Hasil pencarian
9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- KPK Melawan DI/TII
SEPULANG dari Bandung menuju Jakarta, Idham Chalid, Ketua I PBNU, menginap di Puncak. Tiba-tiba gerombolan DI/TII menembakinya dari arah perbukitan. Dia tiarap di kolong ranjang. Untungnya, segera datang bantuan tentara dari Cipanas. Kontak senjata berlangsung berjam-jam. Malam menjadi bising karena desingan peluru. Mereka lari menjelang subuh dengan menderita banyak korban jiwa dan luka-luka. Di pihak tentara juga ada yang terluka. Pengalaman lain yang dialami Idham ketika naik kereta api menuju Jawa Timur. Dia ditembaki gerombolan DI/TII antara Gambir dan Pegangsaan. Beruntung peluru hanya mengenai ujung kopiah ajudannya, H. Djumaksum. “Sasaran tembakan pastilah saya, menteri yang mengurusi keamanan,” kata Idham dalam biografinya, Tanggungjawab Politik NU dalam Sejarah. Dari 24 Maret 1956 hingga 9 April 1957, Idham menjabat Wakil Perdana Menteri merangkap Kepala Badan Keamanan. Salah satu perhatian utama Kabinet Ali Sastroamidjojo II itu adalah pemulihan keamanan dari DI/TII di Jawa Barat, Jawa Tengah, Aceh, dan Sulawesi Selatan. “Tugas saya yang paling berat adalah menghadapi gerombolan yang membawa dalil-dalil agama Islam, yaitu Darul Islam Kartosuwiryo di Jawa Barat, Ibnu Hadjar di Kalimantan Selatan, Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan, dan Tengku Daud Beureueh di Aceh,” kata Idham . Menurut Idham, DI/TII merugikan Islam. Banyak umat Islam yang menjadi korban kekejaman mereka. Mungkin di Aceh tidak terjadi perbuatan seperti di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan di mana gerombolan DI/TII membakar madrasah dan masjid yang tidak sependapat dengan mereka. “NU yang dianggap sebagai pengkhianat Islam karena keluar dari Masjumi juga dianggap musuh utama DI/TII. Mereka menganggap NU membantu Republik Indonesia Kafir (RIK). Apalagi salah seorang ketuanya menjadi wakil perdana menteri yang memegang urusan keamanan. Beberapa orang pimpinan cabang NU di Jawa Barat dibakar rumahnya oleh DI/TII, bahkan ada yang ditembak mati. Suatu rapat NU pernah diserang mereka,” kata Idham. Sejarawan Cornelis van Dijk mengungkapkan bahwa pada Juli 1953 DI/TII melancarkan aksi serentak. Komandan DI/TII di Ciamis Selatan, Uchjan Effendi, memerintahkan pasukannya meningkatkan aksi untuk mengacaukan musuh. Mereka melakukan tindakan apa pun untuk membuat kekacauan. “Angkatan Kepolisian Negara Islam, misalnya, ditugaskan untuk menghukum warga yang tidak sepakat dengan Darul Islam. Uchjan juga memberikan perintah kepada masing-masing satuan Angkatan Kepolisian yang beroperasi pada tingkat kecamatan. Mereka ditugaskan untuk membunuh paling sedikit satu orang warga dan membakar paling sedikit lima bangunan yang didirikan pemerintah Republik dalam waktu dua minggu. Ancamannya, bila ada anggota yang gagal melakukan aksi ini akan dituntut secara hukum,” tulis Van Dijk dalam Darul Islam: Sebuah Pemberontakan. Dalam menghadapi DI/TII, Idham melibatkan para kiai. Dia membentuk KPK (Kiai-Kiai Pembantu Keamanan) yang diketuai KH Muslich dari Jakarta. Anggotanya ditunjuk satu orang dari masing-masing wilayah di mana terdapat DI/TII. Khusus untuk Jawa Barat sebagai daerah yang paling luas dikuasai DI/TII, KPK menunjuk dua orang wakil yaitu KH Dimyati (Ciparai) dan Moh. Marsid. Anggota KPK lainnya antara lain KH Baidowi Tafsir (Jakarta), KH Malik (Jawa Tengah), KH As’ad Syamsul Arifin (Jawa Timur), KH Ahmad Sanusi (Kalimantan), KH Zahri (Lampung), KH Jusuf Umar (Sumatra Selatan), KH Kahar Ma’ruf (Sumatra Tengah), Tengku Mohammad Ali Panglima Pulen (Aceh dan Sumatra Utara), dan KH Abdullah Joesoef (Sulawesi). “Mereka dengan sungguh-sungguh melaksanakan panggilan kewajibannya sebagai seorang Islam dan warga negara untuk berbicara dengan rakyat tentang kesadaran mematuhi ajaran agama dan hidup bernegara,” kata Idham. Mereka menghubungi para kiai di daerah masing-masing untuk menyampaikan kesadaran itu karena gangguan keamanan yang berlarut-larut merugikan negara dan rakyat. Mereka melakukan kegiatannya melalui pengajian atau kegiatan lainnya. Panglima-panglima militer di daerah gembira dengan adanya KPK. Dalam setiap peninjauan maupun operasi militer mereka selalu mengikutsertakan KPK. Di daerah yang berhasil dikuasai, sang kiai memberikan ceramah kepada rakyat. Mereka juga memberikan penyadaran kepada anggota gerombolan DI/TII yang menyerah. “Mereka sama sekali tidak diganjar dengan nilai penghasilan tertentu, tetapi hanya mendapat sekadar uang jalan dan uang saku,” kata Idham. “Jasa kiai-kiai pembantu keamanan tidak bisa saya lupakan.”*
- Teknokrat Olahraga dalam Riwayat (Bagian I)
NAMANYA tak dikenal luas. Padahal, perannya begitu besar di balik sejumlah prestasi monumental olahraga Indonesia. Maklum, Mangombar Ferdinand Siregar bukan pelatih apalagi atlet. Namun di antara para stakeholder olahraga nasional, ia salah satu teknokrat olahraga paling dihormati. Hingga kini namanya tenggelam lantaran terbilang langka media-media nasional yang mengulas. Sayup-sayup terdengar lagi namanya saat media-media ramai memberitakannya wafat, 3 Oktober 2010. Pun begitu, generasi milenial setidaknya akan “berkenalan” dengannya lewat film bertema biopik olahraga, Susi Susanti: Love All garapan sineas Sim F. Di film yang akan tayang 24 Oktober 2019 itu, sosok Siregar diperankan Lukman Sardi. Siregar merupakan sosok besar di balik sukses Susy Susanti dan Alan Budikusuma mempersembahkan dua medali emas pertama buat Indonesia di olimpiade (Barcelona, 1992). Sebelumnya sang teknokrat juga turut terlibat dalam sukses negeri di Asian Games 1962. Dalam bergulirnya zaman, ia juga tokoh di balik viralnya panji olahraga dan seruan: “Memasyarakatkan Olahraga dan Mengolahragakan Masyarakat”. Di Garis Belakang Tujuh belas hari sebelum Persija berdiri, Siregar dilahirkan di Kwitang, Jakarta pada 11 November 1928. Sebagai anak pegawai Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM), perusahaan pelayaran Belanda, Siregar kecil menikmati pendidikan bermutu di Christelijke Idenburgh School. Semasa bocah, Siregar menyenangi banyak olahraga. Sofbol, sepakbola, dan renang paling digandrunginya. Namun, kepada olahraga air itulah hati Siregar akhirnya berlabuh. Dia sering bolos sekolah Minggu hanya untuk memuaskan diri berenang bersama teman-temannya di Kanal Banjir Barat maupun di Pantai Zandvoort (kini Sampur, Cilincing). Suatu ketika, ia nyaris kena petaka di lepas pantai itu. “Saya berenang agak ke tengah. Tiba-tiba sudah terbawa gelombang. Sebetulnya sudah tenggelam. Namun saya tidak panik. Saya injak-injak tanah saja, terus kan muncul. Lalu melambaikan tangan sampai ada yang menolong,” kenang Siregar, dikutip Brigitta Isworo Laksmi dan Primastuti Handayani, dua jurnalis senior yang merangkai biografi Siregar, Matahari Olahraga Indonesia. Sebagaimana para tokoh di masanya, pendidikan Siregar sempat terganggu di masa peralihan dari kolonialis Belanda ke pemerintahan militer Jepang. Pendidikannya di Van Lith School selepas lulus dari Christelijke Idenburgh terhenti. Namun, statusnya sebagai “anak negeri” membuatnya bisa meneruskan pendidikan ke sekolah Jepang Dai Ichi/Dai Ni. Namun, ia tak bisa sering beraktivitas olahraga lantaran sebagai pelajar ia acap dikenakan kinrohoshi alias kerja bakti. Pasca-Perang Dunia II, kawan-kawannya semasa di sekolah Belanda memilih ikut NICA (Nederlands Indisch Civil Administratie), sedangkan Siregar pilih pro-republik dengan jadi sukarelawan Palang Merah Indonesia (PMI). Pun begitu, Siregar tetap berhubungan baik dan turut mengambil faedahnya. “Di usia sekitar 15 tahun saya dan banyak pemuda lain, di antaranya Chairil Anwar, bergabung dengan PMI. Kami pernah bertugas mengirim, secara ilegal, senjata dan obat-obatan ke Yogyakarta dari Jakarta dengan keretaapi. Bekerjasama dengan orang Ambon anggota NICA menyuplai senjata untuk pihak pribumi,” terang Siregar dalam Guru-Guru Keluhuran: Rekaman Monumental Mimpi Anak Tiga Zaman . Siregar dan kawan-kawannya mendapatkan suplai obat-obatan dan persenjataan itu dari teman-teman lamanya yang memilih ikut NICA, terutama para serdadu Ambon di Batalyon X NICA di Pejambon. Barang-barang selundupan itu lazimnya mereka sembunyikan di sela-sela dinding gerbong. Cara itu kerapkali sukses mengelabui pemeriksaan Belanda di Stasiun Kranji. Selain terus melanjutkan sekolahnya di SMA Adam Bachtiar, Siregar juga aktif di Ikatan Pemoeda Peladjar Indonesia (IPPI) Jakarta. Selain itu, dia aktif di Perkoempoelan Renang Tirta Kencana. Di perkumpulan renang itu selain kembali bisa menumpahkan hobi renangnya, Siregar dari rekan-rekannya bisa membuka pintu ke dunia militer. Siregar pun mendaftar mobilisasi pelajar di Bandung. Setelah dilatih militer selama tiga bulan di Sumedang, Siregar lalu dijadikan komandan Corps Polisi Militer (CPM) Pelajar Batalyon III Divisi Siliwangi, di bawah Mayor Ruslan Rusli Soetama. MF Siregar saat bertugas di CPM Pelajar Batalyon III Divisi Siliwangi (Foto: Repro "Matahari Olahraga Indonesia"/Dok. Pribadi MF Siregar) Namun sebagaimana kala jadi anggota PMI, Siregar hampir tak pernah terlibat baku tembak di front terdepan. Tugasnya lebih banyak di garis belakang. Pasukan Siliwangi di Jawa Barat jarang mengirim tentara pelajarnya ke palagan. Siregar lebih sering ditugaskan berpatroli ke wilayah-wilayah seperti Tangerang, Serang, dan Pandeglang. Seusai revolusi, rampung pula pendidikan menengah atasnya. Saat demobilisasi tentara pelajar, Siregar memilih meneruskan sekolah ketimbang melanjutlan karier militer. Di Balik Gelanggang Sebagai “orang olahraga”, sayangnya Siregar tak punya rekam jejak istimewa sebagai atlet. Paling banter, ia mewakili kampusnya Akademi Pendidikan Djasmani (APD) Bandung di Pekan Olahraga Mahasiswa (POM) I di Yogyakarta, 1951. Siregar tampil di dua cabang olahraga. Di sepakbola, ia bermain sebagai gelandang. Di atletik, ia berlaga di kategori lari 1.500 meter, 5.000 meter, dan 10.000 meter, serta 3.000 meter halang rintang. Selepas lulus, ia memilih jalur di belakang gelanggang sebagai ofisial cabang renang dan polo air untuk Asian Games 1954 di Manila, Filipina. Siregar dipilih lantaran sudah malang-melintang mengajar pendidikan jasmani di beberapa kampus dan di Djawatan Angkatan Udara (TNI AU). Meski gagal memetik medali di renang, Siregar bisa berbangga timnya meraih perunggu. Di antara salah satu anggota timnya pun turut serta adiknya, Othman Siregar. Menjelang Asian Games 1962 Jakarta, Siregar “naik kelas” menjadi pelatih kepala cabang renang, polo air, dan loncat indah. Pada persiapan pesta olahraga se-Asia itu pula ia berkesempatan bertatapmuka pertamkali dengan Presiden Sukarno. “Menjelang Asian Games saya ditugasi jadi komandan upacara pengukuhan pelatnas kontingen Indonesia di Bandung. Itulah pertamakali berkesempatan bicara dengan Sukarno. Ketika masih di APD pada eksebisi senam akrobatik, hanya bisa menatap Bung Karno,” tutur Siregar. MF Siregar saat menemani rombongan Presiden Sukarno & istrinya Hartini ke Pelatnas Asian Games 1962 di Bandung (Foto: Repro "Matahari Olahraga Indonesia"/Dok. Pribadi MF Siregar) Siregar sukses mengepalai cabang-cabang olahraga akuatik. Indonesia mendapat satu emas, empat perak, dan enam perunggu. Sukses itu mengantarkannya mendapat kesempatan tawaran pendidikan tinggi lanjutan di Springfield College, Massachusetts, Amerika Serikat berkat kerjasama RI-Amerika. Siregar mengambil program master jurusan Physical Education dan lulus pada 1964. “Proses pengajaran di sana mengutamakan kepentingan dan kebutuhan manusia. Itu sangat cocok dengan visi Bung Karno yang berambisi menjadikan manusia Indonesia sebagai manusia yang unggul yang diharapkan bangsa ini,” imbuhnya. Sekembalinya ke Tanah Air, Siregar balik mengurusi Persatuan Renang Seluruh Indonesia (PRSI) sebagai kabid pembinaan. Ia juga dipercaya Menteri Olahraga R. Maladi menjadi direktur Pembibitan dan Pembinaan Prestasi Direktorat Jenderal Olahraga. Semasa Orde Baru, Siregar sudah menjabat Sekjen Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Pusat. Dia jadi salah satu sosok paling dicari wartawan sehubungan dengan batalnya kontingen Indonesia berangkat ke Olimpiade Moskow 1980. Oleh Menlu Mochtar Kusumaatmadja, Siregar hanya diperkenankan memberi alasan bahwa atlet-atlet Indonesia batal ke Negeri Tirai Besi lantaran persiapan PON 1981. “Selain pernyataan tersebut, saya hanya boleh menjawab ‘no comment’ untuk pertanyaan lain, apalagi yang menyangkut pemboikotan. Saya sampai keringat dingin,” ujar Siregar. (Bersambung)
- Kutai di Era Hindia Belanda
RENCANA pemindahan ibu kota akhirnya disiarkan.Dalam keterangan pers di Istana Negara (26/8), Presiden Joko Widodo menyebut jika serangkaian kajian telah dilakukan untuk menetapkan Kalimantan Timur sebagai ibu kota baru Republik Indonesia. “Hasil kajian-kajian tersebut menyimpulkan bahwa lokasi ibu kota baru yang paling ideal adalah di sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian di Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur,” ungkap Jokowi. Sebenarnya wilayah Kutai telah lama menjadi sorotan. Sejak masa pemerintahan Hindia Belanda, salah satu daerah di Kalimantan Timur ini menjadi bagian penting dari rencana menguasai Nusantara yang diusung pemerintah kolonial. Kutai tak pernah luput dari perhatian. Usaha Kolonisasi Kontak pertama orang-orang Belanda dengan Kutai terjadi pada 1635. Saat itu Kerajaan Belanda mengirim 5 kapal pimpinan Gerrit Thomassen Pool ke Kutai. Mereka berhasil menjelajahi Sungai Mahakam sebelum kemudian bertemu Raja Kutai. Pada 8 November 1635, pedagang Belanda Pieter Pietersz diutus untuk menghadap Raja Kutai Aji Pangeran Dipati Agung Ing Martapura. Sebagai perwakilan negeri Belanda ia diminta melakukan perjanjian dagang dengan Kerajaan Kutai. “Arti penting diadakannya perjanjian itu untuk Belanda ialah, Kutai yang tadinya tidak begitu dikenal sekarang menjadi relasi dalam dunia perdagangan,” terang Amir Hasan Kiai Bondan dalam Suluh Sedjarah Kalimantan . Hubungan antara Kalimantan dengan Belanda sempat terputus sangat lama pada 1638 ketika Banjarmasin menyerang benteng Belanda dan membunuh ratusan tentaranya. Pemerintah Belanda pun memutuskan untuk melupakan niat menguasai Kutai. Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada1673, sebuah ekspedisi dari Belanda kembali dikirim ke Kutai. Para pejabat kolonial berencana kembali menjalin hubungan baik dengan Raja Kutai. Namun mereka disambut dengan dingin. Tidak ada satupun penguasa yang berencana menerima kedatangan Belanda di negerinya. Ekspedisi-ekspedisi selanjutnya juga masih mengalami kegagalan. Namun bukan Belanda namanya jika menyerah begitu saja. Berdasarkan laporan ekspedisi pejabat van Heys tahun 1675, yang dikutip Anwar Soetoen dkk dalam Dari Swapraja ke Kabupaten Kutai , diketahui bahwa kerajaan Kutai tengah berkonflik dengan kerajaan-kerajaan di sekitarnya. “Keadaan itu akan mempermudah Belanda untuk mengadakan politik adu domba antara satu kerajaan dengan kerajaan yang lain di Kalimantan Timur,” tulis Anwar. Benar saja, pada 1756 Kutai mengadakan perjanjian dengan pejabat kolonial. Saat itu Sultan Kutai direpotkan dengan serangan Kerajaan Berau. Belanda pun menawarkan perlindungan dan berjanji akan membantu meredam serangan Berau. Namun perjanjian itu tidak serta merta membuat Belanda mudah menguasai Kutai. Rakyat masih belum membuka akses untuk Belanda. Upaya menaklukan Kutai pun terpaksa ditunda. Kesempatan yang dinanti para pejabat Belanda akhirnya tiba. Perselisihan di Kesultanan Banjar tahun 1787, antara Pangeran Tamjidillah II dengan Pangeran Amir, memberi jalan untuk Belanda turut campur di dalamnya. Tamjidillah II yang hampir mengalmi kekalahan akhirnya meminta bantuan militer kepada Belanda. Alhasil perjanjian yang mengikat pun harus diterima sebagai konsekuesinya. Di dalam perjanjian tersebut, Kutai ikut digadaikan bersama wilayah lain yang menjadi bagian dari Banjarmasin. Kutai sendiri kekuasaannya telah direbut oleh Banjar sejak abad ke-17. Dalam bukunya, Anwar Soetoen juga disebutkan Belanda bukanlah satu-satunya bangsa Eropa yang menginginkan daerah Kutai. Pihak Inggris juga berlomba menanamkan pengaruhnya di sana. “Daerah Kutai hanya secara de jure saja dikuasai oleh Banjarmasin, Belanda, dan Inggris. Nyatanya waktu perjanjian-perjanjian itu diadakan, tidak ada petugas-petugas yang secara langsung ditempatkan di Kerajaan Kutai. Sehingga dapat dikatakan bahwa Kerajaan Kutai berkembang sendiri, dan tidak mengakui pengaruh Banjarmasin,” jelas Anwar. Belanda baru secara resmi berkuasa atas Kutai pada 1825. Dalam catatan seorang peneliti Leiden, C.A. Mees, De Kroniek van Koetai dijelaskan bahwa saat itu Sultan Muhamad Salehudin (1780--1850) membuat kontrak dengan pemerintah kolonial. Isinya antara lain mengakui pemerintahan Belanda sebagai yang dipertuan di negeri Kutai. Selain itu, Belanda juga diberi kebebasan di dalam urusan pengadilan, bea cukai segala jenis perdagangan, pajak orang-orang Tiongkok, dan aturan pajak pertambangan. "Sejak saat itu diangkatlah seorang civiel gezag hebber bernama H. van Dewall," tulisnya Membangun Potensi Kehadiran pemerintah Hindia Belanda di Kutai tidak melulu soal kerugian. Kedatangan mereka membuka peluang bagi Kutai untuk menaikkan pendapatan ekonominya. Hasil alam yang begitu melimpah di tanah Kalimantan belum dimanfaatkan dengan maksimal oleh rakyat Kutai. Sehingga ketika Belanda datang kesempatan mengeksplorasi wilayah potensial di Kutai mulai terbuka. Melalui perjanjian yang ditandatangani pada 9 Desember 1882, pemerintah kolonial berhak membuka area pertambangan dan minyak tanah di beberapa titik di wilayah Kutai. Durasi perjanjian itu cukup panjang, yakni 75 tahun, dengan berbagai syarat yang disetujui oleh kedua pihak. Sebagai gantinya, penguasa Kutai Sultan Muhammad Sulaiman menerima uang sewa tanah dan cukai dari setiap liter minyak yang diambil pemerintah Belanda. Perusahaan pertambangan batu bara milik Belanda mulai berjalan pada 1888. Sementara perusahan minyak tanah yang dikepalai J.H. Menten beroperasi setahun kemudian. “Penghasilan berlimpah yang diterima oleh kerajaan dipergunakan sebaik-baiknya untuk memperkaya Kerajaan Kutai. Boleh dikatakan barang-barang milik kerajaan sekarang dihasilkan pada masa itu. Seperti mahkota raja yang terbuat dari 3 kilogram emas murni,” tulis Amir. Selain membuka area pertambangan, pemerintah Belanda juga membeli hasil-hasil hutan kepada raja. Harga pembeliannya pun terbilang tinggi, hampir sama dengan pedagang pada umumnya. Menurut data milik pemerintah Belanda di Kutai yang dimuat Kudungga vol IV , barang-barang dari Kutai itu nantinya akan dijual ke luar negeri, salah satunya Singapura. “Keadaan ini menimbulkan kegairahan bekerja yang tiada taranya di kalangan rakyat, yang dengan giat mengumpulkan hasil-hasil hutan dan memajukan pertanian karena mereka mendapat dorongan dari sultannya sendiri. Usaha mana sedikit banyaknya dapat memberikan kemakumaran bagi rakyatnya,” ungkap Anwar.
- Alunan Gamelan Memikat Komponis Amerika
Dalam suatu kunjungan di Jawa, seorang komponis Amerika Serikat, Henry Eichheim menghadiri perayaan ulang tahun Pakubuwana X pada 29 November 1927. Perayaan itu dimeriahkan oleh tari srimpi dan pertunjukan gamelan selama tujuh jam. Pertunjukan itu membuat Eichheim takjub dan menyebutnya sebagai, “pengalaman musikal paling memikat yang pernah saya miliki.” Henry Eichheim adalah komponis, konduktor dan violinis Amerika Serikat yang lahir di Chicago pada 1870. Eichheim memulai karir musiknya sebagai violinis di Boston Symphony Orchestra dan sebagai pianis dalam The Eichheim Trio. Ia melakukan lima kali perjalanan ke Asia antara tahun 1915 hingga 1937. Karya pertamanya berdasar musik Asia ialah Oriental Impressions (1918-1922). Yang dibuat untuk istri yang sekaligus merupakan pianisnya ketika tur. Karya tersebut merupakan komposisi melodi Korea, China, Jepang dan Thailand yang ia kumpulkan dalam perjalanan ke Asia pada 1915 sampai 1916 dan 1919. Eichheim pertama kali mengunjungi Jawa ketika melakukan tur tujuh bulan di Asia pada 1922. Di Jawa, sebagian besar waktunya ia habiskan di Yogyakarta, di mana ia dan istrinya menonton wayang wong atau wayang orang, mendengarkan gamelan, dan menghadiri pernikahan kerajaan di keraton. Dalam perjalanan itu, Eichheim membuat Malay Mosaic yang ditulis pada 1924 dan dipertunjukan perdana pada International Composer’s Guild di New York tahun 1925. Kata ‘Malay’ digunakannya sebagai semacam steno untuk Asia Tenggara. Karya ini menggabungkan tema Jawa dan Burma (Myanmar). “Eichheim merupakan komposer pertama Amerika yang mengkombinasikan instrumen musik Barat dengan gamelan,” kata Matthew Isaac Cohen dalam Gamelanesque effects: musical impressions of Java and Bali interwar America. Eichheim kemudian menghabiskan waktu selama tiga bulan di Jawa dalam perjalanannya ke Asia tahun 1927 hingga 1928. Kala itu, dia berencana untuk membuat ‘trilogi orkestra’ berjudul Java , Angkor , dan Bali . Dia juga ingin membeli gong Jawa besar untuk ini. Akhirnya, ia membeli gamelan slendro di Solo, lengkap dengan tiga gong. Ia juga membeli sejumlah instrumen dari daerah lain di Nusantara. Saat itu, Eichman ditemani Leopold Stokowski, konduktor Philadelphia Orchestra. Stokowski memang sedang berlibur di Asia Tenggara dan sama seperti Eichheim, ia ingin membawa pulang beberapa instrumen sebagai suvenir. Eichheim juga menghabiskan waktu bersama etnomusikolog Belanda, Jaap Kunst dan J. S. Brandst-Buys. Brandst-Buys membawa Stokowski dan Eichheim untuk menyaksikan pertunjukan lesung yang langka, di mana enam perempuan petani menumbuk padi di dalam lesung yang panjangnya enam atau tujuh meter dengan alu yang berat untuk memisahkan sekam dari beras. Hentakan mereka yang saling terkait menciptakan pola ritme yang berbeda (gejog). Dalam beberapa pertunjukan, para wanita akan bernyanyi dan menari ketika mereka memukul lesung. “Peristiwa folkloristik sederhana ini diperkuat ke dalam pola ostinato (irama yang diulang-ulang) yang ditekankan dan saling bertautan, yang dimainkan fortissimo (suara yang dihasilkan sangat nyaring) oleh orkestra simfoni penuh, dalam pengenalan puisi nada Eichheim, Java ,” kata Cohen. Stokowski dan Eichheim juga menghabiskan beberapa minggu di Bali pada 1928. Kala itu, Bali belum penuh oleh wisatawan. Hanya sekitar 250 turis per bulan datang ke Bali hingga 1930. Tetapi ketenaran dari para pengunjung seperti Charlie Chaplin, Noël Coward, H. G. Wells, Barbara Huton serta ambisi kreatif dan intelektual yang tinggal lebih lama seperti Walter Spies, Margaret Mead, Gregory Bateson dan Beryl de Zoete Miguel Covarrubiad, berkontribusi pada daya tarik pulau itu. “Eichheim tidak menyelesaikan Angkor, tetapi bagian-bagian dari 'trilogi orkestranya' yang ia tulis, Java (1929) dan Bali (1933), adalah dua dari meditasi internasional paling penting dari musik tradisional Indonesia yang digubah hingga saat itu,” sebut Cohen. Kedua karya gamelan itu ditayangkan perdana oleh Philadelphia Orchestra di bawah arahan Stokowski. Cohen menambahkan, “keduanya mendapat skor karena perpaduan orkestra dan instrumen gamelan yang penuh keberanian (dipinjam oleh Stokowski dari koleksi Eichheim), menciptakan palet yang kaya akan suara dan warna.” David Shavit, penulis Bali and the Tourist Industry: A History, 1906-1942 , menyebut karya itu sering di mainkan dan direkam pada 1934 di RCA Victor label. “Stokowski menikmati suara metalik indah yang dihasilkan gamelan, dan memperoleh gong Bali yang ia bawa kembali ke Philadelphia. Eichheim menghafal pengalaman mereka dengan mengarang serangkaian puisi nada pendek, menggunakan sejumlah instrumen gamelan di bagian perkusi orkestra,” kata David. Sementara itu, kritikus musik Olin Downes dalam pertunjukan perdana karya Eichheim menyebut bahwa Eichheim berhasil menghadirkan ‘semangat dan cita rasa yang ada’ dari musik Bali. “Penambahan gong besar dan instrumen perkusi lainnya menghasilkan senoritas dan nada warna yang luar biasa, serta aksen dan ritme. Juga tidak boleh dilupakan, orkestra penuh, bergetar -memamerkan- di depan seluruh komposisi. Penonton menerima musik yang indah dan atmosfer ini dengan persetujuan yang jelas,” ungkap Downes.
- "Sama-Sama Manusia", Partai Politik Orang Papua
ANGGOTA TNI yang melakukan perundungan terhadap mahasiswa Papua di Surabaya akhirnya kena skors . Sebanyak lima orang dibebastugaskan dan menjalani pemeriksaan atas dugaan ujaran rasis. Salah satu aksi perundungan yang sempat viral adalah kelakuan seorang oknum TNI yang meneriaki mahasiswa Papua dengan sebutan "monyet". Mereka akan menjalani penyidikan oleh Polisi Militer Kodam V/Brawijaya untuk kemudian dihadapkan ke Pengadilan Militer. Belajar lagi dari sejarah, kelima anggota TNI tersebut ataupun siapa saja yang menghina orang Papua tiada ubahnya dengan kelakuan orang Belanda di zaman kolonial. Praktik diskriminasi telah berlangsung ketika Belanda menguasai Papua. Sebagai bentuk perlawanan, orang-orang Papua kemudian mendirikan partai politik bernama Sama-Sama Manusia. Partai Sama-Sama Manusia (selanjutnya disingkat SSM) didirikan pada 5 November 1960 di Sorong. Ketua SSM adalah Husein Warwey, wakilnya Luis Rumaropen asal Biak, M. Ongge asal Sentani dan Z. Abaa sebagai sekretaris. Misi SSM adalah kesetaraan bagi orang-orang Papua. SSM berbeda dengan kebanyakan partai politik di Papua saat itu yang lebih berkonsentrasi pada urusan politik. SSM lebih fokus pada urusan ekonomi yang berkaitan langsung dengan kebutuhan masyarakat lokal. Di antaranya seperti persamaan hak dalam pekerjaan, ketentuan cuti yang memadai, dan pemenuhan kebutuhan yang berkeadilan. Menurut sejarawan Universitas Cenderawasih, Bernarda Meteray, ketika Belanda berkuasa terdapat kebijakan pemerintah yang kurang memihak orang Papua. Pegawai Belanda di Papua mempunyai kesempatan lebih banyak hak daripada pegawai lokal Papua. “Hal ini bukan saja terjadi di Sorong tetapi juga di seluruh NNG (Papua, red). Kebijakan ini tidak hanya terjadi pada orang Papua tetapi juga orang Indonesia,” tulis Bernarda dalam disertasinya yang dibukukan Nasionalisme Ganda Orang Papua . SSM juga memperjuangkan masalah kesejahteraan hidup. Ini khususnya menyangkut kebutuhan beras dan gula yang sulit didapatkan di toko-toko saat itu. Justus van der Kroeft dalam jurnalnya “Recent Developments in West New Guinea” termuat di Pacific Affairs , Vol. 34 No. 3, 1961 menerangkan kecurangan yang terjadi. SSM menuntut agar pembagian beras dan gula diukur dengan benar di toko-toko. Bukan dengan kaleng melainkan dengan perhitungan bobot. Dalam gerakan kepartaiannya, SSM juga menjadi prototipe simbol kerukunan umat beragama di Papua. Sebagaimana dicatat sejarawan Belanda Pieter Drogglever dalam Tindakan Pilihan Bebas: Orang Papua dan Penyatuan Nasib Sendiri SSM bersama Persatuan Christen Islam Radja Ampat (Perchisra) menjadi partai di mana mereka yang beragama Islam dan Kristen dapat bekerja sama. Memasuki tahun 1961, SSM mulai terlibat lebih jauh dalam politik. Ketika Belanda menyetujui pendirian partai-partai politik, SSM merupakan satu dari delapan partai yang diakui pemerintah. Dalam jurnalnya Kroeft mengatakan, SSM kadangkala bertindak sebagai juru bicara parta-partai lain melalui manifestonya. Seperti partai orang Papua lainnya, SSM mendeklarasikan bahwa penduduk Papua tidak mempunyai kaitan apapun dengan Indonesia. SSM juga mengharapkan penduduk Papua tetap berada di bawah kekuasaan Belanda hingga memperoleh kemerdekaan sendiri. SSM pun berganti nama menjadi Partai Rakyat. Partai ini kehilangan gaungnya ketika Papua masuk ke dalam Republik Indonesia. Pemerintah Indonesia mencap separatis siapa saja orang Papua yang hendak memerdekakan diri. Sama-Sama Manusia tinggal dalam catatan sejarah. Kendati demikian, diskriminasi masih saja melanda orang-orang Papua.
- Saat Heli Trengginas Diganti Heli Bekas
KENDATI usianya sudah lebih dari 80 tahun, lelaki berambut putih itu masih kuat ingatannya. Kata-kata yang keluar dari mulutnya masih jelas, kalimat-kalimatnya lugas. Mengenakan kaos putih dengan tulisan “Air Force” di dada kiri, perawakannya masih tegap. Kolonel Penerbang (Purn.) Pramono Adam, lelaki itu, masih ingat betul suatu hari saat dia bertugas sebagai komandan Squardron 8 Wings Ops 004. Pimpinan TNI AU memerintahkannya berangkat ke Udorn, Thailand untuk mengambil helikopter Sikorsky UH-34 D Sea Horse buatan Amerika Serikat (AS). “Belum pernah terbangin pesawat itu, belum tau pesawatnya seperti apa, belum pernah latihan, saya disuruh ambil 14 di situ, diangkut ke sini sendiri. Aku mikir, bingung,” ujarnya kepada Historia . Empat belas UH-34 D yang harus diambil Pram, sapaan akrab Pramono, merupakan helikopter yang dihibahkan pemerintah AS kepada pemerintah Indonesia. Hibah itu terjadi menyusul keluarnya permintaan AS kepada Indonesia agar mempensiunkan persenjataan buatan Uni Soviet, rival utama AS di Perang Dingin, pasca-Peristiwa 1965. Sebagai gantinya, AS menghibahkan persenjataan buatannya. Helikopter-helikopter trengginas Mi-4 dan Mi-6 yang jadi pegangan Pram sejak Dwikora (1963-1965) termasuk ke dalam daftar persenjataan yang mesti dipensiunkan itu. Kedua jenis heli digantikan UH-34 D. Mau-tak mau, Pram mesti mempelajarinya terlebih dulu sebelum memegang “capung besi” baru itu. Celakanya, saat itu di Indonesia tak tersedia UH-34. Pram pun mencari cara. Maka, kata Pram, “(Heli bekas, red .) punyanya Bung Karno, S-51, itu sangat VIP sekali, ditarik ke situ. Modelnya sama dengan Sikorsky ini cuma lebih sophisticated lagi.” Saat dibawa ke Lanud Atang, kondisi S-51 sudah parah lantaran lama teronggok. Seorang teknisi asal AS yang ditugaskan di Lanud Atang pun mengajak Pram membetulkannya. Namun, S-51 baru bisa kembali hidup setelah ditangani seorang teknisi AS yang dikirim dari Thailand. Melalui heli itulah Pram belajar tentang heli buatan AS. “Jadi saya tiap hari belajar dari seorang techrep . Dia bukan pilot. Kalau pagi saya latihan sama dia, kalau sore ngajar grupnya dia,” sambung Pram. Pada hari-H, Pram pun berangkat ke Lanud Halim Perdanakusuma. “Paspor dibagi-bagi, (saya) nunggu di Halim,” sambungnya. Dalam perjalanannya, perintah tugas Pram berubah-ubah. Dia tak jadi ditugaskan ke Udorn, melainkan diperintahkan menunggu di Tanjung Pandan, dan akhirnya menunggu di Halim. “Jadi rasanya plong nggak jadi ngambil sendiri di sana (Udorn).” Namun, Pram sempat berangkat ke Tanjung Pandan. Di sana, kejadian tak mengenakkan sempat dialaminya. “Di Tanjung Pandan (sewaktu) mau take off ke sana (Udorn), (ketika) di- start , (helikopter itu, red .) ngebul. Kaya mau kebakaran gitu. Aku udah ketar-ketir. Nyebrang laut kalau begini gimana,” kata Pram. Di Halim, Pram akhirnya menerima kedatangan heli-heli AS yang dipiloti langsung oleh pilot-pilot AS. Tugas Pram hanyalah membawa heli-heli itu ke Lanud Atang. Namun karena heli-heli dari AS yang akan menggantikan heli-heli trengginas buatan Soviet itu semuanya barang bekas, Pram pun mengecek dengan teliti heli-heli itu. “Dibuka tutup mesinnya, mesinnya itu diikat-ikat sama kawat jemuran. Sudah goyang semua. Diikat-iket sama kawat begitu supaya nggak goyang-goyang. Bayangin kalau saya membawa dari Udorn ke sini sekian belas pesawat, gimana itu rasanya? Jadi sudah keadaan bobrok,” sambungnya sambil tertawa. “Wong bekas dipakai di Vietnam. Masih ada bekas luka-luka bolong kena tembak.”
- Gubernur Jawa Barat Menolak Beras Belanda
IKATAN Mahasiswa Papua di Bandung menggelar aksi solidaritas menyusul aksi polisi menangkap rekan mereka di Surabaya. Di tengah aksi, oknum anggota polisi menawarkan dua dus minuman kepada mereka. Polisi berdalih pemberian itu merupakan minuman penyegar. Setelah dibuka ternyata isinya minuman keras jenis wiski. Kontan saja mahasiswa Papua menolaknya. Selain dianggap merendahkan , bisa jadi minuman keras itu bermotif jebakan. Modus serupa juga pernah dialami Gubernur Jawa Barat pertama, Soetardjo Kartohadikoesumo. Saat itu, iming-imingnya adalah beras. Pada September 1945, ketika tentara Sekutu menduduki Jawa Barat, krisis pangan tengah melanda. Keadaan rakyat yang kesulitan mendapat bahan makanan terpantau oleh Sekutu dan Belanda. “Waktu itu di negeri kita terjadi kekurangan beras. Belanda dengan perantaraan pimpinan tentara Sekutu menawarkan pemberian beras dengan gratis dalam jumlah yang agak besar,” kenang Soetardjo dalam memoarnya Soetardjo: “Petisi Soetardjo” dan Perjuangannya . Kendati demikian, Sekutu tidak memiliki otoritas berhubungan langsung dengan rakyat. Untuk itu, mereka membutuhkan perantaraan pemerintah Indonesia. Sebuah kesepakatan lantas ditawarkan kepada pejabat tinggi Republik. Pembicaraan segitiga antara pemerintah Indonesia, Sekutu, dan Belanda digelar. Pertemuan berlangsung di Gedung Merdeka Selatan (sekarang menjadi kantor Pertamina). Pemerintah Indonesia diwakili Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Walikota Jakarta Suwirjo, Ir. Surachman dari Departemen Perekonomian, Mr. Latuharhary dari Departemen Dalam Negeri, dan Soetardjo selaku Gubernur Jawa Barat sekaligus bertindak sebagai juru bicara pemerintah RI. Belanda melalui juru bicara Sekutu menawarkan pemberian beras secara cuma-cuma. Jumlah itu diperkirakan dapat mencukupi kebutuhan pangan rakyat. Soetardjo menilai tawaran itu sebagai jebakan politis. Ia menandaskan bahwa bangsa Indonesia sudah merdeka. Maka pemerintah RI-lah yang bertanggung jawab atas nasib rakyat di Jawa Barat. Soetardjo memutuskan untuk menolak pemberian beras Belanda. Meski tegas, tidak lupa sang gubernur mengucapkan terimakasih atas tawaran niat baik tersebut. Seingat Soetardjo, seorang perwira tinggi Inggris berpangkat mayor jenderal mencoba melobi dirinya. Si Jenderal mempertanyakan apakah Gubernur Soetardjo tidak takut bahaya kelaparan menimpa rakyatnya. Diperkirakan perwira tinggi tersebut adalah Mayor Jenderal Douglas Cyril Hawtorn. Dia merupakan komandan tentara Sekutu dari Divisi ke-23 British India Army. Sejarawan Frank Palmos dalam Surabaya 1945: Sakral Tanahku mencatat, Hawtorn ditunjuk oleh Panglima Sekutu untuk Indonesia Letnan Jenderal Sir Philip Christison membawahkan wilayah operasi meliputi Jawa, Madura, Bali, dan Lombok. Soetardjo tidak kalah cerdik. Sambil bergurau dia menimpali, “Bukankah dahulu pemerintah Belanda sendiri mengatakan bahwa rakyat kami, de inlanders , bisa hidup segobang sehari?” Mendengar jawaban Soetardjo, Sri Sultan Hamengkubuwono IX malah tertawa terpingkal-pingkal. Siapa nyana, di tahun berikutnya situasi berbalik. Pada April 1946, ketika terjadi kelaparan di India, pemerintah Indonesia justru mampu menyumbang 500 ribu ton beras.
- Mabuk Pisang Kiriman
Mia Bustam, pelukis yang tergabung dalam Seniman Indonesia Muda (SIM), senang bukan kepalang. Romo Verlaan, pastur yang bersama Suster Van Vliet rutin membina misa tiap minggu di Kamp Plantungan, memberinya kabar baik. “Ada paket dari Atik,” kata Romo Verlaan kepada Mia, menjelaskan Nasti (anak Mia yang tinggal di Yogyakarta) menitipkan kepadanya kiriman makanan. Bagi tahanan politik (tapol) di Kamp Plantungan seperti Mia, kiriman makanan merupakan sebuah kemewahan. Maklum, jatah makan mereka amat minim dan tak manusiawi. Untuk mendukung kebutuhan hidup para tapol di kamp, keluarga dan orang sekitar tak jarang memberikan bingkisan. “Tahanan politik diperbolehkan menerima surat dan kiriman dari keluarga, tapi sebelumnya harus melewati sensor dari penjaga kamp,” kata Amurwani Dwi Lestariningsing dalam buku Gerwani Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan. Sayangnya, sensor tersebut semena-mena. Kiriman dari keluarga sering berhenti di penjaga kamp dan tidak pernah sampai ke tapol. Kebiasaan itu, kata Mia dalam memoarnya Dari Kamp ke Kamp , sebagai korupsi kecil-kecilan dan tidak hanya terjadi di Plantungan, tapi juga Wirogunan. Petugas memeriksa kiriman dari keluarga tapol sambil mencomoti barang yang terlihat menarik. Hal itu dialami Sri Kayati, tapol lain di Kamp Wirogunan. Beras yang dikirimi keluarganya berhenti di petugas. Sri tak pernah menerimanya. Tapi ketika keluarganya mengirim nasi aking, kiriman itu sampai dalam kondisi utuh. Maka, begitu Mia mendapat kabar dari Romo Verlaan, dia amat senang dan tak sabar untuk segera mendapat panggilan dari petugas kamp sekaligus khawatir kiriman dari Nasti tak akan sampai. Pasalnya, Nasti sebelumnya pernah menitipkan surat sepanjang 9 halaman ke Romo Verlaan. Surat itu tak langsung sampai ke Mia. Komandan kamp membaca surat itu bolak-balik di rumahnya sebelum menyerahkan ke Mia. Panggilan yang Mia tunggu tak kunjung datang. Takut hal serupa terulang, Mia menghampiri petugas. Benar saja. Paket sudah habis dibagikan, kata petugas. Mia pun mengejar Romo Verlaan dan Suster van Vliet yang hendak pulang diantar komandan kamp. “Romo, tadi katanya ada kiriman tapi kok kata petugas tidak ada,” kata Mia. Seketika Romo Verlaan dan Suster berpandangan. Benar saja, Suster van Vliet yang dipasrahi membawa kiriman ternyata lupa. “Oh, pasti ketinggalan di kamar lain (di susteran, red. ),” kata Suster van Vliet sambil memegang kepala. “Sudahlah, Suster. Kirim saja paket itu ke rumah saya di Ambarawa. Dua minggu lagi saya akan pulang, jadi paket itu bisa saya bawa kemari,” kata komandan kamp. Dua puluh hari kemudian paket itu datang. Untung isinya bahan-bahan kering seperti teh, gula pasir, susu, dan lauk kering. Tapi 10 buah pisang rebus dalam plastik kadung berenang dalam air. Mia tetap membukanya. Eman , pikirnya. Ia cicipi sedikit dan ternyata rasanya manis sekali. Ketika airnya ia seruput sedikit demi sedikit sampai habis, seketika Mia kliyengan . “Air pisang itu telah beralkohol rupanya, seperti liquor pisang,” kata Mia.
- Senjata Makan Tuan
Para pejuang dalam Pertempuran Surabaya pada November 1945 mendapatkan senjata dari hasil melucuti tentara Jepang. Mereka menggunakan berbagai jenis senjata, dari senjata ringan sampai senjata berat. Namun, banyak di antara mereka yang tidak bisa menggunakannya. Sehingga banyak kejadian lucu sekaligus membahayakan. “Semua (senjata) jatuh ke tangan pejuang yang sebenarnya sama sekali belum menguasai peralatan itu,” kata Ruslan Abdulgani dalam Kebangkitan Jiwa Keprajuritan Nasional . Ruslan berada di Surabaya ketika pertempuran berlangsung. Ruslan masih ingat kejadian lucu, ketika sebuah tank merangsek ke kantor Kempeitai (polisi rahasia Jepang) di Jalan Gunung Sahari Surabaya, sementara dari luar orang berteriak “maju...tembak.." “Tetapi, tidak ada yang menembak, bahkan tank itu akhirnya mundur lagi. Alasannya, peluru yang dibawa keliru,” kata Ruslan. Di lain tempat, kejadian lucu namun makan korban terjadi ketika pemuda menyerbu penjara Koblen, Surabaya, yang diduduki tentara Inggris (Sekutu). Menurut buku Pertempuran Surabaya , serangan ke penjara Koblen terjadi pada 29 Oktober 1945. Pemuda API (Angkatan Pemuda Indonesia) yang bermarkas berdekatan dengan penjara, bersama rakyat dan polisi, menyerang penjara karena tersiar kabar orang-orang Jepang yang ditawan telah dipersenjatai oleh tentara Gurkha (Sekutu). “Menghadapi serangan massa, akhirnya pasukan Jepang sekitar 300 orang dan Gurkha yang bertahan dalam penjara menyerah. Dalam penjara terdapat orang yang diduga N ICA (Pemerintahan Sipil Hindia Belanda). Beberapa tentara Gurkha meninggal, yang menyerah digiring ke Seksi Polisi,” demikian tertulis dalam Pertempuran Surabaya . Buku terbitan Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI itu juga menyebut bahwa “granat tangan yang dilemparkan ke dalam penjara berhasil mengenai sasarannya dengan tepat.” Namun, menurut Asmadi, mantan tentara pelajar yang ikut dalam Pertempuran Surabaya, granat tangan kuning bikinan Jepang yang dilemparkan para pemuda kedalam kompleks penjara, tidak meledak. Mereka melemparkan lagi beberapa buah granat. Semua granat tidak meledak. Tiba-tiba, tentara Inggris mengembalikan granat kuning itu dari dalam penjara. Granat itu jatuh di tengah-tengah kerumunan pemuda dan meledak dahsyat. Para pemuda banyak yang menjadi korban. Menyusul granat kuning kedua, ketiga dan seterusnya, semua meledak dahsyat menyebar malapetaka. “Ternyata para pemuda menjadi korban kebodohannya sendiri. Mereka belum mengetahui seluk-beluk mempergunakan granat tangan. Dikiranya granat tangan akan meledak dengan sendirinya bila menyentuh tanah. Mereka tidak tahu bahwa granat tangan cukup baik pengamanannya dan tidak akan meledak walau dibanting sekalipun, selama pasaknya masih belum ditarik,” kata Asmadi dalam Pelajar Pejuang . “Setelah mengalami kejadian yang pahit,” lanjut Asmadi, “segera diberikan kursus kilat tentang tata cara me nggunakan granat tangan, sehingga pengalaman yang memalukan dan mengundang malapetaka tidak terulang lagi.”
- Papua, Hadiah Ulang Tahun untuk Raja Belanda
KONTAK pertama bangsa Belanda dengan tanah Papua terjadi pada era perdagangan abad ke-19. Saat itu, Belanda sedang menjalin hubungan dagang dengan orang-orang yang ada di wilayah Maluku. Kehadiran orang-orang Belanda di perairan Maluku ini tidak dapat dirasakan langsung oleh penduduk Papua. Satu-satunya kesempatan untuk keduanya bertemu hanya saat Sultan Tidore meminta bantuan tentara Belanda memungut pajak dari penduduk di pantai Papua. Keterbatasan akses menuju Papua juga cukup merugikan Belanda karena mereka tidak dapat melakukan penjelajahan sumber daya alam di wilayah itu. “Penduduk pribumi Irian (Papua) tidak pernah mengalami upaya dari pihak Belanda untuk sungguh-sungguh menegakkan kekuasaannya di bumi mereka,” tulis H.W. Bachtiar dalam “Sejarah Irian Jaya” dimuat Irian Jaya: Membangun Masyarakat Majemuk . Barulah pada Juli 1828 untuk pertama kalinya pejabat Belanda mengupayakan penguasaan tanah Papua secara sungguh-sungguh. Di pantai selatan, sebelah utara Kepulauan Aru, berlabuh dua kapal Belanda. Salah satu kapal mengangkut A.J. van Delden, seorang komisaris pemerintah Belanda yang dikirim oleh Gubernur Belanda di Maluku untuk persiapan pembangunan benteng sebagai basis militer Belanda di tanah Papua. Dalam catatan yang dibuat oleh peneliti Belanda, J. Modera (1830), disebutkan bahwa benteng itu nantinya akan menjadi simbol kekuasaan Belanda atas tanah Papua. Sehingga tidak ada satupun bangsa yang boleh menganggu wilayah tersebut. “Kecuali daerah-daerah yang dikuasai oleh Sultan Tidore”. Van Delden, didampingi bawahannya J.J. Steenboom, memilih daerah di kaki gunung Lamenciri sebagai tempat mendirikan benteng. Ia beranggapan daerah itu mudah dijangkau kapal, iklimnya pun baik untuk para tentara, dan tanahnya sangat subur sehingga cocok untuk bertahan hidup. Setelah diputuskan, dimulailah pembangunan dengan menebang sebagian rimba di sana. Tidak lebih dari sebulan, benteng itupun akhirnya rampung. Pada 24 Agustus 1828, bertepatan dengan ulang tahun Raja Willem I ke-56, para pejabat mengadakan upacara peresmian benteng Belanda pertama di tanah Papua, yang diberi nama Du Bus . Salah satu rangkaian pada upacara tersebut adalah pembacaan proklamasi oleh van Delden sebagai perwakilan Kerajaan Belanda di wilayah Papua. Bagaimana bunyinya proklamasi tersebut? Dalam Irian Jaya: Membangun Masyarakat Majemuk karya Koentjaraningrat, dituliskan: “Atas nama dan untuk Sri Baginda Raja Nederland…. bagian daerah Nieuw-Guinea (sebutan Belanda untuk Papua) serta daerah-daerah di pedalaman yang mulai pada garis 141° BT di pantai selatan sampai ke Semenanjung Goede Hoop di pantai utara, selain daerah yang dimiliki oleh Sultan Tidore, dinyatakan sebagai hak milik”. Setelah pembacaan proklamasi selesai dilakukan, bendera Belanda dinaikkan di puncak benteng dan sebanyak 21 dentuman meriam ditembakkan dari benteng tersebut. Maka sejak itu, resmilah Belanda menguasai Papua sebagai bagian dari jajahan kerajaan mereka. Pihak Belanda kemudian membuat sebuah perjanjian yang ditandatangani oleh Sendawa, Raja Namatotte; Kassa, Raja Lakahia; dan Lutu, penguasa Lobo dan Mawara. Ketiga orang itu masing-masing diangkat menjadi kepala daerah yang mewakili pemerintah Belanda di Papua. Selain mereka, diangkat juga 28 kepala daerah bawahan. Sementara itu di Eropa, pembacaan proklamasi dari pegawai Kerajaan Belanda atas Papua dianggap sebagai tanda kedaulatan bagi tanah yang dimaksud. Tidak boleh ada yang mendekati atau beraktifitas di Papua tanpa seizin Belanda. Sehingga tanah Papua telah menjadi satu dengan tanah jajahan mereka di Hindia Belanda. Namun rupanya kehidupan di Papua tidaklah seperti yang dibayangkan para pejabat Belanda. Keadaan iklim di sana tidak sesuai dengan mereka dan sangat mengganggu kesehatan para tentara. Banyak korban berjatuhan akibat penyakit khas wilayah itu. Karena pertimbangan tersebut, pada 1835 pemerintah Belanda memutuskan membongkar benteng Du Bus dan secepat mungkin mencari tempat lain yang lebih baik untuk memenuhi kebutuhan para pejabat Belanda selama bertugas di Papua. Namun bukanlah perkara mudah menemukan tempat yang sesuai bagi mereka. “Baru dalam tahun 1861 pemerintah Belanda terpaksa mengambil keputusan untuk tidak mendirikan benteng baru di Irian Jaya. Usaha pertama untuk menegakkan kekuasaan Belanda di Irian Jaya untuk sementara mengalami kegagalan,” tulis Bachtiar.
- Lahir Hanung, Negara Berkabung
ROMAN Bumi Manusia sudah sangat “ personal ” buat Hanung Bramantyo. Tak heran jika membuat roman ini jadi film adalah beban untuk Hanung. Peraih dua Piala Citra sebagai sutradara terbaik 2005 ( Brownies ) dan 2007 ( Get Married ) mengaku sejatinya perkenalan pertamanya dengan Pram bukan lewat Bumi Manusia , melainkan Perburuan . Semua itu terjadi tak lain lantaran sejak kecil Hanung selalu heran mengapa setiap berulangtahun bendera merah-putih selalu berkibar setengah tiang. “Saya lahir 1 Oktober 1975. Tepat di Hari Kesaktian Pancasila. Sepuluh tahun sebelumnya terjadi peristiwa Lubang Buaya (Gerakan 30 September-1 Oktober 1965). Kalau jam 2 malam para jenderal diculik, ibu saya (10 tahun berselang) masuk ke bidan. Jam 6 para jenderal dimasukkan ke (sumur) Lubang Buaya, saya 1975 lahir,” tutur Hanung berkisah kala bertandang ke redaksi Historia, Selasa (20/8/2019) malam. Hanung kecil mencari tahu apa yang terjadi dengan bertanya kepada gurunya. Namun jawaban gurunya tidak memuaskan Merasa tak puas penjelasan gurunya, ia pun bertanya kepada ibunya. “Bertanyalah saya pada ibu saya. Bu, kenapa lahir saya kok negara berkabung? Jawaban ibu saya, khas jawaban ibu-ibu pengajian Muhammadiyah zaman Orde Baru, ya pada saat itu negara sedang dikhianati. Bahwa ada pemberontakan PKI (Partai Komunis Indonesia). PKI itu siapa? Kata ibu saya PKI itu orang jahat,” kenangnya. “Stempel” orang jahat di pikiran Hanung kecil saat itu hanyalah penjajah Belanda. Maklum ia belum akrab dengan istilah PKI/Komunisme. Penjahat yang ia kenal sekadar penjajah Belanda di film-film maupun mata pelajaran sekolah. Maka dengan “modal” cap itulah ia turut menonton film Pengkhianatan G30S/PKI sejak mulai dirilisnya 1984. “Saya nonton betul-betul kepengin tahu apa itu PKI. Awalnya saya pikir PKI itu (penjajah) Belanda. Tapi kok (di filmnya) sama-sama orang Indonesia saling tembak-tembakan, saling bunuh-bunuhan ya. Habis itu saya tanya bapak, tapi juga enggak dapat jawaban yang serius. Sampai kemudian muncul (semasa) SMA karyanya Pak Pram yang dulu disebutkan kiri, Lekra dsb,” imbuh Hanung. Novel Pram pertama yang ia dapatkan di sebuah toko buku loak adalah Perburuan (1960). Mulanya ia juga menduga bahwa isi ceritanya berpusar pada orang-orang PKI yang diburu. “Tapi saya baca, kok tentang kemerdekaan Indonesia ya? Tentang Supriyadi, di mana kita mengertinya Supriyadi adalah pahlawan. Enggak ada yang berbahaya. Mana PKI-nya (di novel Pram)?" cetusnya. Jatuh Cinta pada Bumi Manusia Tamat membaca Perburuan sembunyi-sembunyi, ia ketagihan karya Pram sampai akhirnya menemukan Bumi Manusia . Lagi-lagi dia salah sangka, Hanung mengira Bumi Manusia kisah tentang manusia-manusia yang ditenggelamkan ke bumi sebagaimana halnya para jenderal dikuburkan ke dalam tanah di sebuah sumur di Lubang Buaya. “Pas saya baca, enggak ada sama sekali (perihal komunisme). Adanya tentang pribumi, penindasan dan lain-lain. Itu perkenalan saya dengan Pram. Setelah reformasi ada (buku-buku) reverse angle tentang G30S. Dari situ saya temukan jawabannya. Ya seperti (buku) Palu Arit di Ladang Tebu , pengakuan Pak Latief (buku Pledoi Kol. A. Latief ), akhirnya mulai terbuka semuanya. Oh, ternyata konflik. Baru saya membaca Bumi Manusia lagi dengan tenang. Sudah nemu titik poinnya,” sambung Hanung. Hanung Bramantyo pertama kali mengenal Pramoedya Ananta Toer dari novel Perburuan (Foto: Fernando Randy/Historia) Perlahan tapi pasti ia nge- fans berat dengan romannya. Ia jatuh cinta pada sosok Nyai Ontosoroh, gundik tuan tanah Belanda namun punya karakter yang kuat. Semasa kuliah perfilman di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), ia mencoba mendatangi Pram di Bojonggede sekira 2004 lampau. Hanung dengan harapan tinggi ingin minta izin “meminjam” sosok sang nyai untuk dibuat film pendek. Sayang, ia pulang tak hanya dengan tangan hampa, namun dengan dua pelajaran. Soal ini, ia menolak dimuat lebih dalam. Tapi penantian panjang Hanung tak sia-sia. Tetiba petinggi Falcon Pictures HB Naveen datang menyodorkan lembaran kontrak dan hak penggarapan film Bumi Manusia . Hanya tantangannya, bagaimana Bumi Manusia bisa diterima generasi kekinian. Hanung mengaku sedianya tak tega harus mengalihwahanakan novel itu ke layar perak dengan serentetan perubahan. “Ya karena saya nge-fans sama Bumi Manusia. Kalau novel lain mungkin saya tega,” katanya. Hanung harus putar otak agar roman dengan bobot berat itu bisa diterima pasar penonton Warkop DKI Reborn atau Dilan . Ia pun akhirnya mesti kompromi. Toh filmnya dimaksudnya sebagai film komersil. Terlebih jika sudah bicara film, bukan lagi keputusan satu orang laiknya novel yang hanya jadi tanggungjawab si penulis. Dalam film mesti menyatukan dua-tiga kepala: produser, sutradara dan atau penulis skenario. “Saya membayangkan, anak-anak SMA nge-tweet , posting Instagram dengan kata-kata: ‘ Dik, cinta itu indah ya, berikut tragedi yang menyertainya’ . Atau kata-kata: ‘ seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan ’. Bumi Manusia ini kan berbicara tentang penindasan. Ini menarik. Pembukaan UUD 1945 saja berbicara bahwa kita sebagai bangsa Indonesia tidak boleh jadi orang yang menindas,” lanjutnya. Alasan Memilih Iqbaal sebagai Minke Nah , untuk menggaet milenial metode mainstream -nya tak lain adalah merekrut aktor yang sedang nge-hits tentunya. Nama Iqbaal Ramadhan untuk memerankan tokoh utama, Minke, datang dari usulan sang penulis skenario, Salman Aristo. Meski mulanya mengaku kurang sreg, akhirnya Hanung menjatuhkan pilihan setelah melakukan “ fit and proper test ” pada pemeran Dilan itu. “Setelah ada pemutaran film Dilan , saya temui Iqbaal. Saya tanya yang simple. Kalau enggak bisa jawab, ya sudah, gone . Kalaupun Naveen memaksa, saya ‘mending’ mundur,” paparnya lagi. Pertanyaan pembuka, tentulah apakah Iqbaal tahu novel Bumi Manusia ? Hanung sempat terkejut lantaran nyatanya Iqbaal pernah meresensi roman itu dalam bahasa Inggris. Kebetulan saat sekolah di Kanada, salah satu guru mata pelajaran yang diikutinya meminta murid-muridnya meresensi novel-novel kenamaan dunia. “Dia minta ayah-ibunya mencarikan novel-novel bagus. Ketemulah ada Tenggelamnya Kapal van der Wijck, Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Bumi Manusia dll. Nah dia pilih Bumi Manusia . Kenapa? Katanya, ‘Lucu sih, mas, judulnya’. Sempat saya tersinggung luar biasa. Apa kamu enggak tahu Bumi Manusia dibuatnya di penjara dengan kepahitan segala macam? Dia enggak tahu. Tapi apa kemudian saya harus marah dan memuntahkana beban kepahitan itu ke anak 19 tahun?,” urai Hanung. Iqbaal Ramadhan (kanan) memerankan Minke dalam film Bumi Manusia(Foto: falcon.co.id) Terlepas dari soal itu, Hanung akhirnya memilih Iqbaal sebagai Minke. Jelas ia tak perlu lagi menyuruh Iqbaal membaca Bumi Manusia lagi. Justru Hanung ingin Iqbaal lebih mendalami karya-karya Max Havelaar dan mempelajari tokoh Snouck Hurgronje. “Dia kan sudah sesuai sebagai anak muda berkulit coklat. Dia juga pernah merasakan jadi minoritas saat sekolah di luar negeri. Tinggal jiwa menjadi budak di negerinya sendiri. Makanya saya minta dia untuk tidak boleh diladenin sama manajernya, meninggalkan fasilitas-fasilitas, masak dan mencuci sendiri, tidur di lantai, intinya jadi pembantu di rumahnya sendiri,” tandas Hanung. Jadilah filmnya diproduksi dengan mulanya berdurasi 4,5 jam yang tentu mesti dipangkasnya jadi 172 menit. Film yang diproduksi dengan halangan terbesar berupa waktu dan tantangan besar bagi egonya. “Buat saya film ini sebagai puncak karier saya, puncak pembelajaran. Rasanya seperti bikin film pertamakali. Jadi ego saya sangat tertantang. Rumus yang saya gunakan selama mengerjakan 20 film tak terpakai di sini. Seperti masuk lagi ke zaman saya awal-awal membuat film,” tandasnya.





















