- Petrik Matanasi
- 13 Okt
- 3 menit membaca
BERDAMAI dengan penguasa Hindia Belanda di masa kolonialisme Belanda biasa dilakukan beberapa bangsawan atau pemuka masyarakat dengan tidak menjadi musuh bagi pemerintah kolonial. Bentuknya bisa bermacam-macam, seperti menjadi sekutu dalam perang. Hal itu bisa dilihat antara lain dalam Perang Jawa (1825-1830), ketika militer Belanda membutuhkan pasukan tambahan untuk menghadapi Pangeran Diponegoro.
Ketika pecah Perang Jawa, kepala swapraja empat keraton Mataram di Surakarta dan Yogyakarta tak bisa terang-terangan berpihak kepada Diponegoro. Permintaan menyediakan pasukan untuk melawan pengikut-pengikut Diponegoro oleh Belanda mesti mereka turuti. Legiun Pakualam dari Yogyakarta dan Legiun Mangkunegaran dari Surakarta menjadi bagian dari pasukan bantuan (Hulptroepen) asal Jawa itu, yang jelas memerangi orang Jawa pula. Maka ketika menyergap pengikut Diponegoro yang dipimpin Djojo-Mongolo (Joyo Menggolo) di sebuah perbukitan di timur Yogyakarta, dalam pasukan Belanda yang dipimpin Kapten Roeps terdapat Legiun Mangkunegaran dan Barian Sumenep.
”Tanpa bersenjata apa pun (kecuali kerisnya), Sersan Jawa pemberani Soerio-Dento memanjat pohon raksasa itu melalui akarnya, dan yang lain mengikuti teladannya dengan penuh semangat, tetapi banyak dari mereka mencoba dengan sia-sia dan jatuh menuruni lereng curam,” AG van Poelje dalam Nederlanders in Indie.
Barisan Sumenep adalah Hulptroepen asal Madura. Barisan ini jadi bagian Korps Barisan Madura.
Selain dari Jawa dan Madura, ada pula Hulptroepen dari Sulawesi Utara dan Maluku Utara. Dari Minahasa, Residen Manado Daniel Francois Willem Pietermaat melobi para pemuka suku hingga mendapatkan Pasukan Tulungan.
“Mereka berangkat dengan kapal laut ke Pulau Jawa tanggal 29 Maret 1829,” tulis Jessy Wenas dalam Sejarah dan Kebudayaan Minahasa.
Pemimpin Pasukan Tulungan adalah Herman Dotulong. Ia diberi pangkat mayor dan punya bawahan para kapten dari beberapa distrik besar di Minahasa. Salah satunya Kapten Benjamin Thomas Sigar, tokoh besar yang makamnya di Langowan pernah diziarahi Prabowo Subianto sebelum menjadi presiden RI.
Pasukan Tulungan punya prestise tinggi. Het Nieuws van den dag voor Ned. Indie tanggal 6 September 1939 memberitakan bahwa Diponegoro hanya ingin menyerah kepada Pasukan Tulungan. Apa yang terjadi adalah Diponegoro ditangkap ketika mengunjungi Jenderal de Kock di Magelang.
Dari daerah Sulawesi lain, yakni Gorontalo, juga ada Hulptroepen. Kala itu Gorontalo masih bagian dari Keresidenan Manado yang dipimpin Pietermaat. Para pemuka masyarakat di Sulawesi Utara dan Maluku pada abad ke-19 umumnya berhasil didekati Belanda tanpa harus perang hingga kedua daerah itu dianggap kawan Belanda.
“Orang Gorontalo dan Manado sangat setia kepada Belanda, di antara bangsa-bangsa di kepulauan Indonesia, mereka sama sekali bukan yang paling tidak beradab; mereka memiliki sifat terbuka dan umumnya dianggap memiliki semangat perang,” kata Hendrik Merkus de Baron Kock dan August Wilhelm Philip Weitzel dalam De Oorlog op Java van 1835 tot 1830.
Gorontalo mengirimkan orang-orangnya untuk Hulptroepen di bawah Hassan Monwarfa. Ia adalah putra sulung raja Gorontalo.
Selain Gorontalo, Hulptroepen juga datang dari Sulawesi Tenggara. Belanda mendapatkan bantuannya dari sultan Buton.
“(Sultan Buton, red.) Mengirim saudaranya, Raja Hadji Suleiman, berpangkat mayor, memimpin 700 rakyatnya,” tulis Kock dan Weitzel.
Mereka diangkut naik kapal menuju Samarang dan tiba pada 1 Agustus 1828. Dari Semarang barulah mereka dikirim ke palagan.
“Orang Buton berkulit cokelat tua, bertubuh kecil, dan berpenampilan garang; konon mereka ambisius dan, ketika dihina, sangat haus darah. Mereka dikirim ke Bagelen, di mana, bersenjata tombak, kapak, atau senapan, mereka tampil gemilang sebagai infanteri ringan,” catat Kock dan Weitzel.
Sultan Tidore pun tak ketinggalan mengirimkan pasukannya. Jumlahnya ada 285 personel. Mayoritas adalah orang Alfuria atau Alifuru atau Alfur. Mereka diturunkan di Samarang pada 9 Agustus 1828. Mereka bersenjata busur, anak panah, lembing, pedang, perisai dan senapan. Sebagian dari mereka dikenal sebagai penembak handal. Mereka maju terdepan dan siap bertempur dalam jarak dekat.
Rival Tidore, yakni sultan Ternate, juga mengirim 502 orangnya. Mereka di bawah pimpinan Koelabath, Ahkim Senghadji. dan Adipati Agung Ternate Sabtoe (dengan pangkat mayor). Mereka tiba di Samarang pada 24 Juni 1828. Di dalamnya juga terdapat orang Alfur.
“Mereka adalah orang-orang yang berbadan tegap dan kuat, yang tidak mengenakan pakaian apa pun selain celemek kulit kayu yang diikatkan di tengah dan kain di atas kepala mereka. Mereka ditugaskan di kolom ke-2, Kapten Ten Have, dan menonjol terutama dalam tugas infanteri ringan. Mereka berpenampilan garang, tetapi memiliki sifat yang sangat baik hati; mereka tunduk pada disiplin militer tanpa kesulitan dan membuktikan diri,” catat de Kock dan Weitzel.
Para prajurit Hulptroepen itu, yang berperang bersama tentara Belanda pimpinan Jenderal de Kock, mendapat bayaran dari pemerintah kolonial. Bayaran pemimpin tertinggi Hulptroepen dengan pangkat setara mayo dihitung berdasarkan jumlah pasukannya. Menurut de Kock dan Weitzel, mayor Buton mendapat 500 gulden, sementara Ternate dan Tidore hanya dibayar 300 gulden. Para kapten, baik dari Buton maupun Ternate-Tidore, yang memimpin 100-an orang mendapat bayaran 115 gulden. Lalu para letnan yang memimpin puluhan (antar 20 hingga 40-an orang) mendapat bayaran antara 20 hingga 40 gulden. Para pembantu letnan hanya dapat 8 gulden. Sedangkan prajurit pembawa senapan dapat 5 sampai 6 gulden dan prajurit bersenjata tombak hanya dapat bayaran 2 gulden.









Penerus perjuangan Pangeran Diponegoro, masih banyak yg tdk menampilkan pribadinya diera gonjang-ganjing ini, perjuangan mereka selalu mengedepankan agama dan tanpa psmrih.
Kasian Pangeran Diponegoro dikeroyok oleh saudara dan dari kerajaan-kerajaan lain di Nusantara . Seandainya gak tertangkap pun, pasti akan kalah juga , karena lawan lebih banyak personilnya
8/10 bagus keren
Keren pemberitaannya
Ternyata yow banyak sing suka baca