- Petrik Matanasi
- 5 Agu
- 2 menit membaca
JAUH sebelum menjadi raja, pemuda pemberani ini oleh kawan-kawan sekolahnya disapa Raja Afiu. Ia bersekolah di Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) Makassar, sekolah yang mencetak calon pegawai negeri dan dikenal sebagai Sekolah Radja.
Namun, Raja Afiu tak sempat lulus. Pada Agustus 1913, ayahnya meninggal dunia. Dia pun sudah dipanggil pulang sebelum menyelesaikan pendidikannya.
Setelah pulang, Raja Afiu diangkat menjadi kepala distrik. Sempat juga dia menjadi wakil dari raja Muna.
Menurut Sejarah dan Adat FIY Darul Butuni, Buton Volume 3, Raja Afiu kemudian diangkat sebagai sultan Buton ke-36 menggantikan Muh. Ali. Gelar pilihannya Sultan Muh. Syafiul Anaami.
"Pada tahun 1914 La Ode Ahmad meninggal dan jabatan lakina Muna lowong hingga tahun 1919. Pada tahun itu La Ode Afiu, putra La Ode Ahmad, diangkat menjadi lakina Muna. Pada tahun 1922 La Ode Afiu dipilih menjadi Sultan Buton. Tidak ada lakina Muna yang menggantinya, sampai tahun 1926," tulis J. Couvreur dalam Sejarah dan Kebudayaan Kerajaan Muna.
Buton adalah salah satu kerajaan berpengaruh di Indonesia Timur. Oleh karenanya, VOC dan Hindia Belanda sebagai penerusnya merasa perlu bersikap baik kepada kerajaan ini.
Raja Afiu dikenal sebagai raja yang tegas dalam menjalankan pemerintahannya. Dia baik terhadap abdi kerajaan maupun kepada kontrolir Belanda yang bertugas di Buton. Raja Afiu tak ragu menegur kontrolir Belanda yang dianggap tidak benar kerjanya. Raja Afiu bahkan berani melaporkan kepada atasan si kontrolir yang berkantor di Makassar.
Koran-koran Belanda menilai Raja Afiu raja yang baik. Koran Bataviaasch Nieuwsblad tanggal 9 September 1924 dan Deli Courant tanggal 17 September 1924 menyebutnya sebagai raja yang “sangat dihormati. Muda, energik, tegas, dan cerdas, banyak yang diharapkan darinya; ia bersekolah di sekolah yang bagus dan berbicara bahasa Belanda dengan cukup baik.”
Masa depan Buton barangkali penuh harapan ketika di bawah kepemimpinannya. Dan itu bukan tanpa alasan. Sebagai pribadi yang “melek huruf”, Raja Afia mengadakan beberapa perubahan di kerajaannya.
Pada 30 Agustus 1924, Raja Afiu bertemu saudara sepupunya yang kepala Distrik Gu, La Ode Abdul Muizu, di Kampung Waara. Ketika itu Raja Afiu sudah melewati tahun kedua pemerintahannya. Dia sengaja mengunjungi sepupunya itu. Ketika itu, Raja Afiu yang sejak bocah dikenal pemberani dan suka berkelahi ini membawa pistol revolver, yang pergantian pelurunya berputar setelah ditembakan.
Raja Afiu sedang bermain-main dengan pistol yang ada pelurunya itu. Bataviaasch Nieuwsblad dan Deli Courant memberitakan, pistol itu tiba-tiba meletus. Pelurunya mengenai La Ode Abdul Muizu yang sepupu raja itu. Dengan luka parah yang dideritanya, La Ode Abdul Muizu tak tertolong lagi nyawanya.
Alih-alih menutupi kelalaiannya, Raja Afiu sangat merasa bersalah. Tanpa ragu, Raja Afiu pun menghukum dirinya sendiri dengan pistol yang membuat sepupunya terbunuh itu. Sultan Buton pun menembak mukanya sendiri dengan pistol itu.
Sontak setelah kematiannya Raja Afiu mendapat semacam pujian. “Ada sesuatu yang istimewa,” dan “penilaian diri seperti itu jarang terjadi di sini,” demikian koran-koran Belanda menuliskannya.
Hingga hari ini, tindakan menghukum diri sendiri oleh seorang penguasa, apalagi yang tiada sengaja diperbuat, bukan menjadi budaya umum di Indonesia. Apa yang dilakukan Raja Afiu sang sultan Buton ke-36 itu disebut sebagai “pasang diri”.*













Komentar