top of page

Sejarah Indonesia

Advertisement

Revolusi Indonesia yang Memantik Gerakan Dekolonisasi

Sukarno menginginkan dunia tanpa kolonialisme dan imperialisme. David van Reybrouck hadir di Jakarta untuk menyalakan kembali semangat anti-penjajahan itu.

28 Okt 2025

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

David Grégoire Van Reybrouck (kanan) dalam public lecture-nya di Jakarta (Bisri/Historia.ID)

SEBAGAIMANA preambul UUD 1945 bahwa kemerdekaan menjadi hak segala bangsa dan penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, sosok Sukarno sebagai sebuah ide dalam perannya di dunia internasional membebaskan negeri-negeri terjajah akan selalu relevan untuk dibicarakan. Bahkan ketika zaman begitu cepat bergulir dengan teknologi 4.0.


Dunia bisa menyaksikan dengan mata telanjang secara langsung lewat gawai masing-masing tentang kegetiran yang masih berlangsung di Palestina: pendudukan dan sistem apartheid di Tepi Barat serta genosida di Jalur Gaza terus dilakukan zionis Israel. Ironisnya, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun gagal menghentikan pelanggaran itu hingga mengusik rasa kemanusiaan. Gencatan senjata di Gaza sejak 10 Oktober 2025 yang diklaim berhasil dicapai Presiden Amerika Serikat Donald Trump pun dianggap angin lalu oleh Israel yang hingga kini sudah lebih dari 40 kali melanggarnya.


Sejarawan Belgia David Grégoire Van Reybrouck turut prihatin atas situasi itu. Ditemui selepas memberikan public lecture bertajuk “Sukarno and the Making of the New World” di Teater Besar Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Rabu (22/10/2025) malam, ia mengatakan spirit Bandung hail Konferesi Asia-Afrika (KAA) pada 1955 bisa jadi cermin bagaimana banyak negara berkepentingan bisa satu suara untuk menggugat penjajahan.


“Walau memang kemudian situasi dunia berubah menjadi unipolar (pasca-runtuhnya Uni Soviet) dan sekarang multipolar. Akan tetapi negara-negara di dunia harus menemukan cara untuk mencapai perdamaian dunia dengan cara terbaik,” ujarnya kepada Historia.ID.


Pada KAA, Sukarno mengajak “kawan-kawan” senasib dari negeri-negeri bekas terjajah untuk menggalang kekuatan dan solidaritas guna memperjuangkan bangsa-bangsa yang belum merdeka. Sukmawati Soekarnoputri yang turut hadir juga menegaskan bahwa semangat Sukarno menginginkan dunia tanpa kolonialisme dan imperialisme. Sejarawan Bonnie Triyana dalam pengantarnya di kuliah umum tersebut mengungkit peran Sukarno dalam upayanya menciptakan sebuah dunia baru yang modern tanpa penindasan.


“Komitmen Indonesia di bawah Bung Karno terhadap pembebasan negeri-negeri (terjajah) tersebut tidak perlu diragukan lagi, termasuk gerakan pembebasan nasional Palestina. Koneksi gerakan internasional itu lahir dari kesadaran internasionalisme yang agaknya belakangan mulai pudar,” tutur sejarawan yang juga anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PDIP tersebut.


Semangat Pembebasan Penjajahan di Atas Dunia

Dari situs-situs penggalian ke revolusi kemerdekaan Indonesia hingga KAA, Reybrouck beralih dari arkeolog ke sejarah anti-kolonial via antropologi. Bermula dari keresahannya atas bias literatur-literatur sejarah, termasuk di buku-buku pelajaran sekolah di Eropa.


“Yang saya lihat selama ini revolusi yang terjadi di belahan bumi utara selama ini dilihat sebagai bagian dari sejarah dunia dan jika itu terjadi di belahan bumi selatan hanya dipandang sebagai sejarah lokal. Saya tidak setuju dengan itu. Revolusi Prancis dilihat sebagai sejarah dunia. Akhir dari rezim aristokrasi dan jadi permulaan republik, dan sebagainya. Sama seperti Revolusi Amerika, Revolusi Rusia 1917, dilihat sebagai revolusi dunia. Tetapi Revolusi Haiti 1804 di mana itu pertama kalinya budak berhasil membebaskan diri mereka dari para tuannya dipandang sebagai bagian dari Revolusi Prancis,” ujar Reybrouck dalam public lecture-nya.


Reybrouck sebagai seorang Belgia memulai dengan Kongo sebagai eks-jajahan negerinya sendiri. Ia bahkan menerapkan pula ilmu-ilmu arkeologinya yang terdahulu dalam mengulas Kongo –yang kemudian bernama Republic of Zaire; sekarang Democratic Republic of Congo lewat Congo: Een geschiedenis (2010, terj. Congo: The Epic History of a People). Sejak era prasejarah hingga era modernnya dipaparkan dengan bahasa yang lebih mudah dicerna kalangan awam lewat karya tersebut.


Reybrouck lantas beralih ke sejarah Indonesia. Lewat Revolusi: Indonesië en het ontstaan van de moderne wereld (2020, terj. Revolusi: Indonesia dan Lahirnya Dunia Modern), diulasnya periode historis dari awal revolusi hingga peran Sukarno dalam upayanya menciptakan dunia baru yang lebih baik.


Reybrouck memandang gerakan revolusi kemerdekaan Indonesia, bahkan pada masa-masa permulaannya, lebih daripada konteks dimensi vertikal sebagai sejarah nasional Belanda sebagai penjajah dan Indonesia sebagai terjajah. Reybrouck tak melewatkan peran Mohammad Hatta ketika terlibat di pertemuan organisasi transnasional Ligue contre l’impérialisme et l’opression coloniale alias Liga Anti-Imperialis di Brussels, Belgia pada 10 Februari 1927 yang diikuti 175 delegasi aktivis seluruh dunia.


“Di masa itu para aktivis China, India, Indonesia, saling bertemu. Itu sudah seperti gerakan transnasional dan saya mencoba memperlihatkan dinamika ini sudah terjadi di masa-masa awal dan Indonesia memainkan peran penting dan Hatta bahkan jadi sekretaris di Liga Anti-Imperialis. Dan segenap Revolusi Indonesia juga menginspirasi banyak negeri. Jadi dinamika horizontal ini sangat penting karena 17 Agustus 1945, Indonesia jadi negara pertama yang memproklamirkan kemerdekaan hanya dua hari setelah berakhirnya Perang Dunia II. Itu memantik gerakan dekolonisasi,” kata Reybrouck lagi.


Gebrakan dekolonisasinya kemudian menemukan momentumnya lewat KAA pada 1955. Periode di mana yang dalam pembicaraan sejarah politik di Indonesia distigma sebagai periode yang tidak stabil, tidak harmonis dan penuh konflik internal. Padahal di antara gambaran yang dilebih-lebihkan itu, Reybrouck lewat karyanya membuka mata bahwa Indonesia memainkan peranan penting dalam menggalang solidaritas pembebasan nasional dari bangsa-bangsa yang terjajah guna mencapai kehidupan yang lebih baik.


“Dari pidato pembukaanya ia menyatakan Indonesia adalah miniatur Asia dan Afrika, bahwa Indonesia memiliki perbedaan bahasa, budaya namun bersatu. Jadi sangat menarik untuk melihat sejauh mana Revolusi Indonesia dibingkai sebagai template bagaimana mengubah dari koloni menjadi negara dan template Indonesia menjadi prototype dan prototype itu adalah bagaimana kemerdekaan harus dicapai secara keseluruhan dan tidak parsial dalam hal wilayah dan kekuasaan atau sederhananya, merdeka 100 persen,” tegasnya.


Kehadiran Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser, disebut Reybrouck, turut jadi perantara penting membawa semangat KAA via radio untuk disebarkan ke segenap “Benua Hitam”. Satu dari sedikit yang kemudian turut terpicu adalah gerakan kemerdekaan Ghana oleh Francis Kwame Nkrumah. Sosok yang lantas menggalang gagasan Pan-Afrika bagi negeri-negeri Sub-Sahara.


“Penjajah Inggris melarangnya pergi ke Bandung karena Inggris tidak menyukai template (Revolusi) Indonesia tapi Nkrumah mendengarnya karena berkontak dengan Nasser. Karena dia tidak boleh ke Bandung, maka ia mengorganisir konferensi pada 1957 dan 1958 untuk para aktivis dari Sub-Sahara. Salah satu yang datang adalah pemuda dari Kongo bernama Patrice Lumumba. Ketika Lumumba pulang ke Kongo, ia ikut menyebarkan semangat (Konferensi) Bandung. Beberapa bulan kemudian kebangkitan dan kemerdekaan terpicu di Kinshasha. Jadi ada direct connection di situ, bahwa semangat (Konferensi) Bandung sangat menular,” jelas Reybrouck lagi.


Reybrouck juga memandang Konferensi Bandung secara tak langsung mentransformasi PBB. Dari yang tadinya didominasi negara-negara Barat menjadi lebih “ramai” dengan negara-negara baru pada 1960-an. Pasalnya dalam lima tahun pasca-KAA 1955, belasan negara Afrika mencapai kemerdekaannya.


Sepanjang tahun 1960, serangkaian peristiwa dekolonisasi yang dikenal sebagai “Year of Africa” membawa banyak negara Afrika yang akhirnya merdeka berbondong-bondong jadi anggota PBB. Ketika Presiden Sukarno menggaungkan pidato kondangnya, “To Build the World Anew” di Sidang Umum PBB ke-15 pada 30 September 1960, terdapat 15 negara Afrika yang baru jadi anggota, di antaranya Kamerun, Niger, Pantai Gading, Upper Volta (kini Burkina Faso), Somalia, Dahomey (kini Benin), hingga Senegal dan Mali, plus satu negara Eropa: Siprus.


“Di masa-masa itu jadi momen-momen harapan walau mimpi ini sangat singkat. Semangat Bandung yang lahir pada 1955 tapi dibunuh pada 1965 dan Amerika memainkan peran yang ambivalen. Amerika mendukung gerakan kemerdekaan karena mereka menganggap diri mereka sebagai land of freedom. Tetapi ketika ada negara yang baru merdeka memilih jalan politik mereka sendiri ada semacam histeria. Histeria Amerika tentang semua hal yang mengarah ke kiri. Itu aneh padahal gagasan Konferensi Bandung adalah anti-kolonial dan menolak terseret arus blok kapitalis atau komunis,” pungkasnya.



Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian

Advertisement

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy masuk militer karena pamannya yang mantan militer Belanda. Karier Tedy di TNI terus menanjak.
Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Tan Malaka pertama kali menggagas konsep negara Indonesia dalam risalah Naar de Republik Indonesia. Sejarawan mengusulkan agar negara memformalkan gelar Bapak Republik Indonesia kepada Tan Malaka.
Prajurit Keraton Ikut PKI

Prajurit Keraton Ikut PKI

Dua anggota legiun Mangkunegaran ikut serta gerakan anti-Belanda. Berujung pembuangan.
Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Hubungan diplomatik Indonesia dan Belgia secara resmi sudah terjalin sejak 75 tahun silam. Namun, siapa nyana, kemerdekaan Belgia dari Belanda dipicu oleh Perang Jawa.
Mengintip Kelamin Hitler

Mengintip Kelamin Hitler

Riset DNA menyingkap bahwa Adolf Hitler punya cacat bawaan pada alat kelaminnya. Tak ayal ia acap risih punya hubungan yang intim dengan perempuan.
bottom of page