top of page

Sejarah Indonesia

Secuplik Sejarah Morotai Yang Pernah Dipimpin Benny Laos

Secuplik Sejarah Morotai yang Pernah Dipimpin Benny Laos

Morotai memainkan peran penting di akhir Perang Pasifik. Kembali terulang sebagai pangkalan militer saat Operasi Mandala.

14 Oktober 2024

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Sejumlah kapal perang Sekutu di lepas pantai Morotai saat Perang Pasifik. (Wikipedia.org/Robert Ross Smith)

SEBUAH kapal cepat terbakar di Pelabuhan Bobong, Taliabu, Maluku Utara, pada 12 Oktober 2024. Kejadian nahas tersebut menewaskan Benny Laos, yang merupakan calon gubernur Maluku Utara. Benny Laos sang pemilik Bela Group ini sebelumnya pernah menjadi bupati Kabupaten Pulau Morotai, juga di Maluku Utara.


Kabupaten Pulau Morotai yang berada di sisi utara Pulau Halmahera memang kurang dikenal kebanyakan orang Indonesia zaman now. Namun, Morotai terkenal dalam sejarah Perang Pasifik (1941-1945).


Panglima militer Sekutu Jenderal Douglas MacArthur menganggap Morotai sebagai pulau penting yang harus direbut dari Jepang setelah pasukannya menguasai Jayapura (yang di tahun 1945 disebut Hollandia). William Manchester dalam MacArthur: Sang Penakluk menulis, pada 15 September 1944 MacArthur naik kapal penjelajah Nashville menuju Morotai, yang direbut dengan mudah. Morotai ternyata hanya dihuni 500-1.000 tentara Jepang, sementara Amerika punya 61.000 personel.


Setelah Morotai diserbu, banyak serdadu Jepang bergerilya. Yang terkenal adalah Teruo Nakamura (1919-1979). Dia bertahan hidup dengan amat baik di pedalaman Morotai kendati tentara Amerika sangat banyak di Morotai.


MacArthur menjadikan Morotai sebagai pangkalan udara juga. Tak tanggung-tanggung, lapangan udaranya besar yang dibangunnya bukan hanya satu tapi juga ada tujuh. Pesawat-pesawat pembom Amerika hilir-mudik di sana. Bagi Amerika, mendapatkan Morotai berarti mendapatkan kunci untuk menyerbu Filipina, berjarak hanya sekitar 300 mil. Filipina merupakan koloni Amerika. Menduduki Filipina berarti mendekati Jepang.


Setelah Amerika mendudukinya, orang-orang Belanda kembali muncul di Morotai. “Urusan sipil di Morotai ditangani, seperti biasa, oleh Detasemen NICA. Detasemen ini cepat membawa penduduk asli kembali di bawah kedaulatan Belanda,” tulis Robert Ross Smith dalam The Approach to the Philippines.


NICA juga menempatkan seorang dokter di Morotai untuk melawan malaria. Koran Trouw tanggal 14 Desember 1944 menyebut dr Roebiono Kertopati, dokter yang dikirim itu, merawat 400 orang pasien di Rumahsakit Eugenie. Rumahsakit yang dibangun pada September 1944 ini mengurusi kesehatan bagi 2200 rakyat Morotai. Roebiono tak lupa melatih pemuda setempat untuk dijadikan perawat.


Roebiono bukan satu-satunya orang Indonesia yang diberdayakan Belanda di Morotai. Setelah Belanda membangun kembali tentara Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL) yang berantakan pada 1942 dengan membangun tempat pengumpulan tentara bernama Leger Organitatie Centrum (LOC), ada serdadu-serdadu rendahan macam Salendu atau Laloan. Menurut Abdul Haris Nasution dalam Seputar Perang Kemerdekaan Indonesia 2, serdadu-serdadu itu kemudian mendapat kabar tentang kemerdekaan bangsa Indonesia di Jawa dari Sersan Mamuaya. Kabar itu datang setelah penyerahan Jepang pada 14 Agustus 1945.


Di antara anggota KNIL di LOC Morotai (kini menjadi kampung LOC, dekat markas Pangkalan Udara Leo Wattimena) ada yang bersimpati pada kemerdekaan Indonesia. Menurut Ahmad Junus Mokoginta dalam Sedjarah Singkat Perdjuangan Bersendjata, ada satu kompi KNIL yang dianggap berbahaya oleh pihak Belanda hingga mereka dikapalkan ke Makassar agar tidak berontak di Morotai.


Setelah Indonesiaa merdeka, pada awal 1960-an Morotai juga dijadikan pangkalan oleh TNI dalam Operasi Mandala Perebutan Irian Barat. Selain landasan pacu pesawat di daerah Pitu, Morotai punya banyak, termasuk tujuh peninggalan Amerika. Namun, yang dipakai tak lebih dari dua saja.


Pada 1974 Morotai dihebohkan oleh tentara Jepang yang masih bertahan di pedalamannya. Tentara itu rupanya Teruo Nakamura. Dia tak hanya tertinggal di Morotai tapi ketinggalan berita karena Jepang sudah lama menyerah kalah kepada Sekutu. Meski kalah, Nakamura dikenang di Morotai. Di sana terdapat Jalan Nakamura dan Desa Nakamura.


Sementara, tentara Amerika di Morotai meninggalkan cerita tersendiri. Beberapa tentara Amerika menjalin cinta dengan perempuan Morotai. Setelah 1945, di Morotai lahirlah bayi-bayi yang punya darah campuran Tobelo-Amerika bermata biru. Mereka hidup di Morotai. Selain anak keturunan Amerika, bangkai alutsista seperti mobil hingga pesawat juga bertebaran di Morotai. Bahkan ada pesawat yang tenggelam dasar laut.


Oleh Muhlis Eso, penduduk setempat yang merupakan cucu pejuang RI Tadi Eso, banyak bangkai alutsista itu lalu dikumpulkannya. Dari bangkai bermacam alutsista yang dikumpulkannya itulah Muhlis membuat museum partikelir di Morotai. Di Morotai sendiri setidaknya ada tiga museum terkait Perang Dunia II, termasuk yang dibangun Muhlis Eso.


Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy masuk militer karena pamannya yang mantan militer Belanda. Karier Tedy di TNI terus menanjak.
Soeharto Menemukan "Tempatnya" di Barak KNIL

Soeharto Menemukan "Tempatnya" di Barak KNIL

Sebagai anak “broken home”, Soeharto pontang-panting cari pekerjaan hingga masuk KNIL. Copot seragam ketika Jepang datang dan pulang kampung dari uang hasil main kartu.
Alex Kawilarang Menolak Disebut Pahlawan

Alex Kawilarang Menolak Disebut Pahlawan

Alex Kawilarang turut berjuang dalam Perang Kemerdekaan dan mendirikan pasukan khusus TNI AD. Mantan atasan Soeharto ini menolak disebut pahlawan karena gelar pahlawan disalahgunakan untuk kepentingan dan pencitraan.
Melatih Andjing NICA

Melatih Andjing NICA

Martin Goede melatih para mantan interniran Belanda di kamp. Pasukannya berkembang jadi andalan Belanda dalam melawan pejuang Indonesia.
Anak Jakarta Jadi Komandan Andjing NICA

Anak Jakarta Jadi Komandan Andjing NICA

Sjoerd Albert Lapré, "anak Jakarte" yang jadi komandan kompi di Batalyon Andjing NICA. Pasukannya terdepan dalam melawan kombatan Indonesia.
bottom of page