top of page

Sejarah Indonesia

Perlawanan Dari Gejayan

Perlawanan dari Gejayan

Gejayan menjadi pusat demonstrasi mahasiswa menuntut Presiden Soeharto mundur. Satu orang tewas.

23 September 2019

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Demonstrasi mahasiswa di Gejayan, Yogyakarta, tahun 1998. (Twitter @Thewicakson0).

Aliansi Rakyat Bergerak menyerukan kepada seluruh mahasiswa dan elemen masyarakat Yogyakarta untuk mengikuti aksi #GejayanMemanggil pada 23 September 2019. Massa akan bergerak dari Gerbang Utama Universitas Sanata Dharma, Pertigaan Revolusi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, dan Bundaran Universitas Gadjah Mada, ke pusat titik kumpul di Pertigaan Colombo, Gejayan.


“Gejayan di tahun 1998 menjadi saksi perlawanan mahasiswa dan masyarakat Yogya terhadap rezim yang represif. Di tahun 2019, Gejayan kembali memanggil jiwa-jiwa yang resah karena kebebasan dan kesejahteraannya terancam oleh pemerintah,” demikian bunyi seruan #GejayanMemanggil.


Dalam selebaran yang viral, #GejayanMemanggil menyebut pemerintah telah memojokan rakyat melalui RKUHP, RUU KPK, RUU Ketenagakerjaan, RUU Pertanahan, kriminalisasi aktivis di berbagai sektor, dan ketidakseriusan pemerintah dalam menangani isu lingkungan dan RUU PKS yang tak kunjung disahkan.


Bagimana peristiwa Gejayan di tahun 1998?


Pada 5 Mei 1998, ribuan mahasiswa yang bernaung di bawah Somasi (Solidaritas Mahasiswa Sanata Dharma untuk Reformasi) menggelar mimbar bebas. Mereka menyuarakan agar Presiden Soeharto, harga barang-barang, dan bahan bakar minyak, turun.


Menurut Hiro Tugiman dalam Budaya Jawa & Mundurnya Presiden Soeharto, menjelang siang, mahasiswa berdatangan dari kampus lain. Halaman kampus Sanata Dharma tak muat, massa meluber ke jalanan. Orasi semakin panas. Seorang pembicara mengajak long march ke kantor DPRD di Jalan Malioboro. Semua setuju, serentak bergerak.


Sekitar sepuluh ribu massa memadati Jalan Gejayan. Mereka terus merangsek sehingga Pasukan Pengendalian Massa (Dalmas) Polres Sleman mundur. Massa meminta Kapolres Sleman Letkol Bambang Purwoko mengawal long march ke DPRD. Namun, dia menolak dan mendatangkan Kolonel Subagio Waryadi, Ketua DPRD Yogyakarta dan Letkol Sriyono H.P. dari Fraksi ABRI. Massa menyandera mereka karena tak bersedia mengantarkan long march ke DPRD. Setelah berunding, sandera dibebaskan.


Somasi sempat membubarkan aksi, tapi main bakar mulai merebak. Ketika matahari terbenam, bentrokan tak terhindarkan. Korban luka-luka di kedua belah pihak berjatuhan. “Suasana mirip perang kota. Gelap membuat gamang, marah, dan melampiaskan dendam kepada elite kekuasaan,” tulis Hiro.


Puing-puing setelah kerusuhan di Jalan Gejayan, Yogyakarta, Mei 1998. (Repro Budaya Jawa & Mundurnya Presiden Soeharto).
Puing-puing setelah kerusuhan di Jalan Gejayan, Yogyakarta, Mei 1998. (Repro Budaya Jawa & Mundurnya Presiden Soeharto).

Pada 6 Mei 1998, tulis Samsu Rizal Panggabean dalam Konflik dan Perdamaian Etnis di Indonesia, demonstrasi serentak terjadi di beberapa kampus, termasuk UGM, IKIP (kini UNY), Sanata Dharma, dan IAIN (kini UIN). Sebagian besar demonstrasi berjalan damai. Tapi di Jalan Gejayan, yang melewati kampus IKIP dengan Sanata Dharma, terjadi bentrokan. Polisi mengejar mahasiswa sampai ke dalam kampus. Sebanyak 29 demonstran ditangkap.


Aksi berlanjut dengan puncaknya pada 8 Mei 1998. Pada sore hari, ribuan mahasiswa UGM mengadakan aksi demonstrasi di gerbang kampus. Di lokasi lain, kurang dari satu kilometer dari UGM, mahasiswa IKIP dan Sanata Dharma, juga berdemonstrasi. Kedua kelompok mahasiswa ini ingin bergabung dengan mahasiswa UGM.


“Mahasiswa mengetahui bahwa itu tidak boleh, dan aparat keamanan tidak membolehkan mahasiswa meninggalkan kawasan kampus. Ketika mahasiswa terus melangkah, perkelahian polisi dan mahasiswa pun terjadi mulai jam 5 sore,” tulis Samsu.


Polisi menggunakan meriam air, gas air mata, dan pentungan. Sedangkan mahasiswa menggunakan batu dan bom molotov. Akibat kerusuhan ini berbagai fasilitas publik rusak: pot bunga, lampu jalan, lampu lalu lintas, gardu listrik, dan telepon umum.


“Pada malam itu, Moses Gatotkaca ditemukan tewas di Jalan Gejayan. Dokter yang memeriksanya mengatakan kematiannya disebabkan luka di kepala. Puluhan mahasiswa masuk rumah sakit,” tulis Samsu.


Menurut Hiro, malam itu, Moses (alumnus Sekolah Tinggi Akprind tahun 1995) dan temannya, Zulfikar, hendak mengisi perut dan keluar rumah menuju Jalan Gejayan. Tapi mereka terjebak di antara massa dan petugas keamanan. Mereka terpisah. Rupanya Moses tercokok petugas. Dia dipukuli dan tergeletak tak berdaya di pojok utara Hotel Radison. Dia tewas dalam ambulans menuju rumah sakit.


Mahasiswa kembali berdemonstrasi pada 15 Mei 1998. Bentrokan terjadi di Jalan Gejayan. Selain membakar ban, massa juga melempari kaca bank-bank dan ruang pamer mobil Timor sebagai simbol korupsi keluarga Soeharto.


“Pada titik kritis ini, Sultan Yogyakarta, Hamengkubuwono X, muncul di persimpangan Jalan Solo, ketika ribuan demonstran berkumpul sore hari itu. Kehadirannya segera menarik perhatian massa,” tulis Samsu.


Sambil berdiri di atas mobil, Sultan berpidato kepada massa: “Saya menghormati perjuangan Anda untuk reformasi. Tapi, jangan gunakan cara-cara kekerasan. Jika kalian tertib, saya akan selalu mendukung aspirasi Anda.”


“Massa tepuk tangan dan tidak ada lagi kekerasan lanjutan sore itu. Demonstran kemudian beringsut pulang,” tulis Samsu.


Esok harinya, di banyak jalan di Yogyakarta bermunculan baliho dan spanduk yang menyampaikan pesan-pesan nirkekerasan dan menahan diri. Pada minggu terakhir sebelum Soeharto jatuh pada 21 Mei 1998, demonstrasi-demonstrasi di Yogyakarta berlangsung secara damai.


Kali ini, akankah pemerintah dan politisi di Senayan mendengar seruan dari Gejayan?

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
bottom of page