- Petrik Matanasi
- 18 Jun
- 3 menit membaca
SEBUAH pertemuan diadakan di sebuah bioskop di Padang, Sumatra Barat pada 1 April 1923. Wakil-wakil dari organisasi besar macam serikat buruh kereta trem, Vereniging van Spoor-en Tramwegpersoneel (VSTP), dan organisasi kepanduan macam Nederlands-Indische Padvinders (NIP) dan organisasi-organisasi lainnya hadir di sana. Salah satu pembicara di sana rupanya dicap sangat berani oleh pemerintah kolonial.
“Orang Minangkabau masih berpegang teguh pada adat mereka, yang mereka akui sebagai satu-satunya yang benar, dan meskipun ada pelekat pandjang (kesepakatan antara pemerintah dan orang Minangkabau), adat itu telah dirobek dengan ujung sangkur,” kata Sutan Said Ali, si pembicara berani itu.
Said Ali yang masih berusia 28 tahun itu pun ditahan lalu diseret ke meja hijau Landraad (pengadilan negeri). De Indisch Courant tanggal 8 Agustus 1923 memberitakan, Said Ali diganjar hukuman tujuh bulan penjara dengan dipotong masa tahanan.
Namun, hukuman tidak membuat Said Ali kapok melawan pemerintah kolonial. Koran De Locomotief tanggal 19 April 1926 memberitakan adanya rumor yang mengatakan bahwa Said Ali bertemu dengan Tan Malaka di Padang dan membahas instruksi dari Moskow untuk Partai Komunis Indonesia (PKI). Terlepas benar-tidaknya rumor itu, Tan Malaka tak setuju PKI mengadakan pemberontakan pada tahun itu.
Said Ali termasuk pengurus PKI Sumatra Barat yang dipandang memiliki pengaruh. Pengaruh mantan guru sekolah swasta dan redaktur suratkabar bernama Nyala itu tak hanya di Minangkabau (Sumatra Barat) tapi juga di Tapanuli (Sumatra Utara).
“Ia dikenal di Pantai Barat sebagai seorang agitator berbahaya dengan banyak tipu daya, yang membuatnya dijatuhi hukuman penjara sembilan bulan tiga tahun lalu. Untuk waktu yang lama dialah orang di Pantai Barat yang berhubungan langsung dengan pengurus utama PKI di Semarang, dan dari situlah semua kepemimpinan terpancar,” siar koran De Sumatra Bode tanggal 1 Juni 1926 dan Deli Courant tanggal 7 Juni 1926.
Setelah penangkapannya, aktivitas gerakan komunis di Tapanuli pada pertengahan 1926 berkurang.
Selain Said Ali, Umi binti Abdoel Sjoekoer istrinya juga ditangkap. Umi ditangkap lalu dibawa dengan becak ke kantor polisi. Umi disebut-sebut juga telah membawa revolver. De Sumatra Bode tanggal 26 Mei 1928 menyebut Umi adalah mantan guru sekolah dasar dan dianggap propagandis PKI di Parak Gadang, Padang. Umi tampaknya lebih dahulu bebas.
Setelah meletusnya pemberontakan komunis 1926, Umi ditangkap lagi dan ditahan di Medan. De Sumatra Bode tanggal 29 November 1926 menyebut, Umi berada di Bengkulu ketika pemberontakan terjadi.
Said Ali kemudian termasuk yang dibuang oleh pemerintah kolonial. De Sumatra Post tanggal 27 April 1927 menyebut, istrinya kemudian menyusul. Keduanya kemudian dikirim ke Kamp Tanah Merah, Boven Digoel, Papua Selatan. Mereka berdua bersama ratusan orang yang membangkang dan dicap komunis itu hendak diisolasikan di tempat yang masih belantara itu. Sejak akhir 1927 hingga 1931, keduanya bersama-sama di Boven Digoel.
Lagi-lagi Umi lebih dulu punya kesempatan bebas. Menurut De Sumatra Post edisi 29 Juni 1931, Umi termasuk tahanan yang diperbolehkan pulang dari Digoel setelah empat tahun-an menjalani pembuangan. Namun, Said Ali tak diperbolehkan pulang. Sebab, Said Ali dianggap berbahaya oleh pemerintah kolonial. Maka, begitu Umi pulang, suaminya rela-tak rela harus menetap di Digul.
Selama bertahun-tahun, Said Ali harus sendiri di rumah mereka di pedalaman hutan Papua itu. Tanpa Umi yang sedang bebas di Padang. Selama hampir delapan tahun keduanya tak bersama itu komunikasi hanya bisa dijalin dengan saling berkirim surat. Jelas ada kerinduan di antara suami-istri itu.
Kerinduan itulah yang kemudian membuat Said Ali meminta pemerintah kolonial agar mengizinkan Umi istrinya ikut lagi dengannya di Boven Digoel meski Umi tidak ada sangkutan masalah hukum dengan pemerintah. Menurut Algemeen Handelsblad tanggal 8 Februari 1939, pemerintah kolonial tak melarang Umi kembali hidup bareng suaminya yang berada di Boven Digoel itu. Umi sendiri memang ingin kembali ke Digoel.*









