- Petrik Matanasi
- 20 Jun
- 4 menit membaca
PADA 30 Maret 1981, Ambon dijadikan tempat perhelatan commanders call ABRI. Panglima ABRI (Pangab) Jenderal TNI M. Jusuf tentu hadir di sana. Begitu pula jenderal-jenderal lain yang menjadi asisten panglima.
Namun, commanders call itu menjadi tidak lancar. Pada hari itu, kabar terjadinya pembajakan pesawat “Woyla” milik Garuda Indonesia, yang digiring pembajak ke Bangkok, sampai ke telinga para petinggi ABRI di Ambon. Semua pun dibuat khawatir, tak terkecuali Letnan Jenderal TNI Leonardus Benyamin Moerdani alias Benny Moerdani selaku As-Intel panglima ABRI.
Letjen Benny sejatinya akan menyampaikan analisis dan evaluasi situasi keamanan nasional dalam acara itu. Namun, mau tak mau Benny tak bisa seharian berada di Ambon. Benny harus mengawasi penanganan kasus pembajakan tersebut.
Tidak adanya Benny di Ambon itu tentu menimbulkan beberapa penafsiran. Kivlan Zen dalam Konflik dan Integrasi TNI-AD menyebut tidak hadirnya Benny dalam commanders call itu terkait dengan konfliknya dengan Jusuf. Sementara itu, Atmadji Sumarkidjo dalam Jenderal M Jusuf: Panglima Para Prajurit mengungkapkan bahwa Moerdani bukan tidak hadir commanders call ABRI di Ambon, pada hari itu juga Benny bahkan dapat tugas langsung dari Pangab Jenderal M. Jusuf untuk mengatasi pembajakan Woyla. Benny bahkan memakai pesawat C-130 yang sebelumnya dipakai Jusuf untuk terbang ke Makassar, lalu ganti pesawat Pelita Air untuk ke Jakarta.
Rumor perseteruan Benny dan M. Jusuf, yang merupakan atasan dan bawahan, makin santer di pengujung masa kepemimpinan M. Jusuf. Banyak orang “gerah” melihat kepemimpinan Jusuf yang amat disenangi prajurit rendahan dan rakyat yang mengetahui kepeduliannya.
Jusuf yang dijuluki “Panglima para prajurit” lebih banyak menghabiskan waktunya sebagai panglima dengajn berkeliling ke berbagai penjuru tanah air ketimbang duduk di balik meja memberikan perintah. Di berbagai tempat yang dikunjunginya, Jusuf selalu berinteraksi dengan orang-orang yang ditemuinya. Mulai dari prajurit rendahan, istri mereka berikut anak-anak mereka, hingga masyarakat setempat semua diajaknya berdialog dan diberi perhatian. Gaya kepemimpinannya yang peduli orang rendahan itulah yang membentuk citra Jusuf sebagai pemimpin yang peduli bawahan. Pamor Jusuf naik bukan kepalang.
Kepopuleran Jusuf di masyarakat membuat banyak jenderal di sekitarnya menjadi iri. Mereka jelas kalah pamor, dan yang pasti kans mereka untuk mendapatkan sesuatu yang lebih menjadi kian tertutup. Para jenderal yang tak suka pada Jusuf itu lalu membuat gerakan-gerakan untuk mendiskreditkan Jusuf dan sekaligus menarik perhatian Presiden Soeharto.
Dengan popularitas Jusuf itu, sebut Salim Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto, “Soeharto dikabarkan mulai agak cemas.”
Kecemasan Soeharto amat beralasan. Dirinya merupakan orang yang dikenal tak senang ada pesaing yang bisa membahayakan posisinya selaku penguasa. Kolonel Sarwo Edhie Wibowo, yang pernah digunakan Soeharto untuk menumpas PKI, salah satu orang yang pernah menjadi korban dari ketidaksenangan itu. Pamornya yang meningkat selepas menumpas PKI pasca-G 30 S membuat Sarwo dianggap ancaman oleh Soeharto. Maka ketika Soeharto naik menjadi orang nomor satu di Angkatan Darat, Sarwo pun “dikotakkan”.
Apa yang terjadi pada Sarwo seakan terulang lebih dari satu dekade kemudian dengan Jusuf, yang pamornya di masyarakat, terutama kalangan rendah prajurit cukup kuat. Bagi Soeharto, itu perlu diwaspadai. Namun ketika mulai banyak rumor tentang Jusuf menggunakan popularitasnya untuk modal menjadi presiden berseliweran, kewaspadaan Soeharto pun ditingkatkan. Terlebih, kabar itu juga dihembuskan orang-orang penting di dalam militer yang merupakan orang-orang kepercayaan Soeharto, termasuk Letjen Benny.
“Letnan Jenderal Benny Moerdani diisukan melaporkan kepopuleran Jenderal M Jusuf kepada Soeharto,” sebut Kivlan.
Pada awalnya, Jusuf tak ambil pusing dengan rumor tersebut. Sebagai perwira Jusuf paham apa yang dicemaskan Soeharto. Apa yang dilaporkan Benny kepada Soeharto tentang dirinya adalah tugas yang wajar, sebab Soeharto adalah bos Benny juga bos dirinya. Jusuf memakluminya.
“Kau laporkan ini kepada Pak Harto, Ben,” kata Jusuf memerintahkan Benny dalam setiap perkara, dikutip Salim Said.
Kendati masing-masing pihak tetap menaati prosedur sesuai aturan, toh banyak orang yang “mengail di air keruh” sehingga rumor tentang keretakan Jusuf-Benny dan Soeharto makin kuat. Penempatan empat anggota anggota Kopassandha (kini Kopassus) untuk mengawal Jusuf atas perintah Benny pun dimaknai banyak pihak sebagai bentuk pengawasan Benny kepada Jusuf. Bahkan, Jusuf juga digambarkan seolah tak menyukai Benny.
Benny sebagai orang intelijen tampak memandang Jusuf tetap bukan sebagai orang berbahaya. Jusuf sendiri tahu diri atas posisinya di mata Soeharto dan tak merasa Benny adalah orang yang harus dia musuhi. Maka ketika ada sekelompok mayor yang hendak “menyikat” Benny, Jusuf tak mau memanfaatkannya untuk keuntungan dirinya. Jusuf, menurut Atmadji Sumarkijo, justru menenangkan para perwira itu agar tidak bertindak buruk, termasuk kepada Benny.
Benny, yang sukses mengatasi pembajakan pesawat Woyla hingga pamornya meningkat drastis, pada akhirnya dipercaya Presiden Soeharto untuk menggantikan Jusuf memimpin ABRI. Pada 1983, Benny resmi menjabat sebagai panglima ABRI.
“Konon, Jusuf pulalah yang menyarankan agar Benny saja yang diangkat menjadi penggantinya,” kata Salim Said.
Naiknya Benny menggantikan Jusuf sebagai panglima tak membuat Jusuf tak suka kepada Benny. Jusuf masih suka menelepon Benny sebagaimana ketika dia masih menjadi atasan Benny dulu. Terkait tugas dan pencapaian Benny tersebut, menurut Donny Alamsyah Sheyoputra dalam Sebelas Azas Kepemimpan TNI dan Menejemen Interpesonal Perwira Tinggi TNI AD 1970-1990, Jusuf memperlihatkan diri sebagai orang yang legawa.
Hubungan antara Jusuf dengan Benny tetap terjalin baik terlepas banyak pihak kerap menggambarkannya dengan adanya konflik tak wajar di antara keduanya. Jusuf tampak hendak digambarkan sebagai sosok penting dalam kelompok “ABRI Hijau” yang menjadi lawan dari kelompok “ABRI Merah Putih” yang merupakan kelompok perwira di belakang Benny. Padahal, semasa dinasnya di ABRI, Jusuf tidak pernah membangun klik.*













Komentar