top of page

Sejarah Indonesia

Raja Larantuka Melawan Belanda

Raja Larantuka Melawan Belanda

Karena melawan Belanda, raja Kristen ini dibuang ke Jogja. Dia meninggal dunia di sana.

24 Juli 2024

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Gereja Katedral Reinha Rosari Larantuka, Flores. Kendati bangunan modernnya baru didirikan pada masa kolonial Belanda, gereja ini menjadi penanda misi Katolik era Portugis di NTT. (nttprov.go.id/Wikimedia Commons).

LUSIA, perempuan 62 tahun, tak pernah murung. Pedagang sayur di Kelurahan Lewolere, Larantuka, Flores, NTT itu selalu menyadari ada pasang-surut dalam berniaga. Malahan, senyum selalu tersungging di bibirnya manakala pembeli datang ke tempatnya berjualan.


“Tidak usah pikir susah kalau kita sudah hidup susah. Pasti ada rasa sedih (kalau tidak laku) tapi jangan sampai kita menangis,” ujarnya, diberitakan flores.tribunnews.com, 22 Juli 2024.


Ada banyak orang seperti Lusia, yang mesti banting tulang buat menghidupi keluarganya. Keberadaannya tersebar di mana-mana. Di kota-kota besar pun banyak, apalagi di kota kecil nan jauh dari pusat seperti Larantuka.


Tak banyak orang tahu Larantuka. Kecuali, di masa singkat pergantian abad kemarin saat Larantuka dipopulerkan lewat sebuah lagu band rock Boomerang asal Surabaya, yang mengabarkan gempa besar di daerah ujung timur-selatan Pulau Flores itu. Atau, saat Larantuka jadi pemberitaan nasional usai kota kecil itu jadi tempat pengungsian pasca-referendum Timor Timur.


Tentu, tak banyak orang tahu bahwa Larantuka dulunya merupakan kerajaan Kristen. Larantuka punya kerajaan yang terpengaruh Portugis. Gelar raja-rajanya seperti penguasa Portugis, memakai gelar Don.



Portugis pernah menguasai wilayah ini. Koehuan dkk. dalam Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Nusa Tenggara Timur menyebut, pada 20 April 1859 Portugis menyerahkan wilayah Flores, termasuk Larantuka di dalamnya, kepada Belanda.


Namun alih-alih melanjutkan pendahulunya, Belanda merombak peninggalan Portugis. Menurut Karel Steenbrink dalam Catholics in Indonesia, 1808-1942: A Documented History, Belanda tak mengakui Don Lorenzo Dias Viërra Godinho alias Don Lorenzo II (1859-1910) sebagai raja Larantuka. Don Lorenzo, yang dekat dengan gereja Katolik Roma di Larantuka, dianggap raja hanya di wilayahnya saja.


Lorenzo bukan raja yang baik bagi pemerintah kolonial Belanda. Dalam artikelnya berjudul “Raja Lorenzo II: A Catholic Kingdom in Dutch East Indies” di IIAS Newsletter 47Spring 2008, RH Barnes menyebut Lorenzo telah dituduh dalam banyak kasus. Mulai dari orang-orangnya berusaha memungut pajak di wilayah milik Raja Sikka (1894), lalu Lorenzo memimpin 500 pasukan ke Maumere di tahun yang sama, hingga dia mengeksekusi seorang kerabat yang pendukungnya telah menyerangnya. Semua tuduhan itu membuat pemerintah Belanda tidak senang. Belum lagi, Pastor Frencken menuduh Lorenzo berulangkali melakukan perzinahan, melontarkan tuduhan palsu, dan mendenda warganya.



Lorenzo tak akur dengan pejabat Belanda di Flores hingga dia mendapat tuduhan buruk. Koran De Preanger-Bode tanggal 25 Februari 1907 mengisahkan hubungannya dengan pejabat itu. Pada pertengahan 1904, Lorenzo mengadu kepada residen namun aduannya diacuhkan. Bukan hanya diacuhkan, pada 1 Juli 1904 kapal uap pemerintah SS Pelikan datang menjemput Lorenzo. Lorenzo yang menolak datang ke kapal dan memilih tinggal di rumah lalu didatangi dua pelaut.


“Raja, diam-diam kamu mendukung rakyat pegunungan Iwan Ona dalam perjuangan mereka melawan Raja Adonara dan itulah sebabnya saya akan membawa Anda sebagai tawanan ke Kupang,” kata salah satu pelaut itu kepada Lorenzo, dikutip De Preanger-Bode.


Lorenzo yang sudah sepuh itu tak bisa apa-apa. Setelah mengenakan pakaian yang sopan, dia pun diangkut kapal ke Kupang. Harta miliknya di Larantuka pun hilang dan tak dia tak mampu menggugat lagi.


Lorenzo yang dituduh berontak itu lalu mendekam di Kupang hingga datang perintah pembuangan dari pemerintah kolonial Belanda kepadanya. Koran Land en Volk tanggal 31 Mei 1905 memberitakan bahwa pada akhir Mei 1905 Lorenzo sudah berada di Batavia, yang jaraknya nyaris 2.000 km dari Larantuka. Kala itu sudah diputuskan dia akan dibuang ke Yogyakarta.



Dalam pembuangannya, Lorenzo akan menerima tunjangan selama enam bulan yang besarnya 30 gulden tiap bulan. Tunjangan itu tentu terlalu kecil untuk seorang raja. Entah bagaimana jalannya, tunjangan itu akhirnya dinaikkan. Menurut koran Het Niuew van den Dag van Nederlansch Indische tanggal 19 Agustus 1910, jumlah tunjangan itu lalu menjadi 50 gulden.


Namun di tempat pengasingan, kesehatan Lorenzo mulai terganggu pada bagian dadanya. Dia akhirnya dirawat di Rumah Sakit Petronella. Dalam hitungan tahun, emas yang dibawanya habis selama pengasingan. Raja Don Lorenzo akhirnya tutup usia pada pertengahan Agustus 1910 di Yogyakarta.


Sepeninggl Don Lorenzo II, anaknya yang sebelumnya di Surabaya, naik takhta sebagai pengganti. Koran Het Niuew van den Dag van Nederlansch Indische tanggal 24 Desember 1914 memberitakan, Don Servus, sang anak yang jadi penggantinya itu, disebut-sebut orang Belanda kecanduan alkohol. Anaknya kemudian terlibat dalam perlawanan rakyat di Solor.*

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Tuan Rondahaim Pahlawan Nasional dari Simalungun

Tuan Rondahaim Pahlawan Nasional dari Simalungun

Tuan Rondahaim dikenal dengan julukan Napoleon dari Batak. Menyalakan perlawanan terhadap penjajahan Belanda di tanah Simalungun.
Antara Raja Gowa dengan Portugis

Antara Raja Gowa dengan Portugis

Sebagai musuh Belanda, Gowa bersekutu dengan Portugis menghadapi Belanda.
Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Tan Malaka pertama kali menggagas konsep negara Indonesia dalam risalah Naar de Republik Indonesia. Sejarawan mengusulkan agar negara memformalkan gelar Bapak Republik Indonesia kepada Tan Malaka.
Dewi Sukarno Setelah G30S

Dewi Sukarno Setelah G30S

Dua pekan pasca-G30S, Dewi Sukarno sempat menjamu istri Jenderal Ahmad Yani. Istri Jepang Sukarno itu kagum pada keteguhan hati janda Pahlawan Revolusi itu.
bottom of page