top of page

Sejarah Indonesia

Slamet Bratanata Di Balik Petisi 50

Slamet Bratanata di Balik Petisi 50

Semasa menjabat menteri pertambangan, Slamet Bratanata berkonflik dengan Ibnu Sutowo yang menyebabkannya didepak oleh Soeharto. Berselang tahun kemudian, Slamet jadi oposisi rezim Orde Baru dalam kelompok Petisi 50 dan konseptor pernyataan keprihatinan.

21 Mei 2025

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Ali Sadikin dan Slamet Bratanata, dua orang tokoh Petisi 50. (Tempo).

DOKUMEN Pernyataan Keprihatinan kelompok Petisi 50 adalah relik sejarah perlawanan terhadap rezim otoriter Orde Baru. Dalam Petisi 50 tampil sejumlah pemuka negeri, mulai dari pejuang Angkatan 45, tokoh politik, hingga cendekiawan muda. Oposisi itu bermula dari penolakan tegas mereka terhadap tafsir sepihak Presiden Soeharto atas Pancasila dalam pidatonya yang sekaligus mengancam siapa saja yang hendak merongrong Pancasila.


“Mengingat pemikiran-pemikiran yang terkandung dalam pidato-pidato Presiden Soeharto adalah unsur yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan pemerintahan negara ini dan pemilihan umum yang segera akan berlangsung, kami mendesak para wakil rakyat di DPR dan MPR untuk menanggapi pidato-pidato Presiden pada tanggal 27 Maret dan 16 April 1980,” demikian maklumat penutup dari Petisi 50.


Isi pernyataan keprihatinan itu terpublikasi pada Mei 1980. Setelah diketahui asal pernyataan datang dari kelompok Petisi 50, Presiden Soeharto dikabarkan begitu muntab. Sosok di balik konsep Pernyataan Keprihatinan Petisi 50 sempat menjadi pertanyaan. Siapa penyusun dan perumusnya menyasar ke beberapa nama.


Menurut A.M Fatwa, mantan Panglima Kopkamtib Laksamana Soedomo pada pertengahan 1993 menuding dirinya dan Anwar Harjono sebagai penyunsup konsep pernyataan. Anwar Harjono tokoh Partai Masjumi yang juga salah satu pendiri Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII). Sementara Fatwa, salah satu penandatangan Petisi 50 dari kelompok muda yang pernah menjadi pegawai negeri Pemda DKI Jakarta dan kenal dengan Ali Sadikin. Baik Anwar maupun Fatwa sama-sama membantah tuduhan Soedomo. Anwar menyatakan tidak turut serta dalam penyusunan konsep dan tidak tahu siapa yang sebenarnya bertanggung jawab atas itu.


Ali Sadikin yang dikenal vokal dan disebut-sebut pentolan Petisi 50 juga menolak tudingan Soedomo. Ali sendiri enggan mengklaim dirinya sebagai pencetus konsep Pernyataan Keprihatinan. Menurut Bang Ali, konsep Pernyataan Keprihatinan merupakan kompilasi pendapat yang disampaikan peserta diskusi. Bantahan senada dikemukakan juga oleh tokoh Petisi 50 lainnya, Ir. Slamet Bratanata.


Belakangan, setelah bebas dari penjara atas kasus Peristiwa Tanjung Priok, Fatwa menyingkap peran penyusun konsep Penyataan Keprihatinan Petisi 50. Dalam otobiografinya, Fatwa membuka rahasia siapa sebenarnya penyusun konsep Pernyataan Keprihatinan Petisi 50. Orang itu ialah Ir. Slamet Bratanata, mantan menteri pertambangan di awal Orde Baru (1966—1967).


Sebelum Petisi 50, Slamet Bratanata terlibat dalam FKS (Fosko) Purnayudha, sebuah lembaga komunikasi dan studi purnawiarawan Angkatan Darat. Dalam forum tersebut, Slamet Branata kerap diundang berdiskusi sebagai tokoh sipil berpengalaman. Bersama para jenderal pensiunan AD itu, Slamet kerap membincangkan keadaan negara, termasuk soal pidato kontroversi Presiden Soeharto. Masukan-masukan Fosko yang dilaporkan kepada Soeharto dirasa cukup mengganggu bagi presiden. Oleh karenanya pada Februari 1980, tiga bulan sebelum Petisi 50, forum tersebut kemudian dibubarkan.


“Ia (Slamet Bratanata) menyusun konsep itu setelah mendengar diskusi peserta rapat pertama yang diadakan FKS Purna Yudha,” terang Fatwa dalam Autobiografi A.M. Fatwa: Untuk Demokrasi dan Keadilan.


Slamet Bratanata seorang teknokrat jebolan ITB yang pernah menjabat menteri di pengujung masa kepresidenan Sukarno. Sosoknya mulai dikenal setelah menjadi perwakilan pemerintah dalam penandatanganan Kontrak Karya dengan Freeport Mcmoran pada 1967. Inilah cikal bakal eksploitasi besar-besaran perusahaan tambang asal Amerika itu terhadap kekayaan alam di bumi Papua.


Namun, kiprah Slamet Bratanata sebagai menteri pupus memasuki Orde Baru. Slamet didepak dari pemerintahan oleh Jenderal Soeharto yang waktu itu berkedudukan sebagai ketua presidium kabinet. Gesekan itu bermula dari konflik Slamet dengan Dirut Permina (kini Pertamina) merangkap Dirjen Migas di Departemen Pertambangan Ibnu Sutowo.


Menurut mingguan Mahasiswa Indonesia, Slamet dan Ibnu bersitegang mengenai eksplorasi minyak di sepanjang pantai utara Jawa, Kalimantan Selatan dan Timur. Slamet Bratanata menghendaki pelaksanaannya melalui sistem terbuka (open tender). Sementara itu, Ibnu bersikukuh mengadakan tender tertutup terhadap perusahaan minyak asing yang sudah ditentukannya.


“Menteri Pertambangan mengemukakan cara open tender adalah dalam rangka mencapai kembali kepercayaan dunia internasional terhadap Indonesia dan dalam rangka mencegah terjadinya kongkalikong dalam soal pemberian konsesi-konsesi eksplorasi dan konsesi minyak tersebut. Ibnu Sutowo dikabarkan menolak mati-matian gagasan Menteri itu, dan berdaya upaya keras mengundang campur tangan langsung dari Jenderal Soeharto dengan ditempatkannya Dirjen Migas langsung di bawah Ketua Presidium Kabinet,” ulas Mahasiswa Indonesia, Minggu ke-III April 1967.


Nahas bagi Slamet Bratanata. Soeharto lebih berpihak kepada Ibnu Sutowo. Kelak, Ibnu Sutowo melalui keuangan Pertamina dikenal sebagai penyokong dana politik bagi kepentingan Soeharto maupun milter. Slamet pun dipecat dari posisi menteri pertambangan yang baru setahun diembannya. Jabatan menteri tersebut kemudian dialihkan kepada Sumantri Brodjonegoro.


Yang menohok bagi Slamet Bratanata bukan sekadar soal pemecatannya yang bersifat politis. Dia dipecat bersama Menteri Perkebunan Haryasudirja pada Oktober 1967. Majalah Amerika Newsweek edisi 3 Oktober 1967 memuat laporan bahwa Pejabat Presiden RI Jenderal Soeharto membersihkan kabinetnya dari “The Most Corruptives Ministers” (menteri paling korup). Pemecatan Slamet dan Haryasudirja mengindikasikan bahwa aksi bersih-bersih itu ditujukan kepada mereka.


Sementara itu, menurut David Jenkins, penulis biografi Soeharto, isu miring tentang Slamet Bratanata dan Haryasudirja salah alamat dan tidak berdasar. Secara luas diyakini bahwa dua orang ini dipecat bukan karena korupsi. “Mereka mengendalikan dua kementerian yang paling menguntungkan di kabinet tetapi tidak mau membiarkan dana disedot untuk mendukung pengeluaran pemerintah yang meragukan di luar anggaran,” catat Jenkins dalam Young Soeharto: The Making of a Soldier, 1921—1945.


Selepas dari pemerintahan, Slamet Bratanata mendirikan bisnis konsultan pertambangan. Kendati demikian, dia juga tak meninggalkan aktivitas politiknya hingga terlibat aktif dalam Petisi 50 yang lantang menyuarakan kritik dan koreksi terhadap rezim Orde Baru. Nasibnya pun sama seperti nasib kebanyakan tokoh Petisi 50 lainnya yang hidupnya dipersulit pemerintah. Setelah tergabung dalam Petisi 50, perusahaan konsultan milik Slamet Bratanata bangkrut karena tidak ada lagi perusahaan yang berani menjadi kliennya.


Slamet Bratanata wafat pada 5 Juni 1992 dalam usia 64 tahun. Meski sempat menjabat menteri di masa krusial peralihan rezim, dia lebih dikenal sebagai tokoh Petisi 50. Menjelang akhir hayatnya, Slamet menjalani operasi akibat mengidap tumor otak. Namun, harian Bernas, 6 Juni 1992 memberitakan kematiannya “Akibat faktor 'X' alias ada kesengajaan dari luar.”*

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
S.K. Trimurti Murid Politik Bung Karno

S.K. Trimurti Murid Politik Bung Karno

Sebagai murid, S.K. Trimurti tak selalu sejalan dengan guru politiknya. Dia menentang Sukarno kawin lagi dan menolak tawaran menteri. Namun, Sukarno tetap memujinya dan memberinya penghargaan.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
bottom of page