top of page

Sejarah Indonesia

Sekolah Rakyat Dulu Dan Kini

Sekolah Rakyat, Dulu dan Kini

Sama-sama untuk memeratakan pendidikan hingga ke masyarakat miskin, Sekolah Rakyat zaman kolonial dan sekarang berbeda. Kini gratis dan siswa diasramakan.

4 Mei 2025

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Ilustrasi sekolah rakyat masa awal kemerdekaan medio 1948. (nationaalarchief.nl).

SALAH satu poin dalam Asta Cita pemerintahan Presiden Prabowo Subianto adalah penguatan sumber daya manusia (SDM) melalui pendidikan gratis. Setelah memunculkan gebrakan program SMA Unggulan Garuda, progam lainnya adalah Sekolah Rakyat. Bedanya, SMA Garuda diampu Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) sedangkan Sekolah Rakyat akan dikelola Kementerian Sosial (Kemensos). 


SMA Garuda di bawah Kemendiktisaintek menyasar anak-anak dengan prestasi bidang akademik, khususnya sains dan matematika. Adapun kriteria siswa Sekolah Rakyat yang rencana programnya akan mulai dijalankan di tahun ajaran 2025/2026, adalah anak-anak dari kalangan miskin ekstrem. 


Menurut ketua Tim Formatur Sekolah Rakyat Prof. M. Nuh dalam program #IntrigueRK bertajuk “Program Mulia Prabowo, Jangan Sebatas Usia Kabinet” yang diunggah kanal Youtube Prof. Rhenald Kasali, 17 April 2025, Sekolah Rakyat esensinya adalah memuliakan kaum miskin melalui pendidikan. Oleh karenanya, program itu menjadi tanggung jawab Kemensos meski tetap akan bekerjasama dengan Kemendikdasmen. Alasannya, pendekatan kemiskinan. 


Seperti halnya SMA Garuda, Sekolah Rakyat juga berkonsep sekolah berasrama. Bedanya, SMA Garuda akan menerapkan penggabungan kurikulum nasional dan kurikulum internasional dengan program International Baccalaureate (IB). Sedangkan menurut buku draf Petunjuk Teknis (juknis) Sekolah Rakyat terbitan Kemensos RI pada 16 Maret 2025, kurikulum yang digunakan untuk jenjang SD, SMP, dan SMA adalah kurikulum nasional dengan muatan tambahan. Selain penguatan karakter, kepemimpinan, nasionalisme, dan keterampilan, muatan tambahannya adalah penguatan matematika dan koding.


Secara kasat mata, program tersebut sungguh mulia. Namun kalangan akademisi dan praktisi pendidikan punya sejumlah catatan yang mesti jadi perhatian. Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), misalnya, mengungkit soal tata kelola.


“Kemungkinan standar pengelolaannya, sarana dan prasarana tentu akan beda karena kan konsepnya sekolah berasrama. Lalu ketika kemudian mereka mengelola Sekolah Rakyat, ini kan pesertanya sudah jelas homogen: anak-anak miskin ekstrem. Maka kemudian menciptakan standar yang berbeda. Yang kedua, pendidikan keasramaannya yang harus kita sorot nih. Apakah pemerintah mampu mengelola itu? Apalagi rencananya tahun ajaran baru,” ujar, Ketua Bidang Advokasi P2G Iman Zanatul Haeri kepada Historia.ID.


Iman menyangsikannya lantaran waktu persiapan amat minim. Belum lagi hal-hal lain.

“Juknisnya keluar Maret, sementara tahun ajaran baru itu di Juli/Agustus. Kami sebagai praktisi pendidikan pesimis karena waktunya enggak akan cukup. Untuk rekrutmen (guru) saja, pemerintah berubah-ubah. Pertama, katanya akan di-hire dari guru ASN (aparatur sipil negara) dan PPPK (pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja). Lalu kemudian berubah lagi, hanya akan merekrut guru-guru yang tidak lolos passing grade PPPK dialihkan mengajar di Sekolah Rakyat. Lalu berubah lagi, yang akan mengajar ini fresh graduate yang baru lulus PPG (pendidikan profesi guru). Lalu kemudian berubah lagi misalkan statement-nya menteri sosial, katanya nanti akan bersifat kontrak berarti dia membuka lowongan secara luas dan umum,” imbuhnya. 


Catatan lain dari P2G yakni, adanya tumpang-tindih pengelolaan dan bertentangan sistem pendidikan nasional. Pasalnya, sekolah-sekolah reguler pun sudah punya penerimaan peserta didik dari Jalur Afirmasi untuk mengakomodir peserta didik disabilitas dan peserta didik dengan latar belakang ekonomi miskin.


“SMA Garuda dikelola Kemendiktisaintek. Sekolah-sekolah reguler (SD, SMP, SMA dan MI, Mts, dan MA) dikelola Kemendikdasmen dan Kementerian Agama. Nah Sekolah Rakyat itu di bawah Kemensos. Jadi ada tiga kasta yang dikelola oleh empat kementerian. Ini yang menurut kami akan menjadi tumpang tindih dan ini bisa bertentangan dengan amanat UU Sisdiknas. Karena di dalam UU Sisdiknas (No. 20 Tahun 2003) dan juga UUD 1945, disebutkan bahwa pemerintah itu wajib membuat satu sistem. Nah, kalau dikelola oleh banyak kementerian kayak gini kan berarti multisistem ya. Ini yang kami khawatir,” tambah Iman.


Tak ayal, adanya tiga starata itu dikhawatirkan menimbulkan lagi kesenjangan sosial di antara peserta didik. Antara anak-anak berprestasi dengan kategori CIBI (Cerdas Istimewa Berbakat Istimewa) di SMA Garuda, anak-anak berlatar belakang umum seperti di sekolah-sekolah reguler, dan anak-anak berlatar belakang miskin ekstrem di Sekolah Rakyat.


“Sekolah Rakyat ini kan sudah ada sejak zaman kolonial dan zaman (pendudukan Jepang) untuk kelas menengah ke bawah. Di Orde Baru sebenarnya pengembangan lanjutannya adalah sekolah negeri. Tujuannya adalah bagaimana semua orang bisa mengakses sekolah. Di sekolah reguler sekarang sudah ada Jalur Afirmasi karena idealismenya sekolah itu milik semua orang. Ketika dipisahkan lagi dalam Sekolah Rakyat, kami ada kekhawatiran akan menimbulkan gap sosial atau kasta sosial baru. Kebijakan kita kan sekolah negeri dijadikan inklusif sehingga sekolah didorong terbiasa hidup di lingkungan (latar belakang) yang beragam. Inilah yang menurut kami merupakan kemunduran jika dipisahkan lagi dengan sesama anak miskin di lingkungan homogen dan kami khawatir menjadi alienasi,” jelasnya. 


Sekolah Rakyat yang (Tidak) Gratis

Terlepas dari persoalan pemerataan, program pendidikan gratis di Indonesia sendiri mulai dijalankan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di tahun ajaran 2005/2006. Prosesnya bertahap, dimulai dari jenjang SD dan SMP, kemudian jenjang SMA baru mulai 2008. Itu jadi sorotan tersendiri mengingat sejak zaman kolonial pun pendidikan gratis masih jadi hal yang sulit diwujudkan. 


“Sepengetahuan saya dari dulu enggak ada pendidikan gratis. Era Pak Harto dengan sekolah Inpres (Instruksi Presiden) juga bayar ya walau murah sekali. Masa-masa 1970-an bayar SPP (sumbangan pembinaan pendidikan) itu paling berapa rupiah karena sebenarnya subsidi dari pemerintah,” cetus sejarawan Bondan Kanumoyoso kala ditemui Historia.ID di kantornya, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI).


Pada dasawarsa kedua abad ke-19, pemerintah kolonial sudah membuka keran pendidikan yang tentu tidak gratis dan amat terbatas. Peserta didiknya sekadar anak-anak Eropa, Indo-Eropa, dan kaum elite bumiputera. Di antaranya sekolah dasar khusus anak-anak Eropa Europesche Lager School (ELS) dan Eerste Klasse School serta Tweede Klasse School alias Sekolah Ongko Loro untuk kalangan bumiputera yang kemudian bertransformasi menjadi Hollandsche Inlandsche School (HIS). Di jenjang sekolah menengah, ada Hogere Burger School (HBS), Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), dan Algemene Middelbare School (AMS). 


Menurut Yudi Latif dalam Menyemai Karakter Bangsa: Budaya Kebangkitan Berbasis Kesastraan, pemerintah kolonial mulai mereformasi pendidikannya sejak Ratu Wilhelmina mencetuskan Politik Etis pada 1901. Untuk kalangan kelas menengah ke bawah di kalangan bumputera, pemerintah mulai menyediakan Sekolah Rakyat (volkschool) dan Sekolah Desa pada 1907 sebagai perluasan dari Tweede Klasse School (Sekolah Ongko Loro). 


“Sekolah Rakyat itu sebetulnya ada dua jenis ya. Ada yang diinisiasi oleh pemerintah kolonial mendidik masyarakat di tingkat pedesaan. Ada juga sekolah-sekolah yang di luar inisiatif pemerintah kolonial. Yang kalau dalam catatan pemerintah kolonial itu dibilang wildenschool atau sekolah liar. Ini biasanya didirikan oleh tokoh-tokoh pergerakan nasional atau orang-orang yang punya concern di dalam pendidikan atas inisiatif mereka sendiri,” lanjut Bondan. 


Yang dimaksud “sekolah-sekolah liar” itu di antaranya Sakola Kautamaan Istri yang didirikan Raden Dewi Sartika di Bandung pada 1904, Sekolah Sarekat Islam oleh Tan Malaka dan organisasi Sarekat Islam di Semarang pada 1921. Ada lagi Perguruan Taman Siswa yang didirikan R.M. Soewardi Soerjaningrat alias Ki Hajar Dewantara di Yogyakarta pada 1922, lalu Indonesisch Nederlandsche School (INS) Kayutanam gagasan Engku Mohammad Sjafei di Sumatera Barat pada 1926, atau Tjahja Volksuniversiteit yang dilahirkan Sutan Sjahrir di Bandung pada 1926. 


Banyak dari sekolah tersebut disebut liar karena tidak mengikuti kurikulum kolonial. Adanya muatan politis pada sekolah-sekolah itu membuat pemerintah kolonial sampai mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada 1932. Meski begitu, sebagian dari sekolah itu, seperti Sekolah Raket Islam dan Tjahja Volksunversiteit, jadi medium peningkatan pendidikan merakyat yang gratis untuk masyarakat tidak mampu.


Sementara, volkschool bikinan pemerintah kolonial –meski labelnya “sekolah rakyat”– tetap saja memungut biaya alias tidak gratis. Menurut Soekardjo Wilardjito dalam Mereka Menodong Bung Karno: Kesaksian Seorang Pengawal Presiden, kegiatan belajar mengajar selama tiga tahun di Sekolah Rakyat setara sekolah dasar setidaknya dipungut biaya sekira 5 sen atau 0,05 gulden. Di masa kolonial, jumlah uang itu setara 1 kilogram beras.


“Dari dua jenis pendidikan ini memiliki arti yang sangat penting karena mereka bersentuhan langsung dengan rakyat jelata. Paling tidak bisa memperkenalkan kemampuan pendidikan dasar membaca dan menulis kepada masyarakat. Kalau di zaman Jepang, saya kira sudah lebih tertata. Karena Jepang memperkenalkan sistem sekolah seperti yang kita kenal sekarang. SD, SMP, SMA itu sebetulnya lebih mirip sistem pendidikan Jepang yang kita warisi sekarang ini ya,” sambung Bondan. 


Jenjang sekolah dasar dari Sekolah Rakyat zaman Jepang disebut Kokumin Gakko. Sedangkan jenjang sekolah menengah disebut Minarai Gakko. Menurut Sugiyono dkk. dalam Peta Jalan Pendidikan Indonesia, pemerintah pendudukan Jepang memang memberlakukan biaya sekolah gratis. Namun kebijakan itu sarat muatan politis karena membawa misi “Nipponisasi” dan pemberdayaan para pemuda Indonesia untuk mobilisasi pekerja dan militer. 


“Penyederhanaan sistem pendidikan dan sekolah di zaman Jepang membuka lebar kesempatan belajar bagi semua golongan penduudk di Indonesia. Strata sosial dalam jalur-jalur sekolah dan pendidikan telah dihapuskan. Tetapi dari sudut lain secara konkret tujuan pendidikan zaman Jepang untuk menyediakan tenaga kerja cuma-cuma dan prajurit-prajurit untuk membantu peperangan demi kepentingan Jepang. Pengaruhnya adalah pelajar diharuskan mengikuti latihan fisik, latihan kemiliteran, dan indoktrinasi ketat,” ungkap Sugiyono dkk.


Di masa awal kemerdekaan, pemerintah mengubah sistem Sekolah Rakyat dari tiga tahun menjadi empat tahun melalui Keputusan Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan) tanggal 3 September 1946. Kemudian pada Mei 1947, Sekolah Rakyat –merupakan cikal bakal Sekolah Dasar (SD)– membentuk Panitia Penyelidik Pengajaran dan menghasilkan rekomendasi berupa penambahan masa pendidikan Sekolah Rakyat menjadi 6 tahun, dan rekomendasikan penggratisan biaya pendidikan khusus Sekolah Rakyat. 


“Di zaman Pak Harto (Orde Baru) sebenarnya ada inisiatif untuk meningkatkan kualitas pendidikan dengan membuka sekolah-sekolah yang dibiayai oleh pemerintah. Ya mungkin salah satunya ya dari dana pinjaman luar negeri seperti IGGI (Inter-Governmental Group on Indonesia, red.) dan sebagainya itu sehingga dibentuklah program (sekolah) Inpres itu mulai 1973. Itu menjadi ujung tombak gerakan pemberantasan buta huruf,” urai Bondan. 


Meski tetap berbiaya, setidaknya sekolah-sekolah program Inpres cukup murah dan bisa dijangkau masyarakat kurang mampu. Pendidikan gratis untuk sekolah-sekolah negeri baru bisa terwujud di era pemerintahan SBY mulai 2005, dimulai jenjang SD dan SMP lalu jenjang SMA pada 2008. 


Kendati begitu, pemerataan pendidikan masih jadi pekerjaan rumah hingga sekarang. Problemnya bukan hanya karena tidak tersedianya fasilitas, sarana, dan prasarana di daerah-daerah terpencil dan terluar, tapi juga ketersediaan guru. Menurut Iman, program Sekolah Rakyat yang kini diupayakan pemerintah juga tidak menyelesaikan problem itu lantaran Sekolah Rakyat juga pasti membutuhkan tenaga pendidik yang jumlahnya banyak, di mana Mensos Syaifullah Yusuf menjanjikan gajinya minimal sesuai UMR (upah minimum regional). 


“Seleksi PPPK banyak guru yang belum diangkat, lalu masalah guru honorer yang ada nasibnya belum selesai, ini pemerintah mau bikin sekolah lagi. Ini kan paradoks ya. Tidak menyelesaikan satu masalah tapi memunculkan suatu rencana baru. Sementara Pak Prabowo tanggal 25 November (2024) menjanjikan tambahan pengasilan kepada guru-guru honorer berkisar Rp300-500 ribu, itu saja belum dikasih. Ini kan masalah dan belum diselesaikan tapi pemerintah sudah bikin Sekolah Rakyat. Nah ini yang kami kira akan tumpang tindih di masa depan,” tukas Iman.*

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
bottom of page