- Andri Setiawan
- 18 Agu 2019
- 4 menit membaca
DUA film yang diadaptasi dari novel Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia (2019) dan Perburuan (2019) telah rilis pada 15 Agustus lalu. Berkat novel Bumi Manusia yang memang sudah terkenal sebelumnya, film adaptasinya pun menjadi perbincangan luas dan menuai pro kontra. Sedangkan film Perburuan garapan Richard Oh, berangkat dari novel Perburuan (1950) tidak setenar tetralogi Pulau Buru.
Berbeda dengan novelnya, film Perburan tidak dimulai 16 Agustus 1945 ketika Hardo untuk pertama kalinya muncul di Desa Kaliwangan. Richard Oh memulai film ini dengan memperkenalkan suasana markas Daidan pada hari-hari sebelum pecah pemberontakan tentara Pembela Tanah Air (Peta). Sekitar enam bulan sebelum Proklamasi.
Tak lama, Richard kemudian menyusun adegan pemberontakan para tentara Peta. Hardo (Adipati Dolken), Dipo (Ernest Samudra) dan para shodan telah bersiap, namun shodanco Karmin (Khiva Ishak) tak kelihatan batang hidungnya. Karmin berkhianat. Rencana pemberontakan bocor, para pembangkang Jepang itu dicegat lalu diserang di jalanan tengah hutan. Dalam adu senjata singkat itu, beberapa shodan gugur. Sedangkan Hardo, Dipo dan mereka yang tersisa berhasil menyelamatkan diri ke dalam hutan. Sejak itu perburuan Hardo dimulai.
Dialog yang Hilang
Bagi mereka yang sudah membaca novel Perburuan, satu hal yang ada di benak ketika menonton film adaptasinya adalah "dialognya dipotong-potong!"
Novel Perburuan ditulis Pram dalam empat bab. Tiga bab didominasi oleh dialog Hardo dengan beberapa tokoh. Bagian pertama merupakan dialog Hardo dengan Lurah Kaliwangan, calon mertuanya sendiri. Di mana bagian itu sedikit banyak menceritakan mengenai latar belakang Hardo sebelum menjadi buruan Jepang.
Dalam film, dialog yang berlatar jalan desa di tengah kebun jagung itu hanya sepotong. Hanya menampilkan usaha Lurah Kaliwangan merayu Hardo untuk pulang. Padahal, dialog itu penting untuk mengenalkan tokoh-tokoh lain di sekitar Hardo dan hubungan mereka dengan Hardo.
Bagian ini, oleh Richard nampaknya ditampilkan dalam adegan kilas balik. Namun, potongan-potongan kilas balik itu didominasi dengan cerita Hardo dan Ningsih (Ayushita), tunangannya. Beberapa penegenalan tokoh cukup penting menjadi terlewat di sini.
Dialog antara Hardo dan ayahnya yang pada bab kedua novel juga banyak terpotong. Dari bagian ini, alam pikiran Hardo dapat terbaca melalui percakapan dengan ayahnya di dalam gubuk itu. Sedangkan dalam film, percakapan mereka hanya untuk menjelaskan peristiwa penggerebekan Hardo dan seputar kematian ibu Hardo.
Sedangkan bab ketiga di mana terjadi dialog antara Hardo dan Dipo, yang dapat menjadi pengantar ke puncak cerita, Richard membuatnya seperti dialog nasionalisme yang kaku. Semangat anti-Jepang seperti yang diungkapkan Pram sendiri juga tak nampak.
Meski demikian, beberapa adegan terutama dalam teknik pengambilan gambar cukup menarik. Adegan monolog Hardo di dalam gua nampak dramatis karena menampilkan wajah Hardo yang hanya diterangi korek api. Hal itu juga bisa ditemukan dalam dialog di dalam gubuk yang hanya diterangi cahaya bulan dari celah-celah gubuk. Meski terpotong, adegan dialog terasa lumayan intim.
Penggambaran jalan desa yang sunyi di tengah kebun jagung begitu realistis. Adegan yang terjadi di jalan itu, tidak memaksa Richard harus membuat jalan itu terang benderang agar para pemain terlihat jelas. Suara Adipati Dolken sebagai Hardo kere juga membantu membangun suasana seperti yang digambarkan dalam novel.
Namun, hal lain yang cukup mengganggu adalah latar musiknya. Sudah terpotong cukup banyak, dialog-dialog dalam film Perburuan terganggu oleh latar musik. Suasana sunyi yang ditulis Pram dalam novel ketika Hardo berada di tengah kebun jagung menjadi pecah oleh alunan musik bernuansa patriotik.
Padahal sebelum adegan itu, Pram menulis, “Bulan waktu itu belum timbul dan bintang-bintang berkedipan tenang di atas awan-gemawan berarak. Tenang saja dusun Kaliwangan … suatu dusun di tepi kota Blora.”
Kesunyian dan ketenangan. Itulah yang menyelimuti novel ini dan yang menemani perjalanan Hardo sebagai buruan. Bukan musik patriotik yang disisip-sisipkan.
Sedangkan beberapa adegan yang seharusnya menampilkan kejadian kacau malah terasa sebaliknya, seperti pada akhir film ini. Ketika kabar kekalahan Jepang mulai terdengar, suasana mulai riuh, oleh desah kerata, oleh hiruk pikuk stasiun, oleh ringkik kuda dokar.
“Terdengar sorak lagi. Hore … Peta dan Heiho dibubarkan!” tulis Pram.
Richard membuat adegan itu begitu lambat dan rapi. Tidak terasa atmosfir yang menandakan sebuah peristiwa kemerdekaan. Hal yang sama terjadi pada kematian Ningsih. Yang seharusnya kacau, sekali lagi, dibuat lambat dan rapi.
Bukan Sejarah Hitam Putih
Angga Okta Rahman, cucu Pram, pertama kali membaca novel Perburuan pada 2002, ketika menginjak kelas tiga sekolah dasar. Baginya, novel Perburuan hendak menceritakan tentang narasi perjuangan kemerdekaan yang tidak selalu hitam putih. Tidak selalu soal penjajah dan terjajah, tetapi juga persoalan di antara sesama anak bangsa.
“Ada suatu masa di mana banyak orang berjuang untuk kemerdekaan, untuk keadilan terhadap bangsanya, tapi di satu sisi ada orang-orang yang ingkar hal itu. Seperti Karmin yang ingkar karena alasan dirinya sendiri. Atau seperti lurah Kaliwangan yang ingkar karena alasannya pada keluarga. Tapi di satu sisi kita bisa melihat seperti Hardo, di mana dia tetap berjuang terhadap kemerdekaan walaupun kehidupan keluarganya hancur. Walaupun kehidupan pribadinya juga hancur, tapi ia tetep berjuang, demi kemerdekaan, demi keadilan terhadap bangsanya, demi kepentingan terhadap bangsanya,” terang Angga kepada Historia.
Narasi yang ditangkap Angga itu memang muncul dalam film Perburuaan. Namun, Angga menyayangkan bahwa hal itu kurang ditonjolkan.
“Apakah hal itu muncul dan mendapat ruang yang cukup dalam film, muncul ya, menurut saya muncul. Cuma memang tidak mendapatkan ruang yang lebih. Saya berharap tentang hal yang saya sampaikan tadi itu akan menjadi lebih disorot,” kata Angga.
Angga menambahkan bahwa hal itu mungkin memang terjadi karena banyak dialog yang dipotong, yang dampaknya mengurangi pesan seperti pada novel.
“Padahal kalau misalkan tidak sebanyak ini dipotongnya, mungkin akan lebih mempertegas ke pendapat saya itu. Tidak mendapat ruang yang cukup mungkin karena dialognya terlalu banyak dipotong,” jelas Angga.
Dalam film ini, Angga menyukai color grading dan beberapa spot editing yang menurutnya sangat bagus. Selain itu, “yang paling bikin menarik menurut saya dimasukannya tokoh Supriyadi. Itu kan nggak ada di dalam Perburuan, tiba-tiba dimasukan di situ dan ini menurut saya hal yang bagus,” ujarnya.
Masuknya Supriyadi dalam film nampaknya berangkat dari adanya pemberontakan Peta di Blitar pada 14-15 Februari 1945 yang menginspirasi Perburuan. A Teeuw dalam tulisannya Revolusi Indonesia dalam Imajinasi Pramoedya Ananta Toer membenarkan hal itu.
“Realistisnya latar cerita ini tidak hanya jelas dari tempatnya, melainkan juga dari waktunya. Peristiwa-peristiwa dalam cerita berlangsung pada tanggal 16/17 Agustus 1945; ketiga protagonis laki-lakinya dahulu adalah shodancho, bintara dalam Peta, Pembela Tanah Air, tentara pembantu yang didirikan Jepang. Mereka nampaknya terlibat pemberontakan Peta terhadap Jepang. Benarlah anggapan Aveling bahwa ini merupakan rujukan pada pemberontakan Peta Daidan Blitar, pada malam 15 Februari 1945,” tulisnya.
Terakhir, Angga menyoroti make up pemain yang menurutnya kurang maksimal. “Buat saya yang paling mengganggu itu brewok dan dekil-dekil tokohnya sih. Intinya sih menurutku kurang maksimal aja,” katanya.
Meskipun demikian, menurut Angga, interpretasi terhadap novel Pram sangat bebas. “Karena setiap orang kan punya pendapat yang berbeda tentang bukunya sendiri, tentang apa yang ingin disampaikan dan filmnya,” jelas Angga.*













Komentar