- Petrik Matanasi
- 22 Jul
- 3 menit membaca
UNTUK ukuran orang kebanyakan di masanya, hidup Abdul Muthalib Sangadji terbilang baik, bahkan amat baik bila dibandingkan umumnya pemuda yang membaca pun belum bisa. Pemuda Sangadji sudah empat tahun bekerja sebagai klerk di Kantor Kontrolir di Saparua, daerah tempat dulu Kapitan Pattimura dan orang-orang Ambon melawan Belanda.
Dari kantor Kontrolir, pemuda lulusan SMP kolonial, Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Ambon itu kemudian pindah ke kantor residen. Ijazah MULO yang dimilikinya, yang masih merupakan “barang” elite buat mayoritas orang Indonesia di awal abad ke-20, membuatnya cukup dihormati di Saparua.
Sebagai orang terpelajar, Sangadji mengamati perkembangan politik Hindia Belanda. Dia tertarik dengan pergerakan Sarekat Islam dan kemudian bergabung di dalamnya.
Sangadji lalu meninggalkan Ambon, yang baginya seperti keluar dari labirin kehidupan kolonial yang monotan. Dia merantau ke Jawa hingga membuatnya dekat dengan Haji Omar Said Tjokroaminoto dan Haji Agus Salim, dua pentolan Sarekat Islam. Sangadji pun ikut jadi pemimpin di partai massa yang amat diperhatikan pemerintah kolonial itu. Bersama Agus Salim, setelah di luar Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII), Sangadji mendirikan Penjedar di era 1930-an.
“Penjedar dapat digambarkan sebagai gerakan politik yang koperatif, terutama jika dibandingkan dengan Sarekat Islam awal yang memiliki sikap radikal terhadap Belanda,” catat Burhan Magenda dalam East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy.
Sebagai pemuka pergerakan Islam, Sangadji sering berkunjung dari satu kota ke kota lain yang basis Islamnya tumbuh. Dia pandai berpidato sehingga terkenal. Di Jakarta, dia ikut menghadiri Kongres Pemuda II yang melahirkan Sumpah Pemuda.
Namun, sebagai kaum pergerakan, Sangadji tahu betul risikonya. Hidupnya jelas tak selalu nyaman, sebab pengasingan menjadi salah satu resiko yang dihadapinya. Dari Jakarta, Sangadji harus pindah ke Loa Kulu di Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur. Loa Kulu adalah daerah tambang batubara sejak zaman Hindia Belanda yang banyak penduduknya menganut agama Islam sebagaimana Kutai dan Kota Samarinda.

Jauh dari pusat pergerakan nasional tak membuat Sangadji berhenti bergerak. Antara lain dengan mendirikan Balai Pengadjaran dan Pendidikan Rakjat. Sangadji mendapat banyak pengikut di Samarinda pula.
“Ia menjadi titik fokus para nasionalis muda di Samarinda yang merasa beruntung memiliki seorang pemimpin nasional sebagai penasehat,” tulis Magenda.
Semasa pendudukan Jepang, Sangadji tetap berada di Samarinda. Kendati mesti “tiarap”, gemblengan politiknya pada rakyat tetap berlangsung. Setelah Jepang kalah, gerakan perjuangan kemerdekaannya makin diintensifkan. Sangadji ikut memimpin perjuangan melawan Belanda yang hendak kembali menguasai bekas wilayah Hindia Belanda hingga dia ditangkap dan dipenjara.
Sangadji pindah lagi ke Jawa begitu bebas dari penjara. Dia tinggal di Yogyakarta –tepatnya di daerah Jetis, utara perempatan Tugu– yang merupakan ibukota Republik Indonesia. Sangadji lalu aktif di Masyumi. Pemuka Islam asal Ambon yang dijuluki "Jago Tua" ini dikenal juga karena penampilannya yang mirip seperti Tjokroaminoto.
“Pak AM Sangadji satu-satunya pemimpin yang memelihara kumis melintang. Potongan kumis yang menjadi trademark AM Sangadji,” kenang Menteri Agama Saifuddin Zuhri dalam Berangkat Dari Pesantren.
Sangadji dan pemuda Saifuddin Zuhri sama-sama hadir dalam sebuah rapat umum di bulan Maret 1947. De Preanger Bode tanggal 5 Juli 1947 memberitakan, pada awal Juli dirinya ditangkap aparat pendudukan Belanda.
Setelah Belanda menduduki Yogyakarta, daerah Jetis tempat tinggalnya termasuk tidak aman. Tak hanya datang dari tentara Belanda, ketidakamanan juga datang dari orang-orang Indonesia yang berbeda aliran politik. Sangadji yang sudah sepuh itupun diganggu. Nieuwe Courant edisi 27 April 1949 memberitakan, sekitar pukul 02.00 dinihari 19 April 1949, rumahnya disatroni gerombolan pemuda pengacau keamanan yang mirip Gabungan Anak Liar (GALI) di era 1980-an.
“Ia ditembak mati oleh gerombolan pemuda liar di rumah isterinya di Jetis,” catat OI Nanulaita dalam Mr. Johanes Latuharhary, Hasil Karya dan Pengabdiannya.*












Komentar