- Randy Wirayudha
- 9 Jun
- 6 menit membaca
JIKA nilai-nilai Pancasila terus dihidupkan dan dipraktikkan oleh semua pihak, baik masyarakat maupun para elite politik hingga pejabat negara, sepertinya persoalan “Indonesia Gelap” maupun “Indonesia Terang” takkan jadi polemik di tengah kehidupan berbangsa sekarang. Terlebih, Indonesia juga punya pengalaman nilai-nilai Pancasila didistorsi jadi instrumen politik dan alat legitimasi.
Padahal, menurut Yudi Latif, kala Sukarno yang menggali Pancasila menyampaikannya dalam pidato saat sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni 1945, bangsa sudah punya nilai-nilai budaya yang tertanam kuat, yang merupakan titik temu dari keragaman dalam kehidupan masyarakat sejak dahulu kala. Maka menjadi problem ketika nilai-nilai Pancasila gagal ditransformasikan ketika diterjemahkan ke dalam budaya demokrasi, tata kelola kenegaraan, dan politik.
“Jadi kalau selama ini kita bicara Pancasila kan seolah-olah negara hanya menatar masyarakat dan seolah-olah problem Pancasila itu ada di masyarakat. Padahal dalam pengalaman Indonesia, seringkali distorsi-distorsi Pancasila itu justru ada di dalam penyelenggara negara dan watak-watak ide Pancasila itu justru terekspresikan di dalam perilaku para penyelenggara negara itu sendiri,” tutur Yudi Latif dalam seminar sejarah dalam rangka peringatan Hari Lahir Pancasila bertajuk “Pancasila Solusi Perdamaian Dunia: Perspektif Humanis dan Kebudayaan" di Auditorium Gedung Raden Dewi Sartika Universitas Negeri Jakarta, Kamis (5/6/2025).
Watak dan perilaku penguasa yang dimaksudkanya-lah yang menyalahi nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Kalau sudah begitu, bagaimana masyarakat, utamanya generasi muda, bisa meneledaninya?
“Kalau masyarakat Indonesia itu sebenarnya Bung Karno kan menggali pikiran-pikiran Pancasila dari kebiasaan masyarakat Indonesia. Sebenarnya yang paling penting sosialisasi Pancasila itu untuk pemangku kebijakan. Kepada para elite-elite politik dan pejabat-pejabat di negeri ini,” timpal figur publik dan aktivis muda Olivia Zalianty.
Kasus-kasus korupsi besar, misalnya, tentu bertentangan sekaligus juga mencederai nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, hingga keadilan sosial. Belum lagi, perilaku para penguasa yang kerap mengeluarkan kebijakan tanpa memusyawarahkannya.
“Jadi Pancasila harus diterjemahkan ke dalam. Bagaimana supaya demokrasi kita itu sesuai dengan budaya musyawarah. Di sini kan yang dikembangkan malah misalnya, menang-menangan uang, menang-menangan jumlah. Itu jelas-jelas bertentangan dengan nilai. Sistem tata kelola demokrasi kita itu tidak mencerminkan nilai-nilai Pancasila. Sekarang juga negara sering dikuasai oleh orang-orang tertentu, golongan tertentu, etnis tertentu, gender tertentu, keluarga tertentu. Bertentangan dengan semangat musyarawarah, semangat egalitarianisme yang dikehendaki Pancasila,” sambung Yudi.
Budayawan Ngatawi al-Zastrow pun masih melihat bahwa Pancasila di beberapa kalangan dijadikan alat politik identitas yang membuat “gelap” nuansa kehidupan berbangsa. Padahal masih tersisa “terang” karena Pancasila masih diamalkan masyarakat kelas bawah.
“Bagaimana untuk me-minimize supaya Pancasila tidak menjadi alat legitimasi kepentingan yang mengatasnamakan agama? Karena sekarang banyak kritik, kalau yang tidak setuju dibilang radikal, dibilang tidak Pancasilais. Seolah-olah dijadikan alat untuk itu. Pancasila itu masih hidup, masih diamalkan justru di kalangan masyarakat kecil yang ada di kampung-kampung,” terang Gus Ngatawi.
“Bagaimana upacara Seren Taun masyarakat Sunda Wiwitan itu datang dengan bawaan sendiri dengan kesadaran gotong-royong untuk menghidupkan itu. Itu contoh oase Pancasila yang sekarang masih hidup dan berkembang tanpa sentuhan pemerintah, tanpa sentuhan state. Mereka seperti anak yatim yang hidup sendiri. Makanya justru pemangku kepentingan ini karena selama ini yang kita lihat ‘Indonesia Gelap’ macam-macam itu karena yang kita lihat pada aspek itunya. Setiap hari dikabarkan tentang korupsi, perdebatan, caci-maki, dan sebagainya. Tapi kalau yang kita lihat masyarakat adat, tradisi masyarakat di bawah, itu terang banget karena Pancasila bersinar di situ,” lanjutnya.
Distorsi untuk Desukarnoisasi
Indonesia pernah punya pengalaman buruk soal distorsi Pancasila demi upaya desukarnoisasi (menghapus warisan Bung Karno) di masa Orde Baru. Salah satu yang paling kentara adalah pelarangan memperingati Hari Lahir Pancasila.
Padahal, sejak pemerintah mulai memperingati Hari Lahir Pancasila di Istana Negara pada 5 Juni 1958, perayaannya selanjutnya digelar tahunan setiap 1 Juni. Dalam agenda itu juga untuk kali pertama diperkenalkan lagu “Mars Pancasila” garapan Sudharnoto. Di tahun 1958 juga dan setahun setelahnya, Bung Karno acap memberikan kursus-kursus, kuliah umum, hingga seminar tentang Pancasila.
Namun, ketika gejolak politik terjadi pada 1965 yang berujung peralihan kekuasaan ke rezim Orde Baru, pemerintahan Soeharto melalui Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) melarang adanya peringatan Hari Lahir Pancasila sejak tahun 1970. Baru ketika negeri ini melangkah masuk ke masa Reformasi, pemerintahan Presiden Joko Widodo menetapkan 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahir Pancasila melalui Keputusan Presiden No. 24 Tahun 2016 dan mulai tahun 2017 ditetapkan sebagai hari libur nasional untuk memperingatinya.
Distorsi lain terhadap Pancasila juga terjadi dalam penulisan sejarah hari lahirnya. Hal itu berawal dari terbitnya buku Naskah Persiapan UUD 1945 oleh Moh. Yamin pada 1959. Dalam bukunya, ia menyisipkan naskah pidatonya sekira 20 halaman terkait usulan lima asas dasar negara yang disampaikan di sidang BPUPKI pada 29 Mei 1945. Menariknya, Presiden Sukarno turut menyertai kata pengantar dalam buku Yamin itu dan sepanjang era pemerintahan Sukarno tak pernah ada gugatan soal itu.
Gugatan terhadap Hari Lahir Pancasila 1 Juni 1945 baru muncul di era Orde Baru. Lewat buku tipis Naskah Proklamasi yang Otentik dan Rumusan Pancasila yang Otentik terbitan Pusat Sejarah ABRI dan Departemen Pertahanan Keamanan tahun 1971, sejarawan Nugroho Notosusanto menggunakan referensi buku Yamin itu. Buku tersebut kembali jadi rujukan ketika Nugroho turut mengampu penulisan buku Sejarah Nasional Indonesia jilid VI yang edisi pertamanya terbit pada 1975.
“Bahwa pidatonya (Yamin, 29 Mei 1945) itu semata-mata adalah mengenai dasar negara dan yang bersangkutan dengan dasar negara. Di dalam pidatonya selanjutnya Muh. Yamin mengemukakan lima ‘Azas dasar Negara Kebangsaan Republik Indonesia’ sebagai berikut: Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ke-Tuhanan, Peri Kerakyatan, Kesejahteraan Rakyat. Dua hari kemudian pada 31 Mei 1945 Prof. Mr. Supomo dalam pidatonya memusatkan pembicaraan dasar negara yang diajukannya adalah ‘persatuan’, ‘kekeluargaan’, ‘keseimbangan lahir dan batin’, ‘musyawarah’, dan ‘keadilan rakyat’. Keesokan harinya pada 1 Juni 1945 pada kesempatan itulah Ir. Sukarno mengucapkan pidatonya yang kemudian dikenal dengan nama ‘Lahirnya Pancasila’” tulis Nugroho Notosusanto dan Marwati Djoened Poesponegoro dalam buku Sejarah Nasional Indonesia VI.
Pada intinya, Nugroho menggunakan buku Yamin sebagai sumber primernya untuk “memanipulasi” bahwa Pancasila lebih dulu digaungkan Yamin dan Soepomo. Pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945 seolah-olah hanya menamai lima asas itu sebagai Pancasila. Nugroho pada kesimpulannya juga menyatakan Pancasila patutnya lahir setelah disahkan bersamaan dengan UUD 1945 pada 18 Agustus 1945.
“Nugroho membuat kesimpulan bahwa penggali Pancasila bukan cuma Soekarno, melainkan juga Mohammad Yamin dan Soepomo. Sejak itulah dalam Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila, red.) dan buku-buku sejarah kebangsaan dimasukkan ‘teori’ bahwa tanggal 1 Juni bukanlah hari lahirnya Pancasila. Nugroho membedakan Pancasila 1 Juni 1945 dengan ‘Pancasila’ Yamin 29 Mei 1945, demikian juga dengan Pancasila 18 Agustus yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Nugroho berusaha memisahkan Pancasila Soekarno dengan Pancasila di dalam Pembukaan UUD 1945. Bahkan ia menyatakan sila kedua Pancasila gagasan Bung Karno (Peri Kemanusiaan/Internasionalisme) mudah diinterpretasikan sebagai Internasionalismenya kaum komunis,” ungkap Slamet Sutrisno dalam Kontroversi dan Rekonstruksi Sejarah.
Gugatan itu kemudian digugat balik oleh para pendiri bangsa. Kebetulan pada 1975 Presiden Soeharto membentuk Panitia Lima untuk merumuskan pengertian Pancasila. Panitia berisi Mohammad Hatta, Ahmad Subardjo, A.A. Maramis, Prof. Mr. Sunario, dan Prof. A.G, Pringgodigdo. Bung Hatta dkk. memanfaatkan pembentukan Panitia Lima tersebut untuk menggugat klaim Yamin yang jadi rujukan Nugroho Notosusanto tadi.
Mereka menolak klaim Yamin karena sejatinya yang diklaim sebagai naskah pidato Yamin sebanyak 21 halaman itu adalah rancangan preambul UUD 1945 atas perintah Bung Karno. Naskahnya ditolak karena dianggap terlalu panjang. Namun naskah itu kemudian dimasukkan Yamin ke dalam bukunya.
“Seolah-olah naskah itulah yang dibacakannya pada sidang Panitia Penyelidik (29 Mei 1945). Karena naskah yang dibuatnya diminta oleh Bung Karno untuk keterangan Pancasila yang dirumuskan kembali, dengan sendirinya naskah itu menyerupai Pancasila Bung Karno. Di sinilah letak liciknya Yamin, sehingga orang yang tidak mengetahui seluk-beluk naskahnya itu, mengira bahwa Yaminlah yang sebenarnya melahirkan ide Pancasila,” ungkap Bung Hatta, dikutip Yos Sudarso dalam Pribadi Manusia Hatta: Antara Peci di Atas Kursi Panjang.
Meski begitu, perdebatan soal itu di masa Orde Baru terus berlanjut. Padahal tak sedikit kolega Nugroho maupun sejarawan mendukung klaim itu. Ia dikritik karena dianggap tidak melakukan verifikasi atau kritik sumber.
“Autentisitas pidato Soekarno pada 1 Juni 1945 sebenarnya tidak mengandung keraguan apapun. Dalam ‘Catatan Pembahasan atas Makalah Menelusuri Dokumen Historis Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan’, A.B. Kusuma menginventarisasi beberapa bukti dan sakti kuat keabsahan dan keaslian pidato Soekarno. Dalam catatannya, saksi-saksi yang memberikan dukungan atas otentisitas pidato Soekarno ini adalah Ki Hajar Dewantara (buku Pancasila, 1950), Muh. Yamin (Naskah Yamin Jilid II dan III), Dr. Radjiman Wedyodiningrat (mantan ketua BPUPKI), Bung Hatta, dan R.P Soeroso (mantan wakil sekretaris BPUPKI),” tukas Dr. Agustinus W. Dewantara dalam Diskursus Filsafat Pancasila Dewasa Ini.
תגובות