- Petrik Matanasi
- 8 Jun
- 2 menit membaca
JAMAAH haji Indonesia umumnya punya reputasi sebagai sosok dermawan di kota Makkah. Para petugas kebersihan yang memunguti sampah di Makkah, baik di tempat umum maupun di hotel-hotel, pun sangat suka berdekatan dengan para jamaah haji Indonesia. Bahkan, mereka membiarkan sampah di tempat lain berserakan dan memilih mendekati jemaah orang Indonesia yang melintas di dekat mereka. Mereka berharap mendapat 5 real (setara Rp22.500) dari orang Indonesia.
Tak hanya pengemis berkedok petugas kebersihan, setiap Jumat di musim haji supir bus gratis pembawa jamaah pun minta sedekah 2 real dari para penumpangnya. Begitulah gambaran pengemis di Makkah hari ini. Tidak terlihat seperti pengemis, lantaran mengenakan seragam pegawai kebersihan.
“Harap diketahui, bahwa di Makkah-Arafah-Mina cukup banyak para peminta-minta. Bahkan di dalam Masjid Nabawi juga ada yang minta sedeqah dari kita. Namun, golongan ini segera menghindar jika ada askar yang mengawasi dan mengusirnya,” catat Abdul Cholik dalam Dahsyatnya Ibadah Haji.
Askar adalah petugas keamanan Kerajaan Arab Saudi, Mereka sulit disogok.
Pengemis di Makkah sendiri bukan cerita baru. Pada abad silam pun kota suci umat Islam ini dipenuhi pengemis. Christiaan Snouck Hurgronje dalam Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje Volume 5 mencatat bahwa “dari Hindia Inggris misalnya sejumlah kaum pengemis pergi ke Makkah untuk mencari uang di sana.”
Daerah yang dimaksud Hindia Inggris adalah kawasan Asia Selatan yang kini menjadi Pakistan, Bangladesh, dan India. Ketiga negara itu punya banyak penduduk yang menganut agama Islam, apalagi Banglades dan Pakistan. Pekerja kebersihan di Makkah kini pun di antaranya juga orang Banglades, negeri yang ekonominya cukup bermasalah.
Mereka begitu ramah kepada orang Indonesia. “Indonesia is good,” demikian biasa mereka katakan dalam memuji sambil tersenyum kepada jamaah haji Indonesia. Cerita kedermawanan orang Indonesia pun bukan cerita yang baru berkembang. Sudah sejak awal abad ke-20, jamaah haji Indonesia dianggap orang-orang kaya.
“Orang-orang Jawa yang datang ke kota-kota suci justru membawa uang yang tidak sedikit jumlahnya ke sana,” catat Snouck Hurgronje.
Di era Hindia Belanda, orang yang berangkat haji dianggap orang kaya. Jawa tiap tahunnya mengirim banyak jamaah ke Arab Saudi. Padahal, mereka tidak hanya diharuskan memiliki uang untuk tiket pulang dan pergi saja tapi juga uang untuk keperluan lain seperti makan dan penginapan. Mereka juga harus menyiapkan uang hidup secara layak kepada keluarga yang mereka tinggalkan di kampung selama mereka pergi berhaji.
“Calon haji harus memiliki uang 500 gulden; uang sebesar itu adalah miliknya sendiri; dia sudah (harus menyediakan pemeliharaan yang layak untuk keluarganya yang ditinggalkan selama dia pergi,” catat mantan bupati Serang dan Jakarta Pangeran Achmad Djajadiningrat dalam Herinneringen van Pangeran aria Achmad Djajadiningrat.
Tanpa uang 500 gulden, tidak akan ada pas haji dari pemerintah kolonial. Uang itu tentu di luar uang untuk sedekah mereka di tanah suci nanti.
Biasanya, sedehah di Makkah dilakukan mereka lebih banyak daripada dilakukan di kampung. Pahala menjadi motivasi penting bagi orang dermawan dari Jawa untuk memberi sedekah pada pengemis di Makkah.
“Diriwayatkan dari al Hasan al Bashri bahwa puasa satu hari di Makkah dibalas dengan pahala puasa seratus ribu hari. Sedekah satu dirham dibalas dengan pahala sedekah seratus ribu dirham. Begitu juga, setiap kebaikan dibalas seratus ribu kali lipat,” kata Imam al-Ghazali dalam Rahasia Haji & Umrah Mengungkap Hikmah Tersembunyi di Balik Setiap Tahapan Ibadah Umrah dan Haji.*
Comments