- Hendri F. Isnaeni
- 15 Jul
- 3 menit membaca
Diperbarui: 15 Jul
PADA masa kolonial Belanda, kegiatan pencak silat mendapat kekangan. Hal ini karena perguruan pencak silat terlibat dalam perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Pada 1930, misalnya, Perguruan Pencak Silat Sekar Pakuan yang didirikan di Bandung memiliki motto “berlatihlah hingga berani melawan Belanda”.
Motto tersebut kemungkinan terinspirasi oleh perlawanan Haji Hasan Arif, pemimpin pesantren dan perguruan silat, terhadap Belanda di Cimareme, Garut.
“Pada 1918, Perguruan Pencak Silat Siwarame, yang dipimpin oleh Haji Hasan Arif, sempat memimpin perlawanan singkat terhadap Belanda di Cimareme, Garut. Setelah menolak menyerahkan sebagian hasil panen padinya kepada pejabat setempat, Haji Hasan dan dua anggota keluarganya terbunuh dalam bentrok senjata,” tulis Ian Douglas Wilson dalam Politik Tenaga Dalam: Praktik Pencak Silat di Jawa Barat.
Bedug yang digunakan untuk mengumpulkan santri dan masyarakat dalam perlawanan terhadap Belanda diberi nama “Simawa Rame” yang tersimpan di Museum Mandala Wangsit Siliwangi di Bandung.
Sementara itu, Sutrisno Kutoyo dalam Haji Hasan Arif: Riwayat Hidup dan Perjuangannya, menyebut perkumpulan pencak silat yang didirikan Haji Hasan Arif bernama Pencak Silat Gerak Cepat yang dipimpin oleh Atmaka dan Haji Sobandi. Haji Hasan Arif sejak lama sudah menyiapkan diri dan para pengikutnya untuk melawan Belanda. Pada 14 Agustus 1914, Haji Hasan Arif mendirikan perkumpulan rahasia bernama Simawa Rame yang melatih diri dalam ilmu kebal dengan doa, mantra, dan jimat; seni bela diri, dan keagamaan.
Sebelum melakukan perlawanan, “latihan jasmani seperti pencak silat, sepak bola, begitu pula wirid kekebalan ditingkatkan supaya bila saatnya tiba, sudah memiliki semangat dan keberanian yang cukup tinggi,” tulis Sutrisno.
Peristiwa perlawanan Haji Hasan Arif mengakibatkan pemerintah kolonial memberangus gerakan nasionalis. Banyak anggota Sarekat Islam yang mendukung Haji Hasan ditangkap dan ditahan. Menurut Ian, Haji Hasan mengucapkan kalimat yang kemudian menjadi inspirasi bagi perguruan silat yang lain: “daripada menyerah lebih baik menjadi macan selama sehari.”
Selain Peristiwa Garut, pemberontakan PKI pada 1926 juga membuat pemerintah kolonial Belanda mengawasi perguruan-perguruan silat. Beberapa anggota perguruan silat Setia Hati yang terlibat dalam perlawanan tersebut diasingkan ke Boven Digoel, Papua. Perguruan silat Setia Hati didirikan Ki Hadjar Hardjo Oetomo di Madiun pada 1922; dan sejak 1948 bernama Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT atau SH Terate).
Ian menyebut pengawasan ketat pemerintah kolonial terhadap perguruan-perguruan silat menyebabkan para guru silat hanya memiliki sedikit murid, sekitar sepuluh, meskipun ilmu mereka sangat tinggi. Latihan silat yang resmi dilarang hanya diizinkan di sekolah pelatihan polisi dan pegawai negeri (Opleiding voor Bestuurs Beamte). Hanya para menak atau bangsawan yang bekerja di dalam administrasi pemerintah kolonial yang diizinkan terus berlatih.
Setelah penjajahan Belanda berakhir, perguruan-perguruan silat dapat kembali berlatih. Bahkan, menurut Ian, penjajahan Jepang membawa perubahan besar dalam praktik latihan dan menjadi salah satu upaya pertama untuk menciptakan suatu aliran pan-Indonesia yang terstandarisasi. Tidak seperti Belanda, balatentara Jepang dan Pembela Tanah Air (PETA) justru dilatih pencak silat dengan gaya disiplin ala militer Jepang.
“Gaya pemerintahan Jepang yang berasal dari tradisi militer dan kekaisaran mudah tersambung dengan budaya bela diri Jawa, dan seakan mengingatkan masyarakat kepada kesatria Jawa pra-kolonial,” tulis Ian.
Untuk merumuskan suatu aliran pencak silat pan-Indonesia, pihak Jepang mengumpulkan banyak guru dan pelatih silat dari seluruh Nusantara ke Jakarta. “Di bawah arahan Soegoro dan Saksono, dua guru perguruan Setia Hati dari Jawa Timur, mereka mengembangkan suatu sistem pencak silat yang terdiri dari 12 jurus,” tulis Ian.
Setelah menguasai sistem pencak silat tersebut, para guru kembali ke daerah asal masing-masing dengan perintah untuk mengajarkan jurus tersebut kepada Barisan Pelopor (Suishintai), barisan paramiliter yang anggotanya para pemuda dari berbagai lapisan masyarakat.
Barisan Pelopor didirikan pada 1 November 1944 ketika Jepang semakin terdesak oleh Sekutu. Sukarno diangkat sebagai pemimpin umum Barisan Pelopor dan Soediro menjadi pemimpin harian. Jumlah anggota Barisan Pelopor diperkirakan mencapai 60.000 orang.
Setelah Proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Soediro dan dr. Muwardi, ketua Barisan Pelopor Jakarta, memilih enam orang pendekar silat dari Barisan Pelopor di bawah pimpinan Sumartoyo, antara lain Sukarta dan Tukimin (kemudian menjadi staf ajudan dan kepala Rumah Tangga Istana 1958-1968). Merekalah pengawal pertama Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta.
Menurut Ian, Barisan Pelopor berperan penting dalam mendorong kesadaran nasionalisme yang baru. Dalam konteks tersebut, bela diri diintegrasikan ke dalam pelatihan militer. Meskipun terdapat perlawanan dari beberapa pihak terhadap aliran pencak silat bentukan Jepang tersebut, efek dari upaya penyatuan itu tetap signifikan.
“Upaya tersebut menandakan dilakukannya untuk pertama kali suatu upaya serius untuk menasionalisasi pencak silat, yang menjadi dasar perkembangannya pada masa setelah Indonesia merdeka. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah penguatan hubungan ideologis antara pencak silat, nasionalisme, dan patriotisme militeristik,” tulis Ian.*











Komentar