top of page

Sejarah Indonesia

Opi Merah Simbol Perlawanan Rakyat Prancis

Topi Merah Simbol Perlawanan Rakyat Prancis

Revolusi tak mematikan mode di Prancis malah semakin dipolitisasi. Salah satu yang populer hingga menjadi simbol perlawanan rakyat terhadap tirani adalah topi merah.

25 September 2023

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Rakyat Prancis memakai topi merah selama revolusi. (New York Public Library/tota.world).

SELAMA Revolusi Prancis (1789–1799), warna merah yang sejak akhir abad ke-18 menjadi simbol politik, tak hanya terlihat pada bendera-bendera yang dikibarkan setiap kali rakyat turun ke jalan. Warna merah sebagai simbol perlawanan terhadap tiranijuga menghiasi pakaian dan aksesoris yang digunakan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, salah satunya topi.


Menurut sejarawan mode Amerika, Valerie Steele dalam Paris Fashion: A Cultural History, popularitas bonnet rouge atau topi merah di kalangan rakyat Prancis menjadi tanda bahwa mode tidak menghilang selama revolusi tetapi menjadi semakin dipolitisasi, terutama setelah kejatuhan monarki pada 1792.


Bonnet rouge atau topi merah memainkan peran penting dalam ikonografi Revolusi Prancis. Menyerupai topi Phrygia yang dikenakan oleh para budak dan narapidana yang dibebaskan, topi merah dimaksudkan untuk mengingatkan para pemakainya dan seluruh masyarakat akan kebebasan yang baru saja didapatkan oleh rakyat,” tulis Steele.



Sejarawan Prancis dan ahli simbologi Barat, Michel Pastoureau dalam Red: The History of Color menyebut topi sederhana yang dikenakan kelas pekerja sebagai simbol revolusioner dan patriotik melawan raja, kaum bangsawan, dan pendeta yang memiliki hak istimewa, muncul pada 1789. Namun, baru digunakan secara umum di antara para pendukung ide-ide baru pada musim semi berikutnya. Topi merah kemudian populer sebagai simbol kebebasan yang harus dimenangkan oleh seluruh masyarakat, baik pria maupun wanita, yang tidak ingin lagi menjadi subjek melainkan sebagai warga negara.


Di tahun berikutnya, topi merah menjadi bagian dari seragam reguler sans-culottes(masyarakat kelas pekerja), dan pada hari pemberontakan 20 Juni, massa yang menyerbu Tuileries memaksa Louis XVI mengenakan topi tersebut. Pada hari-hari berikutnya, surat kabar patriot Les Révolutions de Paris menggambarkan topi merah sebagai “lambang emansipasi dari semua perbudakan dan tanda berkumpulnya semua musuh despotisme”.



Yang menarik, sebelum revolusi di Prancis, topi merah telah muncul dalam propaganda melalui gambar-gambar menyertai Revolusi Amerika dari tahun 1775 hingga 1783. Pada masa itu topi ini dipandang sebagai simbol utama kebebasan. “Namun, Revolusi Amerika juga tidak menciptakan apa pun. Topi yang sama dapat ditemukan sebagai atribut Liberty di sebagian besar manuskrip ikonologi, buku-buku tentang simbol, dan koleksi perangkat yang dicetak pada abad keenam belas, ketujuh belas, dan kedelapan belas,” sebut Pastoureau.


Para cendekiawan dan seniman abad ke-16 dan 17 melihat topi merah sebagai evolusi dari topiPhrygiayang dikenakan para budak yang dibebaskan di Romawi kuno. Menurut legenda, para budak yang telah dibebaskan akan kembali memakai topi nenek moyang mereka, topi Phrygia, berwarna merah dan berbentuk kerucut dengan bagian atas sedikit terlipat ke depan.


Popularitas topi ini kian meningkat hingga menabalkan identitasnya sebagai simbol perlawanan rakyat di masa-masa Revolusi Prancis pada akhir abad ke-18. Publik yang diberitahu bahwa topi ini merupakan lambang kebebasan dari semua perbudakan dan simbol perlawanan terhadap tirani kemudian ingin memiliki topi tersebut. Mereka dengan bangga memakainya di setiap kesempatan.



Tingginya antusias masyarakat pada topi merah sempat memicu perdebatan mengenai siapa yang layak mengenakannya, apakah hanya laki-laki atau wanita juga diperkenankan memakainya. Menurut Jennifer Harris dalam “The Red Cap of Liberty: A Study of Dress Worn by French Revolutionary Partisans 1789–94”, jurnal Eighteenth-Century Studies, Vol. 14, No. 3 (Spring, 1981), seperti banyak simbol revolusi di Prancis yang dipinjam dari periode kuno klasik, topi merah merupakan simbol kebebasan dari tirani yang paling kuat yang muncul pada tahun-tahun itu dan oleh karenanya memiliki nilai propaganda yang penting. Seiring berjalannya waktu, pemakaian topi merah menjadi simbol sentimen republik.


“Setelah ditetapkan sebagai simbol kebebasan yang segera dikenali dan kemudian menjadi sentimen republik, topi merah tentu saja dapat dikenakan untuk menyembunyikan simpati pada aristokrat... di masa pemerintahan Teror, banyak warga negara yang mengenakan topi merah untuk menyembunyikan keyakinan pribadi mereka dan menghindari tuduhan sebagai kaum moderat maupun aristokrat,” ungkap Harris.



Terlepas dari popularitasnya, topi merah juga dipandang negatif dan memiliki banyak musuh bahkan di antara kaum revolusioner. Meski topi ini dipakai secara umum, dan terutama oleh Club des Jacobins pada musim semi 1792, Pétion, wali kota Paris dan seorang Jacobin yang bersemangat, mengkritiknya karena melihat topi itu “untuk menakut-nakuti orang jujur”. Di sisi lain, Robespierre juga mengaku tidak menyukai topi merah. Keduanya bergabung untuk menentang mosi yang mengizinkan penggunaan topi merah di depan umum.


“Kedua patriot ini merasa bahwa ada beberapa ketidaknyamanan yang menyertai penggunaan simbol patriotisme yang baru, dan berpikir bahwa tiga warna –merah, biru, dan putih– serta slogan vivre libre ou mourir sudah cukup bagi para pendukung konstitusi. Pendapat ini disambut dengan riuh dan masyarakat merekomendasikan agar para anggotanya tidak menggunakan topi merah di depan umum,” sebut Harris.


Kritik yang muncul atas topi merah tak menghentikan upaya menjadikannya simbol negara, bahkan kemudian pemakaian topi merah menyebar di antara para penguasa di Paris.Pada akhir tahun 1792, topi merah telah menjadi simbol kekuatan politik kelompok sans-culottes, meski topi itu jarang dikenakan oleh kaum borjuis revolusioner.


Menurut Pastoureau, topi merahmulai menghilang dari perhatian publik pada masa Konsulat. Imbasnya pada 1802, para pejabat memerintahkan agar semua topi yang muncul di monumen-monumen publik dicopot.*

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
Anak Tawanan Itu Bernyanyi “Nina Bobo”

Anak Tawanan Itu Bernyanyi “Nina Bobo”

Sukses sebagai penyanyi di Belanda, Anneke Gronloh tak melupakan Indonesia sebagai tempatnya dilahirkan.
Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Film perdana Reza Rahadian, “Pangku”, tak sekadar merekam kehidupan remang-remang lewat fenomena kopi pangku. Sarat pesan humanis di dalamnya.
bottom of page