- Petrik Matanasi
- 16 Jul
- 2 menit membaca
SEJAK lama, orang Islam Indonesia melihat perbedaan antara Nahdatul Ulama dan Muhamadiyah. NU dianggap mewakili kaum tradisional sedangkan Muhamadiyah dianggap golongan moderat.
Pertentangan sering terjadi di lapisan bawah atau akar rumput. Kadang bisa menjadi pertentangan terbuka. Namun di jajaran pemimpin, NU-Muhamadiyah malah bisa disatukan, terutama dalam sebuah forum. Ini bukan cerita baru. Koran Bataviaasch Nieuwsblad tanggal 4 Maret 1938 menyebut, Kongres Al-Islam yang diadakan di Masjid Ampel sekitar Maret 1938 dihadiri para kyai dari Nahdatul Ulama (NU) seperti Wahab Wahib; kyai Fakih Usman dan Mas Mansoer dari Muhammadiyah; Sekh Umar Hoobis (Al-Irsjad), dan Sekh Mohamad Hoesein Ba' aboed (Al-Charijah). Sekitar 4000 orang hadir di Masjid Ampel ketika itu.
Kyai Haji Mas Mansur (1896-1946) adalah ketua umum Pengurus Besar Muhamadiyah ke-4 (1937-1942) yang tidak alergi terhadap ritual berziarah ke makam-makam seperti yang dilakukan banyak pengikut NU di Jawa. Koran Soerabaijasch Handelsblad tanggal 26 Desember 1933 memberitakan, ketika Ketua Westerm Islamic Association Dr. Khalid Shelldrake berkunjung ke Surabaya, Mas Mansur mengajaknya berziarah ke makam Sunan Ampel yang terletak di sebelah Masjid Ampel.
Masjid Ampel adalah masjid tua di Surabaya. Kini umurnya lebih dari 600 tahun. Masjid ini adalah peninggalan dari Raden Rakhmad alias Sunan Ampel. Dia hidup di era Kerajaan Majapahit.
“Raden Rakhmad ditunjuk untuk tinggal di Desa Ngampel dan diberi kesempatan untuk menyebarkan Islam kepada penduduk di daerah itu,” catat Sarkawi B. Husain dalam Sejarah Masyarakat Islam Indonesia.
Mas Mansur yang tutup usia pada 25 April 1946 serta telah menjadi Pahlawan Nasional RI itu dimakamkan di belakang Masjid Ampel. Ketika Mas Mansur tutup usia, sudah ada beberapa makam di sekitar makamnya. Salah satunya adalah makam Kyai Haji Hasan Basri Sogipodin (1869-1934) alias Hasan Gipo. Keduanya sama-sama lahir dan meninggal dunia di Surabaya.
Hasan Gipo merupakan ketua umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama pertama (1926-1934). Masa jabatannya berakhir ketika Hasan Gipo tutup usia. Majalah Risalah NU edisi 115, “Isyarat Langit Berdirinya NU”, menyebut makam Hasan Gipo sempat hilang dan sulit dikenali. Disebutkan pula bahwa Hasan Gipo masih punya hubungan darah dengan Mas Mansur. Hasan Gipo disebut-sebut sebagai generasi kelima dinasti Gipo, salah satu keluarga pedagang yan cukup mapan di Surabaya.
Di bagian belakang Masjid Ampel, makam mantan ketua NU dan ketua Muhamadiyah itu sekarang mudah dikenali. Sebab, terpampang plang keterangan makam kedua tokoh tersebut.
Dua makam tokoh dari aliran berbeda dalam satu kolom makam di belakang Masjid Ampel, yang sering diziarahi jamaah NU, itu seharusnya bisa menjadi pelajaran bagi semua orang Islam di tanah air bahwa perbedaan paham bukan sesuatu yang harus dikedepankan dan itu jelas bisa didamaikan.
Masjid Ampel dan apapun yang dulu dirintis Sunan Ampel, hingga kini rupanya masih mampu menyatukan umat Islam di Jawa. Bahkan, NU dan Muhamadiyah yang dianggap berseberangan pun bisa satu “meja” di masjid ini. kedua makam tokoh NU dan Muhammadiyah yang berdekatan itu salah satu buktinya.










Komentar