehilangan panggung dalam pentas politik nasional. Memasuki 1980-an, NU tak lagi menjadi partai politik dan kembali ke khittah 1926 sebagai organisasi keagaman.


“Enggak pernah NU bisa [menjadi ketua umum PPP]. Selama Pak Harto tidak mengizinkan, enggak akan bisa. Kerjaan orang NU di PPP juga ya bertengkar di dalam. Konflik terus. Puncaknya itulah kenapa kemudian kembali ke khittah 1984. Ibaratnya panggung itu sudah milik orang lain. Masak kita main di panggung orang, ya enggak bisa maksimal. Karena itu lalu menjadi jamiah lagi,” jelas Hairus.


Menyikapi wacana pahlawan nasional bagi Soeharto, Ketua PBNU Savic Ali mengatakan, NU secara resmi belum menyatakan sikapnya. Namun, menurut Savic, defenisi pahlawan layak disematkan bagi mereka yang berani mempertaruhkan keselamatan dan kepentingannya demi orang lain. Sementara Soeharto tidak mempertaruhkan keselamatan dan kepentingannya.


“Pak Harto saya kira enggak mempertaruhkan keselamatan dan kepentingannya. Justru dia mendahulukan kepentingannya. Soeharto adalah salah satu presiden paling kaya di dunia bahkan sampai hari,” ujar Savic Ali.


Mengutip laporan Majalah Time, edisi 24 Mei 1999 bertajuk “Soeharto Inc.: How Indonesia's Long Time Boss Built a Family Fortune” disebutkan transfer dana sejumlah 9 miliar dolar AS masuk ke rekening Soeharto di Bank Swiss. Setidaknya, total jumlah kekayaan Soeharto mencapai 15 miliar dolar AS sekaligus mencitrakan dirinya presiden paling korup di dunia. Pertumbuhan ekonomi masa Orde Baru juga lebih banyak dinikmati oleh elite dan kroni-kroni Soeharto ketimbang rakyat kebanyakan.


“Segelintir orang ini kalau mau menganggap Pak Harto sebagai pahlawan silakan. Tapi, ya enggak usah dinobatkan oleh negara sebagai pahlawan nasional,” pungkas Savic.*

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
Banjir Aceh dan Tapanuli Tempo Dulu

Banjir Aceh dan Tapanuli Tempo Dulu

Sumatra Utara dan Aceh dulu juga pernah dilanda banjir parah. Penyebabnya sama-sama penebangan hutan.
bottom of page