- Petrik Matanasi
- 3 Sep
- 2 menit membaca
SORE telah menghilang di Yogyakarta. Perut pun waktunya diisi. Mereka yang tidak memasak di rumah, tentu harus pergi ke warung kaki lima. Di Jalan Mrican, dulu ada banyak warung tenda yang menjual pecel lele, bermacam makanan nasi, lele goreng dengan sambel serta lalapan kubis dan daun kemanginya. Tentu ada banyak menu selain pecel lele di sana.
Seperti orang-orang yang lain, Mozes Gatutkaca juga harus makan petang itu demi memenuhi kebutuhan perutnya. Dirinya, yang tidak masak di rumah, pun harus ke luar menyusuri Jalan Mrican.
Dalam perjalanan, ada orang Mrican yang mengenalnya memperingatkannya bahwa adanya kekacauan di sekitar Jalan Gejayan pasca-demonstrasi. Karena merasa tak terlibat dalam demonstrasi, Mozes meneruskan perjalanannya ke arah selatan untuk mencari makan.
Titik demonstrasi sendiri berada di pertigaan Gejayan-Colombo, tempat biasa orang berdemo hingga kini. Pada 8 Mei 1998 itu, aparat bersiaga di sekitar Hotel Radisson, yang dulu bernama Loman Park Hotel Yogyakarta, yang tak jauh dari Gejayan.
Namun, orang-orang Mrican yang mengenal Mozes kemudian tak pernah lagi berbicara dengannya. Pada senja 8 Mei 1998 itu, Mozes ditemukan tergeletak tak bernyawa di Jalan Mrican, tepatnya dekat kampus Universitas Sanata Dharma.
“Mozes itu tertembak,” kata Felix Suyanto, salah satu warga Mrican.
Pemegang senjata api pada senja 8 Mei 1998 itu tidaklah jauh dari Mozes terbunuh. Mereka berkeliaran di sekitar Gejayan setelah memukul mundur mahasiswa yang berlari ke arah utara Jalan Gejayan. Mereka adalah aparat.
Bergerak: Media Aksi Mahasiswa UI tahun 1998 menyebut, Mozes dihadang 10 orang petugas yang bersenjatakan rotan. Mozes langsung dipukul, ditendang. Ada pula aparat yang menginjaknya sambil mengeluarkan kata-kata kotor, yang tak pantas diucapkan oleh seorang abdi negara yang katanya sopan.
Berita meninggalnya Mozes langsung menyebar. Sekitar pukul 11.00 malam, berita kematian Mozes sudah sampai ke mahasiswa pendemo yang sudah mengungsi ke arah utara Gejayan. Ketika itu internet masih belum banyak diakses orang dan sosial media belum ada sehingga informasi tak dapat cepat tersebar seperti sekarang. Esoknya, koran-koran yang terbit di Yogyakarta menyiarkan Mozes Gatutkaca tertembak.
“Pagi menjelang siang itu dimakamkan, yang memimpin itu Romo Mangun,” terang Faiz Ashol, mahasiswa Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP) Yogyakarta yang –terletak di bilangan Karangmalang– ikut demonstrasi di Gejayan pada 1998 itu. Romo Mangun yang dimaksudnya adalah Romo Yusuf Bilyarta Mangunwijaya (1929-1999), agamawan Katolik yang juga sastrawan dan tinggal di Gang Kuwera, utara Gang Guru (kini Jalan Guru) dan kampus IKIP Yogyakarta.
Seingat Felix, Mozes tinggal di sekitar Jalan Pringgodani dan berasal dari Kalimantan. Ada yang menyebut Mozes adalah mahasiswa Atmajaya, sementara yang lain menyebut dia mahasiswa Sanata Dharma. Keduanya sama-sama kampus Katolik. Namun, Andris Basril dkk. dalam Gerakan Mahasiswa Dalam Politik Indonesia menyebut, Mozes merupakan teknisi komputer dan berusia 40 tahun.
Terlepas mahasiswa atau bukan, faktanya Mozes jadi korban kekerasan aparat sama seperti Affan Kurniawan, driver ojek daring yang baru-baru ini juga wafat ketika sedang bekerja di tengah kawasan orang berdemonstrasi. Affan bekerja untuk mencari makan untuk diri dan keluarganya. Ada kesamaan antara Mozes dengan Affan, yakni sama-sama terbunuh aparat ketika mencari makan dan bertahan hidup di negara yang tidak memberikan fasilitas enak ke mereka.*













Komentar