- Petrik Matanasi
- 10 Jul
- 2 menit membaca
DI Maluku, rupanya masih ada yang tersisa dari orang Portugis yang berkuasa. Di Banda Naira, daerah penghasil rempah yang indah, tepatnya. Di sana, tinggallah keluarga Mendoza.
Nama Mendoza jelas bukan nama asli Ambon. Ada pengaruh Portugis dan Spanyol dalam nama itu. Orang Ambon dengan nama belakang Mendoza diperkirakan keturunan orang dengan nama belakang Mendoza yang kawin dengan perempuan lokal lalu menamai keturunannya dengan Mendoza.
Dulu, armada Portugis mencapai Maluku untuk mencari rempah-rempah. Menurut Paramitha Abdurachman dalam Bunga Angin Portugis di Nusantara, armada Portugis dipimpin Laksamana Andre Furtado de Mendoza. Dia memimpin pasukan dari Malaka yang dalam kurun perniagaan rempah-rempah itu menjadi markas Portugis di Asia.
Pada 1600-an, Portugis adalah musuh Belanda. Namun Maluku kemudian jatuh ke tangan Belanda hingga kedatangan tentara Jepang pada awal 1940-an.
Salah satu keluarga Mendoza yang di Banda Neira adalah keluarga Rupino Mendoza. Dia punya istri Theodorusz Betsi. Pasangan ini punya anak bernama Felix, yang lahir pada 16 Maret 1909.
Ketika dewasa, Felix dengan tinggi 1,67 meter mendaftar menjadi tentara kolonial Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL). Stamboek 87397 atas nama dirinya menyebut pada 31 Mei 1928 dirinya masuk dinas sukarela di Depot Artileri Mobil di Cimahi, Jawa Barat. Lalu pada 16 Februari 1929, dia ditempatkan di satuan artileri di Jatinegara untuk belajar menjadi ahli senjata dengan pangkat kanonier (prajurit meriam) kelas satu.
Setelah belasan tahun berdinas, pangkatnya terus naik. Pada 1940 pangkatnya sudah mencapai sersan. Ketika kota Ambon diserbu militer Jepang pada Januari-Februari 1942, KNIL di bawah Letnan Kolenel Joseph Kapitz tidak berdaya meski ada bantuan dari tentara Australia. Ambon dengan mudah direbut tentara Jepang. Banyak anggota KNIL pergi atau menyerah dan menjadi tawanan perang. Kapten Jan Kaseger, Letnan Didi Kartasasmita, juga Sersan Gatot Subroto contohnya.
Ambon kemudian menjadi bagian daerah kekuasaan Armada Selatan Kedua Angkatan Laut Kekaisaran Jepang yang bermarkas besar di Makassar. Armada Selatan Kedua meliputi Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan sekitarnya. Hubungan antara Jawa dan Indonesia bagian Timur ketika itu terputus.
Sersan Mayor Felix Mendoza menyaksikan kekalahan itu. Namun Felix tak tinggal diam. Dia melibatkan diri dalam gerakan bawah tanah melawan tentara Jepang. Para bekas bintara dan tamtama KNIL diorganisir olehnya. Mereka tentu berhati-hati karena kadung dicap sebagai pro-Belanda militer Jepang yang sebetulnya jumlah personilnya terbatas namun sangat awas.
Felix dengan kelompok perlawanannya, yang kadang disebut Sapoe Tangan Merah, melakukannya selama berbulan-bulan. Namun, Felix akhirnya tertangkap juga. Menurut stamboek-nya Sersan Mayor Felix Mendoza lalu dieksekusi di Batu Merah, Ambon pada 15 Januari 1943. Umumnya eksekusi ala militer Jepang adalah penggal kepala dengan pedang ala Samurai di hadapan orang banyak.
Daerah Batu Merah adalah daerah niaga yang dihuni banyak pendatang dari Sulawesi bagian selatan yang menjadi pedagang di sana. Orang Bugis, Makassar, dan Buton yang telah lama datang ke Ambon tentu disuguhi tontonan eksekusi mati Felix Mendoza ini.
Setelah kematiannya, perlawanan Felix diingat pemerintah Belanda. Perlawanan Felix adalah bagian dari perlawanan (verzet) Belanda terhadap Jepang di Asia. Maka berdasarkan Koninklijk Besluit nomor 10 tanggal 21 Desember 1949, Felix Mendoza dihormati sebagai tokoh perlawanan Asia Timur oleh Kerajaan Belanda. Dia dianggap mati demi Hindia Belanda yang sebentar lagi bubar itu.









Komentar