top of page

Sejarah Indonesia

Ngarengkong Bukan Sekadar

Ngarengkong Bukan Sekadar Tradisi

Dilakukan serempak dengan riang gembira sebagai penanda bahwa panen raya mereka berhasil. Satu bukti kedaulatan pangan masyarakat adat.

23 September 2025

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Ratusan masyarakat adat Kasepuhan Banten Kidul dengan prosesi Ngarengkong (Randy Wirayudha/Historia.ID)

SIANG (20/9/2025) itu di Jalan Alun-Alun Timur Rangkasbitung, Lebak, sekira 300 orang berpakaian adat nan sederhana berduyun-duyun berjalan berbarengan sembari memikul berikat-ikat padi kering dengan batang bambu. Makin banyak mereka datang, makin terdengar hembusan suara unik yang mengiringi hingga membuat warga sekitar yang menyaksikan tertegun. 

 

Suara unik itu rupanya datang ijuk yang terikat di batang bambu dan digoyang-goyangkan rombongan orang-orang tadi. Announcer dari panggung utama lantas memperkenalkan mereka sebagai masyarakat adat Kasepuhan Banten Kidul yang sedang menjalankan prosesi Ngarengkong, sebagai salah satu pertunjukan tradisional pembuka Festival Seni Multatuli, 19-21 September 2025. 


Menurut sejarawan cum dewan pembina Yayasan Festival Seni Multatuli Bonnie Triyana, festival kali ini jadi ajang pertemuan dan kolaborasi antara para pelaku seni dan budaya lokal Lebak dan nasional.

 

Dalam acara tersebut, pertunjukan ngarengkong disajikan sejumlah komunitas masyarakat adat yang berdiam di sekitar Gunung Halimun. Ada sekitar 320 orang yang memeragakan tradisi ngarengkong itu kata Henriana Hatra, wakil salah satu koordinator dan sesepuh masyarakat adat Kasepuhan Cisungsang.

 

“Sekitar 300 rengkong-nya dan pengiringnya sekitar 20 orang dari masyarakat adat kasepuhan yang memang masyarakatnya yang basisnya bercocok tanam, terutama masyarakat adat yang wilayahnya bercocok tanan padi. Itu dari wilayah Banten Kidul di sekitar Gunung Halimun dan mereka datang sebagai perwakilan-perwakilan dari sekitar pegunungan itu,” terang sosok yang akrab disapa Kang Nochi itu kepada Historia.ID.


Henriana Hatra dari Kasepuhan Cisungsang (Randy Wirayudha/Historia.ID)
Henriana Hatra dari Kasepuhan Cisungsang (Randy Wirayudha/Historia.ID)

Bukti Kedaulatan Pangan Masyarakat Adat

Masyarakat adat di Provinsi Banten, utamanya Kabupaten Lebak, terang Kang Nochi, tidak hanya masyarakat Baduy. Ada pula beberapa kelompok masyarakat adat kasepuhan yang sudah turun-temurun mempertahankan dan menjalankan aneka tradisi mereka. 

 

“Di Banten atau di Kabupaten Lebak, itu ada dua klasifikasi kelompok masyarakat adat. Pertama, masyarakat adat Baduy yang sering kita lihat di Desa Kanekes itu pakaiannya, simbolnya seperti apa, ekspresi budayanya juga ada. Kedua, adalah masyarakat adat Kasepuhan dan masyarakat adat Kasepuhan ini banyak dan sudah terakomodir di Perda (Bupati Lebak) No. 8 Tahun 2015 tentang Pengakuan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Masyarakat (Hukum) Adat Kasepuhan,” urainya lagi. 

 

Masyarakat adat Kasepuhan sudah eksis sejak berabad-abad lampau. Meski belum ada catatan tertulis yang jadi konsensus, beberapa sumber lisan menyebut yang tertua adalah masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar yang konon sudah ada sejak 1300 tahun lampau. Masyarakat adat Kasepuhan Cisungsang juga diyakini sudah ada sejak zaman Kerajaan Pakuan Pajajaran (932-1579 Masehi). 

 

“Itu informasi yang kita terima dari cerita lisan generasi sebelumnya –para orangtua kami– maka konteksnya kami ini hanya mewarisi. Artinya kami meniru apa yang dilakukan leluhur. Jadi semenjak prosesi ritual penghormatan terhadap padi itu berjalan di masyarakat adat, prosesi (Ngarengkong) ini sudah ada. Mungkin sudah ratusan tahun walau tidak ada data primer tertulis soal sejak kapan tradisi Ngarengkong,” tambah Nochi. 

 

Menurut Eka N. Mualimah, Andoyo Sastromihardjo, dan Vismaia S. Damaianti dalam artikel “Kasepuhan Banten Kidul: Exploring Local Wisdom through Reading Culture” yang termaktub dalam Jurnal Proceedings of the International Joint Conference on Arts and Humanities 2024, sederhananya ngarengkong adalah prosesi membawa padi-padi kering yang sudah dipanen dari sawah ke rumah, lalu ke leuit (lumbung padi). Asal katanya dari “rengkong”, yang merupakan sebutan batang bambu yang diikat ijuk di kedua sisinya. 

 

“Setiap orang memikul dua bundel, di mana salah satu bundelnya berisi tiga pocong (ikat) tangkai-tangkai padi kering. Beras yang dihasilkan dari ritual ngarengkong tidak boleh dijual, melainkan harus disimpan di lumbung untuk jadi stok jika ada yang membutuhkan atau ketika kejadian-kejadian gagal panen,” tulis Eka dkk. 

 

Menurut Nochi, prosesi ngarengkong juga jadi bukti kedaulatan pangan masyarakat adat Kasepuhan. Bagaimana mereka menjalankan prosesinya dengan suasana riang gembira, itu menandakan keberhasilan panen mereka. 

 

“Kalau di satu komunitas ketika panen raya, bisa ratusan membawa padi secara bersama-sama. Pertama, itu menandakan atau memberi informasi ke pihak luar bahwa komunitasnya itu panen rayanya berhasil. Karena kalau dia hanya sedikit enggak akan bunyi juga tuh bambunya. Kan kalau di kampung itu misalnya sejauh 4-5 kilo(meter) terdengar suaranya sehingga bisa menjadi, oh Alhamdulillah saudara kami panennya berhasil. Kedua, biar memikulnya tidak capek, sambil dilakukan dengan bergembira, maka sekalian dibunyikan. Bunyinya karena ijuk bergesekan dengan bambu itu. Biasanya ngarengkong ini kalau di kampung, di komunitas itu diiringi oleh angklung sambil bernyanyi sambil membawa padi. Biar sambil bersuka cita hasil panen, menunjukkan oh iya panen sudah berhasil,” terang Nochi.  

 

Pada akhirnya, selain tradisi Seren Taun, Sadekah Bumi, ataupun Ngahuma, prosesi ngarengkong jadi bukti bahwa mereka mampu hidup mandiri dan berdaulat pangan tanpa campur tangan politik atau pemerintah (pihak luar). Tentu saja, mereka juga butuh diakui, dilindungi, dan diberdayakan mengingat tradisi-tradisi itu termasuk kearifan lokal dari suatu daerah. Hingga kini, ada lebih dari 500 komunitas adat Kasepuhan di sekitar Gunung Halimun yang berbatasan antara Kabupaten Lebak dan Kabupaten Sukabumi. 

 

“Saya ambil contoh, Kasepuhan Cisungsang itu terakhir cacah jiwa itu 13.500 jiwa, itu satu kelompok. Belum yang lain-lain sehingga kalau dikomparasi itu mungkin sekitar 30-35 persen dari (total) kelompok masyarakat di Kabupaten Lebak. Nah sehingga potensinya besar untuk kedaulatan pangan karena mereka punya cara tersendiri bagaimana melakukan proses bercocok tangan secara tradisional dan itu dilakukan turun temurun. Nah buktinya salah satu prosesinya itu ngarengkong,” pungkas Nochi. 


 


Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
Anak Tawanan Itu Bernyanyi “Nina Bobo”

Anak Tawanan Itu Bernyanyi “Nina Bobo”

Sukses sebagai penyanyi di Belanda, Anneke Gronloh tak melupakan Indonesia sebagai tempatnya dilahirkan.
Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Film perdana Reza Rahadian, “Pangku”, tak sekadar merekam kehidupan remang-remang lewat fenomena kopi pangku. Sarat pesan humanis di dalamnya.
bottom of page