top of page

Sejarah Indonesia

Advertisement

Pangeran Pakuningprang Dibuang Karena Narkoba

Veteran Perang Aceh berbintang asal keraton Surakarta ini terlibat banyak masalah hingga dibuang.

24 Okt 2024

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Perang Aceh tak hanya melibatkan Belanda dan Kesultanan Aceh. Kerajaan-kerajaan di Jawa juga dilibatkan. Termasuk Pakualaman, yang mengutus Pangeran Pakuningprang sebagai wakilnya. (Tropenmuseum).

PESANGGRAHAN Muntok di Bangka merupakan saksi bisu perjalanan republik ini. Di pesanggrahan milik perusahaan Banka Tin Winning sanalah Bung Hatta dan beberapa pejabat tinggi republik ditahan setelah Agresi Militer Belanda kedua.


Namun, bukan kali itu saja pesanggrahan yang dibangun oleh perusahaan timah pada tahun 1890- itu dijadikan tempat pembuangan. Setengah abad sebelumnya, pesanggrahan tersebut juga dijadikan tempat pembuangan. Adalah Pangeran Ario Pakuningprang dari Kadipaten Pakualaman yang mengalami pembuangan di sana.


Untuk mencapai pesanggrahan tersebut, Pangeran Pakuningprang bersama istri dan 6 anaknya dari Jawa Tengah harus berganti kapal di Batavia. Koran Java Bode tanggal 30 Oktober 1897 memberitakan, rombongan pangeran naik kapal laut SS Carpentier dari Semarang dan tiba di Batavia pada akhir Oktober. Singgah beberapa saat, rombongan pangeran lalu naik kapal lagi. Menurut De Locomotief edisi 5 November 1897, pangeran dan keluarganya menumpang kapal SS. Reyniersz yang berlayar ke Muntok.



Namun Pangeran Pakuningprang tidak lama di Bangka. Koran Bataviaasche Nieuwsblad tanggal 15 Juni 1898 mengabarkan bahwa dirinnya meninggal dunia di Muntok. Kemungkinan dia meninggal dunia beberapa hari sebelum diberitakan. Jenazahnya lalu dimakamkan di Muntok. Makamnya termasuk makam bersejarah di Pulau Bangka.


Pangeran Pakuningprang punya masa muda yang cukup gemilang. Ketika masih menyandang gelar Raden Mas Panji Pakuningprang dengan pangkat letnan satu infanteri dalam Legiun Pakualam, dia dikirim ke Perang Aceh tak lama dari terbunuhnya Jenderal Mayor Johan Harmen Rudolf Köhler (1818-1873) di depan Masjid Raya Aceh.


Pada akhir 1873, Letnan Pakuningprang sudah bersiap menuju Aceh. Koran Java Bode tanggal 11 November 1873 menyebut, bersama Letnan Pakuningprang yang mewakili Legiun Pakualam, ada perwira bumiputra dari Hulptroepen (pasukan bantuan) Kapten Infanteri Pangeran Ario Gondo Sisworo dari  Legiun Mangkunegaran, Kapten Kavaleri Pangeran Prawiro Adie Negoro dari Barisan Bangkalan, Letnan Dua Infanteri Raden Ario Pratali Kromo dari Barisan Sumenep. Letnan Pakuningprang dan Pangeran Ario Gondo Sisworo, menurut Ibrahim Alfian dalam Perang di jalan Allah  Perang Aceh, 1873-1912, ditempatkan di markas besar militer Belanda di Aceh.



Sebagai komandan pasukan kecil dari Legiun Pakualam, peran Letnan Pakuningprang terbilang apik. Bahkan, dia dianggap berjasa bagi militer Belanda di Aceh. Maka berdasarkan Koninklijk Besluit tanggal 6 Oktober 1874 nomor 10, Letnan Pakuningprang dianggap menonjol perannya dalam Ekspedisi Militer Belanda ke-2 melawan Kerajaan Aceh (1873-1874) sehingga dirinya dianugrahi bintang Ridders Militaire Willemsorde 4e alias ksatria militer orde Willem kelas empat. Selain dirinya, seperti diberitakan De Locomotief tanggal 17 November 1874, Pangeran Gondo Sisworo, Raden Pratali Kromo, dan Pangeran Prawiro Adi Negoro juga mendapatkan bintang tersebut.


Pada 1878, Letnan Pakuningprang naik pangkat menjadi kapten di Legiun Pakualam. Beberapa hari kemudian, De Locomotief tanggal 17Juni 1878) memberitakan Pakuningprang juga diberikan gelar pangeran. Kapten Pakualaman ini lalu dikenal sebagai Kanjeng Pangeran Hario Pakuningprang.



Namun, karier cemerlang Pangeran Pakuningprang justru membuat hidupnya menjadi tambah masalah. Dia terjerat utang bukan main besarnya. Berdasar penelusuran Baha' Uddin yang lalu ditulisnya di Jurnal Patrawidya Volume 15 Nomor 3 tahun  2014 dengan judul “Westernisasi dan Gaya Hidup Bangsawan di Kadipaten Pakualaman pada Masa Paku Alam V”, utang Pakuningprang pada Zoeshler pada 1884 sebesar 4700 rupiyah putih (petak). Lalu pada 1887 Pakuningprang berhutang lagi 5000 rupiyah perak pada Zoeshler. Dia kesulitan membayar utangnya hingga Zoeshler mengadu kepada junjungannya.


Tak hanya utang, ada masalah lain yang lebih parah menimpa Pangeran Pakuningprang. Annisaul Mahfudhoh dalam Dinamika Legium Pakualaman Pada Masa Paku Alam V Tahun 1872-1892  menyebut, Pangeran Pukuningprang terlibat dalam penyelundupan candu. Setelah para pelaku penyelundupan itu ditangkapi, diketahui bahwa Pangeran Pakuningprang bersama Pangeran Notodirdjo, Pangeran Suryohudoyo, dan Pangeran Nototaruno terlibat. Mereka lalu dibuang ke luar Jawa dengan tunjangan bulanan. Pakuningprang mendapat tunjangan 50 gulden tiap bulan untuk hidup di Muntok yang jadi tempat terakhirnya sampai ajal menjemput.*

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian

Advertisement

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy masuk militer karena pamannya yang mantan militer Belanda. Karier Tedy di TNI terus menanjak.
Alex Kawilarang Menolak Disebut Pahlawan

Alex Kawilarang Menolak Disebut Pahlawan

Alex Kawilarang turut berjuang dalam Perang Kemerdekaan dan mendirikan pasukan khusus TNI AD. Mantan atasan Soeharto ini menolak disebut pahlawan karena gelar pahlawan disalahgunakan untuk kepentingan dan pencitraan.
Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Tan Malaka pertama kali menggagas konsep negara Indonesia dalam risalah Naar de Republik Indonesia. Sejarawan mengusulkan agar negara memformalkan gelar Bapak Republik Indonesia kepada Tan Malaka.
Prajurit Keraton Ikut PKI

Prajurit Keraton Ikut PKI

Dua anggota legiun Mangkunegaran ikut serta gerakan anti-Belanda. Berujung pembuangan.
Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Hubungan diplomatik Indonesia dan Belgia secara resmi sudah terjalin sejak 75 tahun silam. Namun, siapa nyana, kemerdekaan Belgia dari Belanda dipicu oleh Perang Jawa.
bottom of page