top of page

Sejarah Indonesia

Tiga Selera Lukisan

Tiga Selera Lukisan Sukarno

Selera Sukarno pada lukisan didasarkan pada jati dirinya sebagai lelaki, pejuang, dan presiden.

Oleh :
4 Oktober 2018

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Lukisan "Markas Laskar di Bekas Gudang Beras Tjikampek" karya S. Sudjojono. (Repro katalog pameran 17:71).

  • Aryono
  • 4 Okt 2018
  • 1 menit membaca

KETIKA Sukarno tengah getol mengoleksi lukisan realisme dan naturalisme, di Eropa sedang berkembang aliran modernisme yang terdapat unsur-unsur abstrak serta kubisme. Lukisan-lukisan yang dikoleksi Sukarno adalah peninggalan masa Romantik yang berkembang di Eropa pada akhir abad 18.


“Kenapa Sukarno bisa tinggal di level Romantik? Padahal di Eropa sedang berkembang pesat modernisme,” tanya kolektor Syakieb Sungkar.


Kurator Mikke Susanto mencoba menjawabnya. “Selera lukisan Sukarno ada tiga. Pertama, dia sebagai laki-laki; Kedua, dia sebagai pejuang; dan ketiga, dirinya sebagai presiden,” kata Mikke dalam acara peluncuran bukunya, Sukarno's Favourite Painters di Gedung Masterpice, Tanah Abang IV, Jakarta Pusat.


Sebagai lelaki, kata Mikke, selera Sukarno pada lukisan perempuan bahkan ada yang telanjang. Sebagai pejuang, Sukarno yang menganggap para pelukis sebagai pejuang, koleksi lukisannya bertema perjuangan, gerilya, mitos lokal, dan pewayangan. Semuanya sebagai bagian untuk memperlihatkan kekayaan bangsa kepada para tamu negara. Dan sebagai presiden, Sukarno memperlakukan lukisan-lukisan bukan hanya sebagai hiasan dinding semata, namun lukisan sebagai alat diplomasi.


Mikke menceritakan dalam suatu pertemuan para pemimpin negara terjadi deadlock. Sukarno menengahi dan mengajak para tamu negara yang berdebat tadi jalan-jalan menikmati koleksi lukisan di istana.


“Nah, saat di depan lukisan perempuan telanjang, mereka berhenti, dan terjadi diskusi tentang masalah yang dibahas tadi. Alhasil, diskusi berjalan cair. Jadi, fungsi lukisan menjadi lebih punya makna,” ujar Mikke.


Sementara itu, krititikus seni Agus Dermawan T. melihat selera Sukarno terhadap lukisan didasarkan pada unsur estetika atau keindahan. Sastrawan Sitor Situmorang pernah menulis tentang selera estetika Sukarno bahwa sesuatu yang indah akan memberikan kenikmatan yang kekal.


Hal itu, menurut Sitor diujarkan Bung Karno dihadapan para penyair. Sitor pun mengelaborasi pendapat Sukarno ini kedalam dunia seni lain, termasuk seni rupa. Jadi, basis itu yang dipakai Sukarno untuk mengoleksi karya seni.*

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
bottom of page