- Petrik Matanasi
- 9 Okt
- 2 menit membaca
LANTARAN bergabung ke dalam Angkatan Laut, Adolphe Guillaume Vorderman (1844-1902) bisa bepergian jauh. Tenaga bagian bagian medis itu bahkan bisa pergi ke Hindia Belanda (kini Indonesia).
Sempat pulang ke Belanda, pada 1870 Vorderman berlayar kembali ke Hindia untuk bergabung dengan Departemen Kesehatan Sipil. Kapalnya singgah di Singapura, kota bandar koloni Kerajaan Inggris di Asia Tenggara.
Ketika singgah itu, Vorderman sempat menghadiri ibadah perayaan di Gereja Katolik Roma Portugis San José, Singapura. Terdengar olehnya paduan suara gereja menyanyikan sebuah lagu yang melodinya sama persis dengan lagu “Nina Bobo”, yang waktu itu sudah populer di Hindia Belanda. Vorderman tahu lagu yang didengarnya itu teks bahasa latinnya sudah ada sejak zaman kuno, sebab gereja-gereja Katolik Portugis di Asia Tenggara memperkenalkan lagu itu.
“Kata-kata yang mengawali lagu ini berasal dari bahasa Portugis dan diulang di baris pertama oleh bahasa Melayu sinyo atau noni mau tidur, yang memiliki arti yang sama dengan kata-kata pembuka dan dimaksudkan untuk menunjukkan ‘tidur, anak, tidur',” terang Vorderman dalam sebuah pertemuan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Perkumpulan Budaya dan Ilmu Pengetahuan Batavia) seperti diberitakan Soerabaijasch Handelsblad tanggal 13 Desember 1899 dan De Sumatra Post tanggal 20 Desember 1899.
Portugis menjadi bangsa Eropa yang lebih dulu datang ke Asia dalam rangka mencari sumber-sumber rempah-rempah. Dalam pelayaran Portugis, selain para pelautnya dan pedagang serta tentara, ikut pula para agamawan Katolik. Portugis lalu lama berkuasa di Malaka, hingga Belanda mengalahkannya pada pada 1641.
Setelah Portugis dikalahkan, pengaruh Portugis terkikis oleh pengaruh Belanda yang Protestan. Kendati begitu, menurut Vorderman, beberapa nyanyian Katolik tetap hidup bersama mereka, termasuk “Nina Bobo”. Terlebih beberapa keluarga Portugis di Malaka kemudian ada yang pindah pula ke Batavia, tempat markas maskapai Hindia Timur Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) berada. Lagu pengantar tidur anak berjudul “Nina Bobo” pun terbawa orang-orang Portugis ke Batavia.
Orang-orang Portugis di Batavia menetap secara berkelompok. Kampung terkenalnya adalah Kampung Tugu, yang terkenal dengan Keroncong Moresko atau Keroncong Tugu-nya hingga sekarang. Meski agama mereka bukan lagi Katolik, bahasa dan sisa budaya Portugis tidak hilang. Menurut Voderman, dari Batavia, “Nina Bobo” lalu menyebar ke seluruh Nusantara. Lagu tersebut kemudian dinyanyikan bukan hanya oleh orang keturunan Portugis yang dipanggil “Sinyo” dan “Noni” saja.
“Nina berasal dari kata Portugis Menina, artinya gadis gecil, sedangkan Bobo berarti tidur (logat Cina, Portugis, Melayu dari Malaka ),” catat Abdurachman dan Hisman Kartakusumah dalam Keroncong Tugu dan Paramita Rahayu Abdurachman dalam Bunga Angin Portugis di Nusantara: Jejak-jejak Kebudayaan Portugis di Indonesia.
Menurut Paramita Abdurachman, “Nina Bobo” termasuk salah satu lagu keroncong di Kampung Tugu. Dalam hitungan abad, “Nina Bobo” menjadi bagian dari kehidupan masyarakat pribumi juga. Hampir semua orang pernah menyanyikannya, termasuk ketika hendak menidurkan anak kecil. Lirik lagu abadi ini tergolong mudah dihafal karena pendek.
Tak hanya orangtua yang ingin menidurkan anak-anak mereka, “Nina Bobo” juga pernah masuk dapur rekaman. Adalah penyanyi Belanda yang lahir dan tinggal di Indonesia ketika kecil, Anneke Grönloh dan Wieteke van Dort, yang menyanyikannya.
Dari lirik dan judul lagu “Nina Bobo” itulah belakangan muncul kata kerja dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Menina-bobokan, yang artinya: pertama, menyanyikan lagu (untuk anak) supaya tidur atau menidurkan (anak) dengan nyanyian; kedua, melemahkan semangat; mempersenang hati orang lain dengan perkataan (janji) yang muluk-muluk. Menina-bobokan menjadi salah satu istilah yang terkesan tidak baik.*













Komentar