- Hendaru Tri Hanggoro
- 19 Nov 2018
- 4 menit membaca
GENERASI sekarang terasing dengan sejarah bangsanya. Ada jarak menganga antara mereka dengan sejarah bangsanya. Keterpisahan mereka berpangkal dari metode pengajaran sejarah yang membosankan di sekolah. Akibatnya warisan berharga sejarah bangsa berupa nilai-nilai kepahlawanan tak sampai ke benak generasi sekarang.
“Di SMA saya diajari oleh guru sejarah yang membawakannya secara kronologis. Soal-soal tahun yang disebutkan, itu kemudian yang jadi soal ujian. Jadi kita melihat sejarah itu jadi tegang,” kenang Hanung Bramantyo, sutradara film bertema sejarah, dalam talkshow Hari Pahlawan di Museum Nasional, Jakarta, 17 November 2018.
Hanung mengaku bahwa dia penyuka sejarah. Ketertarikannya pada sejarah berpunca dari masa SMP. Dia bertemu dengan guru sejarah yang piawai bercerita. “Guru saya tidak pernah tanya tentang tahun. Dia bercerita kayak orang curhat, cerita tentang Sukarno kecil seperti apa,” tutur Hanung.
Hanung kemudian terdorong belajar sejarah lebih lanjut. “Saya mencari buku-buku para tokoh,” lanjut Hanung. Tapi di SMA kegemarannya terhadap sejarah agak terganggu. Metode pengajaran gurunya lebih kaku. Peristiwa ini mengendap di benak Hanung hingga dewasa dan bekerja sebagai sineas. Dia berpikir untuk membuat jembatan antara generasi sekarang dengan masa lalunya. Jembatan itu berupa film bertema sejarah.
Hanung melanjutkan bahwa orang sering melihat pahlawan bangsa sebagai superhero. Sempurna dan tiada cela. Nyaris bukan seperti manusia dan hanya memiliki satu sisi. Ini menyebabkan orang susah menggapai nilai-nilai pahlawan bangsanya.
“Pahlawan sejatinya manusia biasa. Mereka mempunyai sisi humanis selaiknya orang kebanyakan,” terang Hanung. Mereka kadang merasa takut, cemas, khawatir, dan bimbang. Tapi mereka mampu mengalahkan keadaan tersebut. Inilah sebenarnya gambaran pahlawan. Seseorang yang dekat dengan kehidupan banyak orang dari beragam zaman.
Hanung berusaha mengangkat sisi humanis sosok pahlawan dalam sejumlah filmnya. Antara lain Sang Pencerah (2010), Soekarno: Indonesia Merdeka (2013), Kartini (2016), dan Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta (2018).
Film-film Hanung menuai banyak kritik dari sejarawan dan peminat film. Kritik berkutat pada soal objektivitas dan keakuratan kisah. Hanung menjawab kritik itu. “Film bertema sejarah itu tidak bisa objektif. Justru harus subjektif,” kata Hanung.
Hanung mengibaratkan filmnya sebagai ruang tafsir terbuka. Tujuannya adalah merangsang orang belajar sejarah setelah menonton film, bukan membuat orang belajar sejarah melalui film.
Aktualisasi Sejarah
Triana Wulandari, Direktur Sejarah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), mengakui ada masalah dengan pengajaran sejarah di sekolah. “Kurikulum dan guru-gurunya memang masih bermasalah. Itu memang masalah yang terus menerus menjadi pekerjaan rumah bagi kami,” kata Triana.
Triana menjelaskan banyak guru sejarah bukan berlatar pendidikan sejarah. “Ini masalah fundamental,” ungkap Triana. Sejarah memang ilmu terbuka. Siapa saja bisa mempelajarinya. Tetapi tenaga pengajarnya tetap harus memiliki kecakapan di bidangnya. Kecakapan ini diukur lewat jenjang pendidikan sejarah.
Triana sepakat dengan pandangan Hanung bahwa pengajaran sejarah harus kontekstual. Maksudnya, sejarah mesti punya relevansi dengan generasi sekarang. Sejarah tidak bisa lagi diajarkan sebatas hapalan angka tahun dan nama. Sejarah tidak boleh lagi berjarak dengan generasi sekarang. Pahlawan tidak dapat lagi dipandang sebagai sosok superhero.
Sejarah terjadi pada masa lalu, tetapi nilai-nilai kepahlawanan selalu aktual sepanjang zaman. “Nilai-nilai itu antara lain keberanian, berbuat kebaikan tanpa pamrih, dan semangat bersatu yang tinggi. Kita juga harus mengangkat sisi-sisi humanis mereka,” tutur Triana.
Triana yakin sejarah adalah media untuk menghadirkan nilai-nilai kepahlawanan dan sosok humanis pahlawan dalam tiap zaman pada banyak orang. Sejarah adalah jembatannya.
Triana bersama orang-orang di Kemendikbud terus mengupayakan jembatan itu. “Kami dari Direktorat Sejarah sudah berangsur ingin memberikan terobosan. Misalnya bagaimana guru-guru sejarah bisa menggali sejarah lokal.” Kelokalan berarti kedekatan seseorang dengan tempat dimana dia hidup. Ini menjadi penting mengingat apa yang dekat adalah apa yang mudah dipelajari.
Pengajaran sejarah hari ini tak lepas dari pengaruh perkembangan teknologi. Triana menyadari generasi sekarang adalah generasi gawai dan melek teknologi. Generasi hari ini karib dengan beragam aplikasi dan bentuk audiovisual lainnya. Maka Triana berupaya mendekatkan sejarah kepada generasi sekarang dengan mengembangkan aplikasi dan film pendek bertema sejarah.
Pahlawan Hari Ini
Maidina Rahmawati, pembicara termuda dalam talkshow, berbicara tentang relevansi nilai-nilai kepahlawanan pada hari ini. Menurutnya, nilai-nilai kepahlawanan tak banyak berubah dari zaman ke zaman. Yang berubah ialah medan juang dan lawannya.
“Jika pahlawan dulu dahulu berjuang melawan penjajah, menghapus ketidakadilan akibat penjajahan pihak asing, dan memperjuangkan kemerdekaan, maka perjuangan hari ini bisa berupa melawan kekerasan seksual,” tutur Maidina. Dia aktif sebagai peneliti dalam Institute for Criminal Justice Reform.
Maidina menyebut sosok Baiq Nuril sebagai salah satu pahlawan hari ini. Baiq Nuril adalah seorang guru di Nusa Tenggara Barat. Dia korban kekerasan seksual seorang kepala sekolah. Dia berupaya melawan laku durjana tersebut. Tetapi dia justru jadi tersangka kasus pencemaran nama baik. Mahkamah Agung memutuskan Baiq bersalah.
Kepala sekolah di tempat Baiq Nuril mengajar, justru lepas dari semua tuduhan. Dia memperoleh kenaikan jabatan. Karuan aktivis sosial, pegiat hukum, tetangga Baiq Nuril, dan warga biasa meradang dengan keputusan tersebut. Mereka membela Baiq Nuril.
“Sikap-sikap positif seperti ini, memperjuangkan keadilan, menunjukkan nilai-nilai kepahlawanan masih ada,” kata . Maidina. Lawan para pahlawan hari ini bukan lagi penjajah, melainkan orang-orang yang melakukan perbuatan lancung, durjana, dan korup. Kelak nama-nama mereka akan tercatat dalam sejarah masa depan untuk dipelajari generasi esok hari.
Hanung dan Triana berpendapat serupa dengan Maidina. Menurut mereka, nilai-nilai kepahlawanan sangat dekat. Pahlawan bisa siapa saja. Pahlawan seharusnya bukan sosok asing di antara generasi sekarang. Melalui sejarah, mereka tidak terkubur dalam masa lalu. Mereka melakukan perbuatan positif sesuai kapasitas dirinya dan berdampak besar untuk pribadinya sekaligus orang sekitar. Itulah pahlawan, kemarin atau hari ini













Komentar