- Martin Sitompul

- 6 Mei
- 4 menit membaca
LETJEN KKO (Purn.) Ali Sadikin, mantan gubernur DKI Jakarta periode 1966—1977, emosi dengan menggedor-gedor pintu kantor fraksi anggota DPR. Tak satupun anggota dewan yang terhormat itu berani menunjukkan batang hidung. Hingga Wakil Ketua DPR Mayjen TNI Kartidjo akhirnya bersedia menerima Bang Ali dan kawan-kawan.
Hari itu, 13 Mei 1980, sejumlah jenderal purnawirawan dan tokoh sipil menuntut audiensi terhadap anggota DPR atas kepemimpinan Presiden Soeharto. Mereka hendak menyampaikan ungkapan keprihatinan atas pidato tanpa teks yang disampaikan Presiden Soeharto beberapa waktu sebelumnya. Mohammad Natsir, tokoh Partai Masjumi, tampil sebagai juru bicara utama delegasi dalam pertemuan dengan Wakil Ketua DPR Kartidjo.
“Bagi seorang presiden, pidato lisan atau tertulis sama nilainya di mata masyarakat. Kami ingin bertanya apa maksud pidato itu,” kata Natsir seperti dituturkan ulang A.M Fatwa dalam Autobiografi A.M. Fatwa: Untuk Demokrasi dan Keadilan.
Dalam Rapim ABRI 27 Maret 1980 di Pekanbaru, Soeharto mengancam bakal menculik pihak-pihak yang mau merongrong Pancasila. Pun demikian saat HUT Kopassandha (kini Kopassus) di Markas Cijantung 16 April 1980, Soeharto kembali menegaskan, demi menghalangi perubahan UUD 1945, bila perlu dilakukan penculikan anggota DPR/MPR agar tidak tercapai kuorum. Presiden Soeharto juga membantah sekaligus menumpahkan amarahnya atas tudingan miring yang dialamatkan pada diri dan keluarganya. Seperti isu gratifikasi yang melibatkan ibu negara Tien Soeharto maupun gosip kedekatan Soeharto dengan salah satu bintang film.
Isi pidato itulah yang memantik reaksi keprihatinan dari sejumlah tokoh nasional, baik yang masih aktif maupun sudah pensiun. Secara tertulis, mereka menyusun pernyataan yang ditandatangani oleh 50 orang. Maka santerlah gerakan ini disebut “Petisi 50”.
Para penandatangan dari kelompok purnawirawan militer seperti Abdul Haris Nasution, A.Y. Mokoginta, Suyitno Sukirno, M. Jasin, Ali Sadikin, Hoegeng Iman Santoso, Azis Saleh, dan H.M Kamal. Dari tokoh-tokoh politik senior antara lain: Kasman Singodimedjo, Mohammad Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap, S.K. Trimurti, Anwar Harjono, M. Radjab Ranggasoli, Ir. H.M. Sanusi, dan Bustaman. Sementara itu kalangan muda juga ikutan seperti A.M. Fatwa, Chris Siner Key Timu, Wachdiat Sukardi, Maqdir Ismail, Irahim Zakir, Judilherry Justam, Bakri Tianlean, dan lainnya.
Naskah Pernyataaan Keprihatinan Petisi 50 rampung pada 5 Mei 1980. Ia terdiri dari enam poin pernyataan yang ditujukan pada pidato Soeharto yang dianggap: menyalahtafsirkan Pancasila (poin 2), mengajak ABRI untuk memihak (poin 4), mengesankan seolah-olah ada yang menilai dirinya sebagai pengejawantahan (personifikasi) Pancasila (poin 5), dan menuduh adanya usaha-usaha persiapan bersenjata, subversi, inflitrasi dan usaha-usaha batil lain dalam menyongsong pemilu (poin 6). Petisi itu kemudian ditanggapi oleh 19 anggota DPR dari Fraksi PPP dan PDI untuk meneruskan pernyataaan kepada Presiden Soeharto. Salah satu anggota Fraksi PDI, Usep Ranuwidjaja, bahkan menghendaki adanya dialog nasional.
Meski memperoleh dukungan, tak kurang pula kecaman dari pejabat petinggi pemerintah maupun loyalis Soeharto terhadap kelompok Petisi 50. Istilah “Petisi 50” sendiri disebut-sebut berasal dari ucapan Menteri Penerangan Ali Moertopo sebagai ganti dari Pernyataan Keprihatinan yang tak disukainya. Sementara itu, Menteri Dalam Negeri Amirmachmud meledek para penandatangan Pernyataan Keprihatinan sebagai “pokrol bambu”. Itu adalah kiasan untuk orang yang keras kepala, tidak mau mengalah dan pandai berdebat, namun tidak mempunyai dasar. Amir Murtono, ketua umum DPP Golkar sebagai organisasi politik terbesar saat itu, juga turut buka suara.
“Kejadian-kejadian politik yang berkembang akhir-akhir ini kalau dibiarkan terus-menerus akan membahayakan kehidupan nasional. Sebab, sasarannya adalah mengganti Presiden/Mandataris MPR,” ungkap Amir Murtono seperti dikutip Suara Karya, 9 Agustus 1980.
Menurut Amir Murtono, pidato Soeharto di Pekanbaru hanya penegasan seorang presiden tentang tugas ABRI dalam mengamankan negara, UUD 1945 dan Pancasila. Sementara pidato di Cijantung menyatakan pembelaan pribadi Soeharto karena difitnah. Untuk para penandatangan Petisi 50, Amir menyebut mereka sebagai orang-orang yang kurang beriman.
“Padahal ke 50 orang itu sebenarnya adalah teman-teman saya sendiri. Mereka juga sudah pernah menikmati hasil kemerdekaan ini, karena kebanyakan dari mereka bekas pejabat,” imbuhnya dalam Suara Karya, “Apakah diantara mereka ada yang ingin jadi Presiden? Kalau ada, silakan. Tetapi kelima puluh orang itu sudah nggak laku di masyarakat.
Presiden Soeharto sendiri dikabarkan cukup terganggu dengan keberadaan kelompok Petisi 50. Dalam otobiografinya, Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, Soeharto terangan-terangan menyatakan ketidaksukaan terhadap Petisi 50. Dalam bahasa Jawa, Soeharto menyebut mereka orang-orang yang rumangsa bisa nanging ora bisa rumangsa (mengiri diri benar sendiri sedangkan yang lain salah).
“Apa yang dilakukan oleh mereka yang menamakan diri 'Petisi 50 itu, tidak saya sukai. Cara-caranya tidak saya sukai. Lebih-lebih kalau melihat bahwa mereka adalah juga menyebut dirinya pejuang-pejuang,” tandas Soeharto. “Kalau memang mereka yang benar, tentunya akan ada pengikutnya. Nyatanya, pengikutnya tidak berkembang dan hanya yang itu-itu saja.”
Dalam perkembangannya, banyak kehidupan dari para penandatangan Petisi 50 kemudian dipersulit. Mereka dibunuh secara perdata, dikriminalisasi, dan hingga dicegah bepergian ke luar negeri (cekal). Hal ini berlangsung selama satu dekade. Memasuki warsa 1990-an, “isolasi” terhadap tokoh-tokoh Petisi 50 mulai diperlonggar sebagian lain sudah pada tutup usia.
Ketika rezim Orde Baru tumbang pada 1998, beberapa dari anggota Petisi 50 masih sempat menyaksikannya. Mereka antara lain Abdul Haris Nasution (wafat 2000), Ali Sadikin (w.2008), M. Jasin (w.2013), S.K. Trimurti (w.2008), Hoegeng Iman Santoso (w.2004), A.M. Fatwa (w.2017), dan Judilherry Justam. Sebagian lain dari tokoh Petisi 50 bahkan sudah diakui sebagai pahlawan nasional, seperti Abdul Haris Nasution (pada 2002), Mohammad Natsir (2008), Sjafruddin Prawiranegara (2011), dan Kasman Singodimedjo (2018). Sementara Soeharto, wacana penganugerahan gelar pahlawan nasionalnya masih terkatung-katung sampai saat ini.*













Komentar