- Martin Sitompul

- 8 Jul
- 3 menit membaca
KOLONEL Zulkifli Lubis tak tampak di Istana Merdeka pada 27 Juni 1955. Padahal, sebagai pejabat KSAD sementara, Lubis mestinya hadir untuk serah terima jabatan dengan koleganya Kolonel Bambang Utoyo. Serangkaian keganjilan kemudian mewarnai proses pelantikan Bambang Utoyo sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Dari Istana Merdeka, tempat pelantikan lantas dipindahkan ke aula Istana Negara.
Seperti Lubis, tiada seorang pun perwira teras markas besar AD maupun panglima teritorium yang datang menghadiri acara pelantikan pimpinan mereka itu. Korps musik untuk mengiringi acara pelantikan bahkan harus didatangkan dari Dinas Pemadam Kebakaran. Menurut harian Indonesia Raya, Lubis bertanggung jawab atas aksi boikot tersebut.
“Wakil KSAD Zulkifli Lubis telah mengeluarkan instruksi kepada segenap anggota Angkatan Darat untuk tidak menghadiri pelantikan KSAD Bambang Utoyo,” demikian diwartakan Indonesia Raya.
Atas tindakannya itu, Lubis kemudian diskors dari jabatannya oleh pemerintah. Dalam keterangannya kepada pers, Lubis mengatakan penolakannya terhadap Bambang Utoyo bukanlah perkara ambisi pribadi. Timbang terima dengan Bambang Utoyo tidak dapat diterima karena bertentangan dengan isi Piagam Yogya yang mengatur kriteria pimpinan AD. Untuk itulah Lubis terpaksa menempuh langkah insubordinasi demi keutuhan Angkatan Darat.
“Kita sudah cukup toleransi. Kepada pemerintah telah berkali-kali diajukan syarat-syarat pengangkatan KSAD yang sesuai dengan kehendak rapat perwira di Jogja, akan tetapi pemerintah tidak memperhatikan. Dalam hal ini kita akan memegang sikap untuk memelihara keutuhan Angkatan Darat,” kata Lubis dikutip harian Pemandangan, 28 Juni 1955.
Di kalangan petinggi Angkatan Darat, pengangkatan Bambang Utoyo jadi isu sensitif. Dari segi senioritas, sosok perwira kelahiran Tuban, Jawa Timur, 20 Agustus 1920 ini dianggap belum mumpuni untuk memangku posisi itu. Hal lain lagi berkaitan dengan kondisi cacat pada fisiknya. Tangan kanan Bambang Utoyo tidak sempurna karena bekas amputasi semasa perang mempertahankan kemerdekaan di Palembang.
Bambang Utoyo sendiri mafhum, penunjukkan dirinya sebagai KSAD menuai kontroversi. Meski sudah memperkirakan bakal dirundung, aksi boikot saat pelantikan dirinya tentu terasa memalukan sekaligus memilukan. Namun, Bambang Utoyo tetap taat pada putusan pemerintah, dalam hal ini Menteri Pertahanan Iwa Kusumasumantri.
“Lebih baik een moelijk begin (awal yang sulit). Satu percobaan dan ujian mesti diterima dengan tertawa,” kata Bambang Utoyo dalam Indonesia Raya, 28 Juni 1955.
Setelah resmi menjabat KSAD, Jenderal Mayor Bambang Utoyo mengeluarkan perintah hariannya untuk memecat Lubis. Namun, kekisruhan soal pucuk pimpinan AD itu telah menjalar ke parlemen. Mosi tidak percaya di parlemen diikuti dengan pengunduran diri Menteri Iwa hingga menjatuhkan Kabinet Ali Sastroamidjojo pada Juli 1955. Begitu juga tuntutan dari kalangan perwira AD untuk memulihkan kedudukan Zulkifli Lubis.
Dalam Senarai Kiprah Sejarah Jilid 2 yang dinukil dari wawancara Lubis dengan majalah Tempo, 29 Juli 1989, Lubis menyebut Bambang Utoyo menjabat KSAD sebagai simbolis. Waktu itu disepakati –supaya jangan terlalu banyak ikut campur politik– jangan sampai Bambang Utoyo memasuki markas besar AD. Desas-desus kemudian bertiup kencang bahwa Lubis hendak mencelakai Bambang Utoyo.
“Tidak betul saya mengancam mau menembak Bambang Utoyo. Mengapa saya menolak Bambang Utoyo? Soalnya bukan karena Bambang Utoyo, tapi karena soal Kabinet Ali Sastroamidjojo yang terlalu memolitisir keadaan. Piagam Yogya menghasilkan beberapa rumusan, termasuk personalia. Di situ disebutkan, orang yang sehat badan, pikiran, dan wataknya, serta berpengalaman,” terang Lubis.
Menurut Lubis, sewaktu dirinya menjadi pejabat KSAD, Jenderal Mayor yang menjabat KSAD sudah berhenti. Begitu pula Bambang Utoyo yang sebelumnya telah mengajukan permohonan pensiun dengan alasan kesehatan. Dia membuat surat resmi minta berhenti karena tidak tahan dengan penyakit diabetes yang dideritanya. Sementara itu, Iwa Kusumasumantri ada minat untuk mengangkat Bambang Utoyo jadi KSAD, di samping Panglima Jawa Tengah Kolonel Bachrum.
“Saya menantang Pak Iwa, karena dia seolah-olah seperti dagang sapi. Di sana janji, di sini janji, untuk jadi KSAD. Termasuk Bachrun dan Sudirman,” beber Lubis, “tapi kemudian, oleh Pak Iwa dan Ali, dia (Bambang Utoyo) dipaksa menerima jabatan itu. Padahal, dia tidak mau menerima. Jadi, yang saya hadapi bukan Bambang Utoyo-nya, tapi Kabinet Ali."
Menurut sejarawan Saleh As'ad Djamhari, masalah KSAD kemudian berlanjut ke kabinet pengganti Kabinet Ali, yaitu Kabinet Burhanuddin Harahap. Untuk menyelesaikan persoalan itu, pemerintah mengambil kebijakan yang disesuaikan dengan Piagam Yogya. Sidang kabinet pada 25 Oktober 1955 membahas calon-calon KSAD yang diajukan oleh AD, yakni: Kolonel Maludin Simbolon, Kolonel Zulkifli Lubis, Kolonel Alex Kawilarang, Kolonel Djatikusumo, dan Kolonel Abdul Haris Nasution.
“Setelah kabinet membahasnya selama tiga malam berturut-turut, Menteri Pertahanan yang dirangkap oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap mengangkat Kolonel A.H Nasution sebagai KSAD di antara calon-calon yang diajukan,” catat Saleh dalam Ichtisar Sedjarah Perdjuangan ABRI (1945—sekarang).
Pengangkatan Nasution sebagai KSAD secara resmi diumumkan oleh Perdana Menteri Burhanuddin pada 28 Oktober 1955. Pada 7 November 1955, Nasution diangkat kembali sebagai KSAD untuk yang kedua kalinya dan pangkatnya dinaikkan menjadi jenderal mayor. Sementara itu, Lubis benar-benar dipecat pada tahun berikutnya seiring keterlibatannya dalam gerakan daerah PRRI-Permesta bersama dengan Kolonel Simbolon dan Kolonel Kawilarang.*













Komentar