- Laila Amalia Khaerani
- 28 Jun
- 6 menit membaca
Diperbarui: 25 Jul
JIKA berkunjung ke Kota Serang, datanglah ke Umah Budaya Kaujon. Sebuah rumah bersejarah yang punya kaitan erat dengan keluarga Djajadiningrat, keluarga priayi berkedudukan tinggi di masa kolonial. Bangunan dengan arsitektur lama namun masih kokoh ini berlokasi di Jalan Jayadingrat, Lontar Baru, Kota Serang, Banten; sebuah penghargaan atas peran penting keluarga Djajadiningrat dalam sejarah Banten dan Indonesia.
Setelah ditempati keluarga Djajadiningrat, rumah ini sempat gonta-ganti kepemilikan. Hingga akhirnya dikelola oleh Syalita Fawnia Rachman yang kemudian merenovasi, menamainya Umah Budaya Kaujon, dan menjadikannya sebagai pusat kegiatan komunitas seni di Serang.
Kaujon sendiri merujuk pada nama kampung tua yang berada di jantung Kota Serang. Nama Kaujon diambil dari salah satu tokoh masyarakat di wilayah tersebut pada masa kolonial, yakni Ki Uju, seorang kiai yang masih keturunan Kesultanan Banten.
“Awal mula muncul sebutan Kaujon karena menurut warga setempat, lidah dari orang Banten lebih mudah mengucapkan Kaujon dibandingkan Ki Uju sehingga populerlah dengan sebutan kampung Kaujon,” catat Alief Maulana dalam Sejarah Kebantenan Situs-situs di Banten. Makam Ki Uju berada di ujung selatan Kampung Kaujon, di tepi Sungai Cibanten, di dalam sebuah kompleks pemakaman.
“Kelak rumah ini akan menjadi museum dan tempat kegiatan seni. Dari situ, masyarakat yang datang bisa belajar dan tahu sejarah yang pernah ada di Serang,” ujar Syalita.
Berikut beberapa sosok yang pernah menjadi tuan rumah Umah Kaujon.

Hasan Djajadiningrat
Hasan Djajadiningrat pernah tinggal di rumah ini. Tidak diketahui sejak kapan. Kesaksian dari Sindian Isa Djajadiningrat, anak kelima Hasan yang kemudian menjadi Guru Besar Hukum Pajak Universitas Indonesia, menyebutkan bahwa ia lahir di rumah ini tahun 1915.
Hasan Djajadiningrat lahir tahun 1883, anak ketiga dari pasangan Raden Bagoes Djajawinata, bupati Serang (1893-1899) dan Ratoe Salechah. Dia adalah adik dari Achmad Djajadiningrat, bupati Serang (1899-1924) dan bupati Batavia pertama (1924-1929). Hasan menempuh pendidikan di Hoogere Burgerschool (HBS) di Batavia. Saat sekolah di HBS, ayahnya meninggal dunia sehingga dia hidup bersama kakaknya, Achmad.
“Ketika ayahku meninggal dunia, Hoesein baru duduk di kelas satu HBS bersama dengan Hasan, mereka belajar di bawah pimpinan Dr. Snouck Hurgornje.” catat Achmad Djajadiningrat dalam memoarnya.
Di HBS, Hasan berteman dengan Eduard Douwes Dekker, pendiri Indische Partij, yang mendorongnya aktif dalam organisasi pergerakan. Hasan menjadi wakil ketua Indische Partij cabang Banten hingga partai ini dinyatakan ilegal tahun 1913.
Setelah itu dia aktif di Indische Social Democratische Vereeniging (ISDV), yang didirikan oleh seorang marxist Belanda, Henk Sneevliet, pada 1914. Kendati ISDV tak pernah membuka cabang di Banten, Hasan menjadi anggota eksekutifnya.
“Pandangan politik Hasan Djajadiningrat sudah jelas moderat dan tidak jauh beda dengan kaum reformis ‘Etis’ Liberal Belanda. Ia termasuk minoritas reformis di ISDV,” catat Michael C. William dalam Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 126 di Banten.
Pada 1914, Hasan diangkat sebagai salah satu komite adrninistrasi Central Sarekat Islam (CSI) di mana dia karib dengan HOS Tjokroaminoto dan Gunawan. Dua tahun kemudian dia terpilih sebagai ketua Sarekat Islam (SI) di Banten.
Pembentukan SI Banten diinisiasi oleh Raden Goenawan, yang mendapat tugas dari HOS Tjokroaminoto. Dia kemudian berdiskusi dengan Achmad Djajadiningrat, yang saat itu menjabat sebagai bupati Serang. “Kemudian saya usulkan adikku Hasan untuk menjadi pemimpin itu.” catat Achmad. Usulan ini disetujui oleh para penasihat untuk urusan pribumi di Banten.
Hasan memiliki misi untuk memajukan perkumpulan SI dan Umah Kaujon menjadi saksi bisu kepemimpinan Hasan. Di bawah kepemimpinan Hasan, SI Banten berkembang hingga memiliki anggota sekitar 16.000 orang. Demi kemajuan rakyat di bidang pendidikan, SI Banten menerbitkan suratkabar Mimbar dengan Hasan sebagai pemimpin redaksinya. Sementara di bidang ekonomi SI Banten membentuk Koperasi Piroekoen Priboemi dengan Hasan sebagai direkturnya. Koperasi ini menjual dan melelang barang-barang pensiunan bupati dan pejabat Serang.

Hasan memimpin SI dengan sikap moderat. Dia menyeleksi para elite agama yang ingin bergabung dalam organisasinya. Dia cenderung mengutamakan orang-orang yang berpandangan moderat daripada yang berhaluan radikal.
“Hasan memang lebih berhasil dalam menjalankan aktivitasnya sebagai ketua organisasi SI wilayah Banten. Akan tetapi, keberhasilannya itu hanya dalam pembersihan organisasi dari para jawara yang notabene memiliki catatan kriminal,” catat Michael C. Willliam.
Setelah Hasan meninggal dunia pada 1920, SI semakin mendapat sikap represif dari pemerintah. SI melemah. Dukungan semakin menurun dari kalangan priyayi rendah, pegawai, dan guru sekolah. Pada akhir 1919, SI memasuki periode kemundurannya.

Mas Rachman
Setelah Hasan Djajadiningrat meninggal dunia, tidak ada catatan siapa yang menempati rumah ini. Baru pada 1952, rumah ini dibeli oleh Rachman, seorang kepala Sekolah Guru Bawah (SGB) yang dipindahtugaskan dari Tanjungsari, Bogor.
Di Serang, Rachman bertemu dengan Rd. Dewi Soelaehah yang merupakan keturunan dari Nataprawiranegara, seorang asisten wedana di Cikeusal. Dewi Soelaehah juga kakak dari Subaekti, istri dari Sindian Isa Djajadiningrat (anak kelima Hasan Djajadiningrat).
Setelah menikah, Rachman mendapat gelar “Mas”, gelar kebangsawanan atau orang terkemuka di Banten. Setelah menikah, mereka tinggal di seberang Umah Kaujon.
“Dulu sebelum di Umah Kaujon, eyang tinggal di seberangnya. Kemudian saat tahu rumah itu dijual baru pindah ke sana,” ujar Syalita Fawania Rachman, cucu pertama Mas Rachman kepada Historia.ID.
Selain ditempati keluarga Mas Rachman, rumah ini menampung para murid SGB. Murid-murid yang tinggal di sana sekitar 20 orang, berasal dari Cilegon, Pandeglang, dan lainnya.
“Mereka tidur di paviliun belakang dan makan di alun-alun,” ujar Syalita.

SGB adalah sekolah khusus calon guru yang akan mengajar anak-anak sekolah rakyat. Lama pendidikan empat tahun. Mereka memiliki ikatan dinas dengan pemerintah. Setelah lulus, langsung diangkat menjadi pegawai negeri dan mengajar di sekolah.
Sebagai kepala sekolah, Mas Rachman mendorong perkembangan pendidikan. Dia mengadopsi pendidikan Barat dalam mendidik anak dan murid-muridnya seperti nilai kedisiplinan, sikap kritis, dan pendekatan ilmiah.
Selain itu, keluarga Mas Rachman rajin menulis. Bahkan mencatat kegiatan yang mereka lakukan. Beberapa di antaranya masih terawat dan tersimpan dengan baik dalam arsip keluarga. Misalnya, catatan keuangan dan pengeluaran keluarga Mas Rachman.
“Kegiatan mencatat masih diikuti oleh anak cucunya sampai saat ini. Keluarga sayapun masih menerapkan menulis catatan keuangan sampai saat ini,” ucap Syalita.


Kemudian ada juga buku resep masakan yang ditulis oleh Rd. Dewi Soelaehah sekitar tahun 1935. Buku ini berisi 145 resep yang ditulis dalam bahasa Sunda, Indonesia, dan Belanda.
Salah satu resep masakan di buku ini adalah angeun lada yang artinya sayur pedas. Ini makanan khas Banten karena menggunakan bahan daun walang yang hanya bisa ditemukan di Banten. Sedangkan resep yang terdapat percampuran dengan budaya Belanda adalah Bruine boonensoep atau sup kacang Belanda.

Ardania Priljani
Setelah Mas Rachman meninggal tahun 1977, rumah ini dimiliki oleh kelima anaknya sebagai ahli waris. Dalam keseharian, rumah ini ditempati oleh anak ketiga Mas Rachman, Ardania Priljani, bersama suaminya Andi Hikmat. Sedangkan anak-anaknya yang lain tinggal di Jakarta. Selama ditempati oleh Ardania dan suami, rumah dijadikan tempat perkumpulan para pemuda dan warga sekitar.
“Saat ditinggali oleh Tante Ardania dan om Andi, rumah ini sering jadi tempat kumpul warga dalam berbagai kegiatan. Saat itu om Andi adalah ketua RW di wilayah itu,” ujar Syalita.

Otte Juniarto Rachman
Pada 2005, Umah Kaujon dibeli oleh Otte Juniarto Rachman, anak pertama dari Mas Rachman dan Raden Dewi Soelaehah. Otte dikenal sebagai dokter spesialis jantung dan pembuluh darah. Dia pernah menjadi dokter kepresidenan masa Presiden Megawati.
Bagi Otte, rumah ini berperan penting dalam pembentukan karakternya sejak kecil. Di rumah ini, Otte dibekali pendidikan oleh orang tuanya. Dalam hal pendidikan agama, Mas Rachman juga memberikan pendidikan serius kepada anak-anaknya.
“Untuk pendidikan keagamaan dipanggil Ustad Kyai Achmad ke rumah, walaupun ibunda sangat mahir membaca Al Quran,” catat keluarga Otte dalam Buku Kenangan dr. Otte Juniarto Rachman.
Selain itu, Mas Rachman mengajarkan anak-anaknya untuk gemar membaca. Ia suka membelikan buku untuk anak-anaknya, baik fiksi maupun nonfiksi, seperti Habis Gelap Terbitlah Terang dan Don Quixote de la Mancha. Semua itu dikoleksi oleh Otte dan ditata dengan rapi dalam perpustakaan. Otte dan adiknya, Nurjanto Rachman, menyewakannya kepada teman-teman yang datang ke rumah.
“Harga sewa 1 ketip-setalen untuk komik seharga Rp1.5 - 3. Dari penjualan itu, mereka bisa membeli sepatu roda Winchester,” ujar Syalita.


Syalita Fawnia Rachman
Otte Juniarto Rachman menikah dengan Nani Amalia di Bandung tahun 1968. Dari pernikahannya, mereka dikaruniai seorang anak bernama Syalita Fawnia Rachman.
Rumah ini sempat tak terawat, bahkan terkesan terbengkalai. Syalita tertarik mengaktifkan kembali rumah ini. Dia melakukan renovasi tahun 2016 dan memanfaatkan rumah ini sebagai restoran. Pada akhirnya dia memutuskan untuk menjadikan Umah Kaujon sebagai tempat yang memberi manfaat seluas-luasnya.
“Saya merenovasi rumah ini sebagai upaya untuk mengakomodasi berbagai kegiatan kemasyarakatan,” ujar Syalita.
Kini, Umah Kaujon berkembang menjadi pusat kegiatan bagi berbagai komunitas, antara lain bedah buku dan berbagai pagelaran kebudayaan. Umah Kaujon juga akan dikembangkan menjadi pusat budaya dan edukasi bagi berbagai kalangan. Syalita berharap masyarakat Serang mengetahui betapa besar sejarah yang pernah dimliki Serang dan dampaknya bagi sejarah Indonesia.*













Komentar