top of page

Hasil pencarian

9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Masyarakat Singhasari Pada Masa Kertanagara

    Singhasari mencapai masa jayanya ketika Kertanagara berkuasa. Kendati begitu tak banyak pembahasan mengenai kondisi sosial Singhasari selama 24 tahun masa gemilang itu. Kertanagara naik takhta pada 1268 menggantikan ayahnya, Wisnuwardhana. Situasi pemerintahan tertulis di berbagai naskah kesusastraan, khususnya akhir masa jabatannya yang sekaligus menjadi ujung nasib Kerajaan Singhasari. Pemerintahan Kertanagara dipuji dalam Kakawin Nagarakrtagama atau Desawarnana karya Mpu Prapanca pada abad ke-14. Pun disebut dalam Pararaton dari abad ke-15. Akhir riwayatnya juga tertulis singkat dalam beberapa catatan Tionghoa. Dinasti Yuan mencatatnya sebagai raja pemberontak yang harus diberi pelajaran. Namun, dari karya-karya itu, tak banyak informasi soal kondisi masyarakat. Catatan Sejarah Dinati Yuan sangat singkat membahasnya. “Penduduknya (Jawa, red. ) jelek dan aneh. Sifat alami dan ucapan mereka tak bisa dimengerti orang Tionghoa,” sebutnya. Dalam catatan itu diakui kalau mereka pun tak banyak mengetahui kebiasaan dan hasil produksi di Jawa. Mereka hanya tahu kalau segala sesuatu dari wilayah yang mereka sebut negara barbar di seberang lautan itu, umumnya adalah benda langka yang bernilai tinggi di Tiongkok. Sementara, dari sumber prasasti, sejarah sosial masyarakat masa itu lebih banyak terungkap. Itu seperti yang dikatakan peneliti EFEO,Arlo Griffiths. Prasasti yang dimaksud berupa prasasti Jawa kuno, Sanskreta, dan Melayu Kuno. “Kata Krom (N.J. Krom, arkeolog Belanda, red. ) totalnya ada 26 prasasti, di antaranya hanya lima yang punya info berguna soal Kertanagara,” kata Arlo ketika membicarakan penelitian terbarunya itu di Institut Français d'Indonésie (IFI) baru-baru ini. Artinya, kata Arlo, prasasti-prasasti yang dinilai tak berguna oleh Krom itu tak membicarakan Kertanagara. Meskipun dikeluarkan pada masa pemerintahannya. Isinya lebih kepada kondisi sosial dan informasi administratif pada masa itu. “Itu bukan informasi yang berguna kalau memakai sudut pandang Krom, tapi kenapa semuanya harus tentang raja-raja?” ujar Arlo. Misalnya, sebuah prasasti dari 1203 yang kini dijadikan nisan di situs Makam Panjang, Trowulan. Di sana hanya tertulis informasi soal penanaman pohon beringin. “Setidaknya bisa dibayangkan kalau dulu ada kegiatan menanam pohon di sana,” kata Arlo. Lalu dalam prasasti yang ditemukan di Vietnam dari Kerajaan Champa. Menurut Arlo, dari penanggalan candrasengkala yang terbaca, prasasti itu berasal dari 1196 Saka (1274).  Isinya tentang hubungan Kerajaan Singhasari dengan Kerajaan Champa. Adik Kertanagara, Putri Tapasi dinikahkan dengan Raja Jaya Simhawarman III. “Intinya, Putri Jawa punya koneksi dengan Champa. Jawa dan Champa kan bersekutu. Khususnya terlihat saat kedatangan pasukan Kubilai Khan,” kata Arlo. Berkat pernikahan politik itu, selain hubungan dagang yang meningkat, Jawa mendapat bantuan ketika pasukan Khubilai Khan datang. Raja Jaya Simhawarman waktu itu menolak armada Mongol transit untuk mengisi perbekalan di pelabuhan Champa pada 1292. “Bahasa Cham yang dipakai di pesisir juga mirip dengan bahasa Melayu. Saya pikir ini relevan, mungkin memang hubungannya erat. Kebiasaan memakai candrasengkala juga bukan kebiasaan di sana, tapi di Jawa,” kata Arlo. Lalu dalam prasasti tembaga, Prasasti Sanga yang lempengannya tak ditemukan lengkap. Prasasti ini juga tak diketahui penanggalannya. Namun dari gaya penulisannya, prasasti ini dibuat pada masa Kertanagara. Isinya tentang penganugerahan status sima terhadap Desa Sanga. Ada banyak profesi yang termasuk pelayan kerajaan yang terdata di sana. Itu seperti tukang mengawinkan kuda, sais atau pawang gajah, peternak burung puyuh. Mereka ini dilarang memasuki desa setelah desa itu berstatus sima. Ada pula keterangan pemberian anugerah atau hak-hak yang kini bisa dilakukan oleh penduduk desa. Itu misalnya, mengenakan payung putih, membunyikan bel siang dan malam, memiliki bangku dari pring gading, memakai bros emas. “Bisa diketahui juga kalau pada masa itu, pangeran boleh membagikan anugerah. Bukan hanya raja,” kata Arlo. Hal yang menarik, kata Arlo, ada di dalam Prasasti Parablyan yang tak bertanggal, tetapi menyebut nama Kertanagara. Di sana disebutkan pendamping spiritual Kertanagara adalah seorang ahli Yayurveda, salah satu bagian dari Kitab Veda, yang berasal dari Sekolah Madhyanditta. “Kalau kita ke India pada abad ke-13 hampir semua prasastinya menyebutkan adanya sekolah Veda. Itu tak biasa di Indonesia. Tapi dalam prasasti ini, pada masa yang sama, disebut Madhyanditta sebagai sekolah Veda,” kata Arlo. “Mungkin raja meminta Brahmin dari India untuk menjadi pengajar di sekolahnya.” Kemudian dari prasasti tembaga Patitihan, yang kini menjadi salah satu benda milik kolektor di Hong Kong. Lempengannya tak lengkap, sehingga tak ditemukan angka tahunnya. Namun, gaya tulisannya menunjukkan masa Kertanagara. Isinya unik. Bahwa pada masa itu terdapat sekelompok pedagang di Patitihan yang tergabung dalam sebuah asosiasi. Mereka melakukan penerimaan gadai, sehingga raja harus membuat aturan transaksinya. Terutama soal batas waktu, apakah tiga tahun, tiga bulan, ataukah tiga malam, sebelum akhirnya hangus. Lalu juga ada aturan jika barang yang digadaikan hilang. Misalnya, jika itu emas, maka harus diganti dengan barang yang ditaburi emas, sehingga sama bentuknya. Begitu pula dengan perak, harus dibuat supaya mirip. Sementara jika barang yang digadaikan adalah permata, maka harus diganti barang yang bernilai sama. Sejauh ini, Arlo melanjutkan, di Indonesia data-data prasasti selalu dikaitkan dengan raja-raja besar. Karenanya banyak data yang belum dikaji mendalam. “Mungkin karena pola pendidikan sejarahnya yang lebih senang membahas pemimpin, raja, dan urusan istana,” kata Arlo. Menurut Arlo, itu tak jauh dari warisan pendidikan masa kolonial. Hampir 100 persen pendidikan sejarah diturunkan dari cara Belanda.  “ Saya pikir orang Lamongan ( Lamoṅan ), misalnya, akan sangat senang jika tahu kalau nama kotanya sudah disebut dalam Prasasti Sanga , ” kata Arlo.

  • JA Latumeten, Psikiatris Nasionalis Kompeten Namun Kurang Beken

    KENDATI bergelar pahlawan nasional dan namanya diabadikan menjadi nama jalan yang membentang di depan RSJ Suharto Heerjan (Grogol, Jakarta) dan Rumahsakit Tentara (Ambon), nama Jonas Andreas Latumeten tak begitu dikenal orang. Padahal, jasanya begitu besar. Prof. dr. JA Latumeten, begitu ia dipanggil oleh rekan-rekan seperjuangannya, merupakan ahli jiwa generasi pertama. Tak banyak yang bisa diketahui tentang masa kecil pria kelahiran Ambon tahun 1888 itu kecuali dari keluarganya yang merupakan keluarga nelayan. Sebagaimana umumnya anak lelaki di Negeri (desa) Rutong, tempat tinggal keluarga Latumeten, dia sudah membantu ayahnya sejak belia. Latumeten tak hanya ikut melaut dan menangkap ikan, tapi juga ikut memasarkannya ke Kota Ambon. Dalam perjalanan ke Ambon, berjarak hampir 25 kilometer dari Rutong, itu seringkali ikan dagangan Latumeten diminta-paksa oleh aparat kepolisian atau birokrat kolonial. Pengalaman pahit itu menyemai kebenciannya pada Belanda.    Kendati kehidupan yang dilaluinya begitu keras, Latumeten tak ingin menyerah dan terus bersemangat dalam bersekolah. Ia akhirnya bisa masuk Stovia. Setelah lulus dari Stovia, ia bekerja di Rumahsakit Jiwa Lawang, Malang menjadi asisten dr. PHM Travaglino. Sambil bekerja, Latumeten kerap mengikuti pertemuan Jong Ambon dan aktif di Asosiasi Dokter Hindia. Pada 1919, organisasi ini menuntut peningkatan status profesional dokter pribumi. Mereka memprotes pemerintah kolonial yang tidak memberi izin praktik, gaji rendah (lebih rendah dari perawat Eropa), dan beban kerja yang lebih berat dibanding dokter kulit putih. Para dokter pribumi ditempatkan di pelosok di mana jumlah fasilitas medis amat minim. Pada Minggu, 2 November 1919, diadakan pertemuan besar yang menghadirkan beragam organisasi nasionalis, seperti Budi Utomo, Ambonsch Studiefonds, dan Sarekat Hindia. Dalam pertemuan itu, Latumeten ikut berpidato tentang nasib dokter pribumi di tengah sikap rasis pemerintah kolonial yang mendarah-daging. Ia mengajak para dokter pribumi untuk melakukan pemogokan di dinas masing-masing. Ia juga mencemooh kebijakan pemerintah yang melarang dokter pribumi membuka praktik meskipun sudah mengundurkan diri. “Kalau mereka melarang, anggap saja kami dukun. Tak perlu ada izin,” katanya, disambut tepuk tangan para peserta pertemuan. Meski aktif dalam gerakan nasionalis, ia tetap bisa mendapat beasiswa dari pemerintah Belanda. Pada 1922, Latumeten berangkat ke Belanda untuk melanjutkan studinya. Ia bisa dibilang orang Indonesia pertama yang mendalami kesehatan jiwa. Rekannya yang lain, seperti Mohammad Amir baru melanjutkan studi psikiatri tahun 1923. Sementara dokter asal Minahasa, Tom Kandou baru mulai mendalami ilmu ini pada 1931. Begitu sampai di Belanda Latumeten bergabung dengan Asosiasi Dokter Hindia cabang Belanda, hingga jadi ketua pada 1924. Ia juga aktif di Perhimpunan Indonesia. Ketika psikiatris Belanda yang bertugas di Indonesia, F. H. van Loon mengeluarkan tulisan tentang kondisi amok dan sifat orang pribumi, Asosiasi Dokter Hindia yang diketuai Latumeten mengeluarkan tulisan tandingan. Hans Pols dalam Nurturing Indonesia menyebut tulisan empat halaman yang diterbitkan organisasi itu tak lain karya Latumeten. Isinya menyerang pandangan van Loon dan mendekonstruksi argumennya. Van loon menulis tentang amok, kondisi marah tiba-tiba di depan umum dan terkadang bisa sampai membunuh. Ia menyebut, amok hanya terjadi di Hindia karena sifat manusianya masih primitif dan tidak bisa menahan emosi sehingga pertarungan fisik mudah terjadi. Latumeten menolak penyataan ini. Ia menyebut Van Loon bersikap tidak objektif dan penelitiannya terpengaruh prasangka rasial. Ia mempertanyakan sifat emosional dan tukang kelahi yang disebut van Loon. Pasalnya, di Belanda sendiri Latumeten sering menemukan perkelahian di depan bar atau di jalanan, baik tangan kosong maupun dengan pisau. “Kalau kami yang kelahi kalian sebut amok. Di sini, (di Belanda) disebut ekspresi budaya,” sindir Latumeten dalam tulisannya. Latumeten menerima gelar kedokteran Belanda pada 1924. Setahun berikutnya ia meraih gelar doktoral dalam bidang medis dengan disertasi “Over de Kernen van den Nervus Oculomotorius”. Setelah kembali ke Hindia, Latumeten tak banyak aktif di pergerakan secara politik. Ia lebih fokus pada pengobatan, khususnya untuk pribumi. Pada 1927 ia menjadi pengawas rumah sakitjiwa di Sabang. Tahun 1936, ia kembali bertugas di Rumahsakit Jiwa Lawang hingga pendudukan Jepang. Nasib apes menghampirinya pada Mei 1945. Latumeten ditangkap oleh Kenpeitai. Ia dijebloskan ke penjara. Buruknya perlakuan penjara membuatnya hampir mati kelaparan. Setelah Jepang kalah, ia hampir tak selamat karena di masa revolusi kecurigaan pada orang timur amat tinggi. Orang-orang Maluku Kristen sering dianggap pro-Belanda. Meski sejak dulu Latumeten getol memperjuangkan kemerdekaan Indoensia, karena jabatan tingginya di RSJ Lawang, orang Ambon, dan Kristen, ia sempat jadi tahanan anak-anak muda pro-republik meski tidak lama. Pada awal tahun 1946, Latumeten diangkat menjadi profesor psikiatri di Sekolah Tinggi Kedokteran  (cikal bakal FK UI). Di usia senjanya, ia masih dipercaya sebagai Inspektur rumahsakit jiwa di Kementerian Kesehatan Indonesia dan anggota Dewan Petimbangan Agung, bersama rekannya sesama dokter, Radjiman Wedjodiningrat. Latumeten tak lama memegang posisi ini. Menurut Pramoedya Ananta Toer dalam Kronik Revolusi Indonesia, perlakuan buruk di penjara Jepang rupanya merusak kesehatannya. Latumeten akhirnya meninggal dunia di Rumah Sakit Perguruan Tinggi Djakarta pada 30 Mei 1948 dalam usia 60 tahun.

  • Peristiwa di Malang yang Terus Dikenang

    LANTARAN sering melihat suaminya terpingkal-pingkal ketika menceritakan pengalamannya tak lama setelah proklamasi kemerdekaan, Raden Roro Utami Ramelan (kemudian dikenal sebagai Utami Suryadarma; rektor Universitas Res PUblica 1964-1966) menuslikan pengalaman lucu suaminya, Suryadi Suryadarma (KSAU 1946-1963), itu dalam memoar berjudul Saya, Soeriadi dan Tanah Air . Pengalaman itu terjadi di Malang. Setelah mendapat tugas membantu Kepala Staf Umum TKR Letjen Urip Sumohardjo menyusun Tentara Keamanan Rakyat (TKR), termasuk TKR Djawatan Oedara, Suryadarma ditugaskan Urip ke Jawa Timur untuk mengkonsolidasi beragam kelompok perjuangan setempat guna dilebur ke dalam TKR. Ditemani Adisutjipto, Suryadarma berangkat ke Surabaya beberapa hari menjelang 10 November. “Maka di Surabaya, ketika mereka berdua sudah bertemu-muka dengan pimpinan pertempuran, mereka memberikan berbagai penjelasan yang diperlukan,” kata Utami dalam memoarnya. Suryadarma dan Adisutjipto lalu melanjutkan perjalanan ke Pangkalan Udara Bugis (kini Lanud Abdurrahman Saleh), Malang. Lanud ini merupakan lanud pertama yang dioperasikan Indonesia setelah merdeka. Adalah Mayor Mutakat Hurip, ketua Koordinator Badan Perjuangan eks militer, yang membuatnya bisa dioperasikan lantaran berhasil melakukan pengambilalihan persenjataan –mulai dari senjata penangkis udara, persenjataan detasemen pengaman lapangan, hingga 105 pesawat di lanud– dari pihak Jepang di bawah Kolonel Katagiri pada September 1945. Setelah beroperasi, Hendro Suwarno ditunjuk menjadi komandan pangkalan oleh Kolonel Sujai dari Divisi VII. Lantaran masa revolusi, di mana hampir semua segi masih dirintis dari nol, penunjukan Hendro pun berjalan lucu. “Hendro Suwarno pangkatnya apa?” tanya Sujai. “Wah, nggak ngerti. Lha, Pak Jai pangkatnya apa?” jawab Hendro. “Ya kolonel. Kalau begitu, Mas Hendro Letnan Kolonel.” “Lalu, apa kerjanya?” tanya Hendro. “Begini saja, saya pegang bagian pendidikan, you pegang operation. Komandan pangkalannya Hendro Suwarno. Yang lain, ya berpangkat mayor saja,” kata Sujai, dikutip Irna HN Soewito dkk. dalam Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950 . Letkol Hendro itulah yang berupaya ditemui Suryadarma dan Adisoetjipto. Maka, begitu sampai Lanud Bugis, keduanya langsung menuju kantor Hendro dan diterima ajudan sang komandan dengan sebilah katana di pinggang. Keduanya dipersilakan menunggu. Setelah cukup lama menunggu, keduanya dipersilakan masuk ke ruang kerja Letkol Hendro. Alih-alih langsung menemui kedua tamunya, Hendro justru menanyakan siapa sang tamu kepada ajudannya. Sang ajudan lalu meneruskan, “Siapa Anda?” Selanjutnya, dioalog antara tamu dan Hendro pun berlangsung terus-menerus melewati perantaraan ajudan. Hal itu membuat Suryadarma dan Adisoetjipto selalu menahan tawa setiap kali melihat ajudan datang. “Soeriadi dan Adisoetjipto tahu persis bahwa si komandan sedang meniru seorang komandan tentara Jepang yang berhadapan dengan seorang pribumi,” kata Utami. Semuanya berakhir ketika Suryadarma menjelaskan bahwa dirinya merupakan utusan Kepala Staf Umum TKR Letjen Oerip. Mengetahui tamunya adalah orang yang lebih tinggi pangkatnya, Hendro langsung menghampiri Suryadarma dan Adisoetjipto sambil meminta maaf. “Soeriadi dan Adisoetjipto tidak dapat lagi menahan gelinya, dan meledaklah tawa mereka terbahak-bahak. Komandan pangkalan malu sekali, apalagi setelah mengetahui ia sedang berhadapan dengan pucuk pimpinannya sendiri,” sambung Utami.

  • Menolak Penaklukkan Jawa atas Malayu

    Bupati Dharmasraya, Sutan Riska Tuanku Kerajaan, menolak narasi penaklukkan dalam penulisan sejarah Ekspedisi Pamalayu. Ekspedisi ini adalah sebutan bagi pengiriman arca Amoghapasa oleh Raja Singhasari, Kertanagara, kepada Raja Malayu di Dharmasraya. Jika dikonversikan ke penanggalan Masehi, ekspedisi itu terjadi pada 22 Agustus 1286. Sutan Riska mengatakan dalam beberapa penulisan sejarah, Ekspedisi Pamalayu kerap disamakan dengan operasi penaklukkan Singhasari atas Malayu atau secara luas, Jawa atas Sumatra. Konon, utusan Raja Kertanagara dengan sejumlah pasukan datang ke Kerajaan Malayu membawa Arca Amoghapasa untuk menduduki wilayah itu. "Ada yang aneh dengan narasi penaklukkan ini. Jika memang menaklukkan mungkinkah membawa arca Amoghapasa? Sementara Amoghapasa itu lambang kasih sayang," kata Sutan Riska saat membuka Festival Pamalayu di Museum Nasional, Jakarta, Kamis (22/8). Belum lagi, lanjut Sutan Riska, Raja Malayu, Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa juga bersedia menyerahkan dua putrinya, Dara Petak dan Dara Jingga untuk dibawa serta ke Jawa. "Apakah itu sebuah penaklukkan?" tanya Sutan Riska. Sutan Riska mengkhawatirkan narasi itu berisiko memecah belah persatuan antarpulau di Nusantara. Baginya, Ekspedisi Pamalayu lebih kepada perjalanan utusan Singhasari untuk menjalin persahabatan dengan negeri Malayu. "Jadi, ini narasi peristiwa persahabatan diubah jadi sebuah penaklukkan. Nanti melalui festival kita semai benih baru," kata Sutan Riska. Keyakinan Sutan Riska didukung pula oleh keterangan dari Prasasti Padang Roco yang dipahat pada alas arca Amoghapasa. Disebutkan pada 1208 Saka (1286) arca Amoghapasa dengan 14 pengiringnya serta tujuh ratna permata dibawa dari Bhumi Jawa ke Swarnabhumi atau Sumatra.  Arca itu dikirim supaya ditegakkan di Dharmasraya. Ia adalah hadiah dari Sri Maharajadhiraja Kertanagara kepada rakyat Dharmasraya. Untuk mengantar arca itu, Kertanagara menunjuk Rakryan Mahamantri Dyah Adwayabrahma, Rakryan Sirikan Dyah Sugatabrahma, Samagat Payanan Han Dipankaradasa, dan Rakryan Damun Pu Wira.  "Harapannya semoga hadiah itu membuat segenap rakyat bergembira. Ini disebutkan jelas dalam prasasti. Jadi bukannya membuat rakyat sedih, murung, atau ketakutan," kata Bambang Budi Utomo, arkeolog senior Pusat Penelitian Arkeologi Nasional ketika ditemui usai acara. Menurut Bambang, jika kemudian dikisahkan sampai membawa banyak prajurit, itu untuk keperluan mengawal hadiah dan para pejabat yang mengantarnya. Artinya bukan untuk keperluan militer.  "Salah satunya pengisahan di Pararaton  memang membikin kabur. Tapi sebagai sumber tentu lebih otentik prasasti," kata Bambang. Ekspedisi bukan Ekspansi Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sebagai pembicara kunci dalam diskusi itu menjelaskan, istilah ekspedisi dalam historiografi Belanda seringnya dipakai dalam konteks ekspansi perluasan wilayah.  "Istilah ekspedisi itu perlu ditinjau kembali. Kalau Belanda menamainya ekspedisi, itu berdasarkan perspektif mereka pada masa itu," kata Hilmar. Boleh jadi historiografi kekinian masih mewarisi historiografi kolonial. Karenanya istilah ekspedisi masih dipakai. "Itu biasa dalan historiografi," kata Hilmar. Kenyataannya, Hilmar melanjutkan, Kerajaan Singhasari ketika itu tidak dalam posisi dominan untuk menguasai kerajaan lain. Pamalayu sesungguhnya adalah perjumpaan antara dua kekuatan yang setara. Buktinya adalah pengiriman arca dan adanya hubungan pernikahan antara putri Malayu dan putra Jawa. "Dasar interaksi bukan saling mengalahkan tapi untuk kemakmuran," kata Hilmar. Menurut Hilmar, di antara kerajaan-kerajaan di Nusantara, khususnya pada masa Hindu Buddha tak ada satu kekuatan yang lebih menonjol dibandingkan lainnya. Bahkan Majapahit sebagaimana disebut dalam Desawarnana atau Kakawin Nagarakrtagama  yang ditulis Mpu Prapanca pada abad ke-14. Kekuasaan kerajaan yang disebut hampir meliputi Nusantara itu bukan berarti karena sukses mengalahkan kerajaan lain dan mendudukinya. "Itu adalah bentuk pengakuan lokal terhadap kekuatan Majapahit. Bukan kalah-mengalahkan, kuasa-menguasai," kata Himar. Begitu pula dalam kasus Pamalayu. Lewat pemahaman yang lebih baik, peristiwa Pamalayu merujuk pada perjalanan utusan Singhasari ke Malayu untuk membuka hubungan kerja sama. "Dalam semangat ini kita perlu melihat lagi hubungan-hubungan antardaerah pada masa lalu di Nusantara untuk memaknainya kembali," kata Hilmar.

  • Drama di Gunung Dora

    AWAL Februari 1948, sesuai kesepakatan Perjanjian Renville, Divisi Siliwangi harus meninggalkan kantong-kantong mereka di seluruh Jawa Barat dan menempati basis baru mereka di sebagian Jawa Tengah dan Yogyakarta. Sebagai pasukan laskar yang sudah melebur ke Divisi Siliwangi, Pasoekan Pangeran Papak (PPP) tak terlepas dari kewajiban tersebut. “Namun sesampai di Yogyakarta, ayah saya meminta agar sebagian besar personil PPP pulang kembali guna tetap meneruskan perlawanan terhadap Belanda di Garut,” ungkap Basroni (56), salah satu putra Mayor S.M. Kosasih (Komandan PPP). Kosasih yang diangkat menjadi staf di Markas Besar Tentara (MBT) Yogyakarta lantas menyerahkan kepemimpinan PPP kepada wakilnya, Letnan Dua Raden Djoeana Sasmita. Atas perintahnya pula, PPP kemudian membentuk komando gabungan  dengan beberapa kesatuan gerilya Indonesia lainnya di Garut: Pasoekan Taroenadjaja, Pasoekan Banteng dan Pasoekan Dipati Oekoer. “Mereka membentuk (Markas Besar) Gerilja Galoenggoeng, yang bermarkas di hutan Gunung Dora, Parentas (perbatasan Garut-Tasikmalaya), “ demikian menurut catatan A.H. Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Jilid VII: Periode Renville. Sebagai komandan MBGG, dipilihlah Letnan Dua Djoeana. Dia kemudian memilih beberapa eks tentara Jepang sebagai bagian dari tim-nya. Aboe Bakar/Masharo Aoki (koordinator eks tentara Jepang di PPP) dipilih Djoeana untuk membawahi pelatihan militer. Sedangkan untuk bagian intelijen dan operasi tempur, Djoeana tetap mempercayakannya kepada duo Korea: Soebardjo (Guk Jae-man) dan Komaroedin (Yang Chil Sung). MBGG sendiri ada di bawah koordinasi Brigade Tjitaroem, pimpinan Letnan Kolonel Soetoko. Namun pada Agustus 1948, Soetoko terciduk militer Belanda sehingga Brigade Tjitaroem kemudian berpindah pimpinan kepada Letnan Dua Tjoetjoe Adiwinata, pimpinan Pasoekan Taroenadjaja. “Selain menghadapi militer Belanda dan pasukan Negara Pasundan, MBGG juga bertugas untuk mengondisikan upaya penyusupan prajurit-prajurit Divisi Siliwangi dari wilayah Republik ke Garut dan Tasikmalaya,” demikian menurut buku Siliwangi dari Masa ke Masa yang ditulis oleh Tim Penyusun Sejarah Militer Kodam VI Siliwangi. *   Senin, 25 Oktober 1948. Gelap membekap Desa Parentas malam itu. Di markas MBGG, Djoeana, Aboe Bakar, Komaroedin dan Oesman, masih terlibat dalam pembicaraan serius sekitar pengkondisian pasukan penyusup dan pembahasan taktik untuk melawan pasukan Negara Pasundan dan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Sementara keempatnya melakukan pertemuan, di ruangan lainnya Soebardjo yang sedang sakit tengah berbaring. Di luar, penjagaan dilakukan oleh dua gerilyawan asal Korea, Adiwirio (Woo Jong Soo), Oemar (Lee Gil Dong) serta 4 orang Jepang, salah satunya kerap dipanggil Soenario.   Hingga lewat tengah malam (memasuki Selasa, 26 Oktober 1948), rapat masih terus berlangsung alot. Tepat pukul 01.30, tetiba terdengar rentetan tembakan. Bersamaan munculnya suara tembakan tersebut, tim buru sergap Yon 3-14-RI langsung mendobrak pintu gubuk tempat para pimpinan MBGG tengah rapat setelah sebelumnya berhasil melumpuhkan para penjaga. “Ayah saya yang sedang ngetik , tidak sempat meraih senjata. Mereka yang ada di ruangan itu kemudian langsung ditawan,” ujar Kandar, putra tertua dari Djoeana. Operasi penggerebakan Tim 3-14-RI itu berhasil menewaskan 3 orang Jepang dan meringkus Soebardjo, Aboe Bakar, Komaroedin, Oesman dan Djoeana. Sementara 2 orang lainnya yakni Adiwirio dan Soenario berhasil lolos. Namun menjelang siang, Soebardjo mencoba lari dan langsung dieksekusi. “(Soebardjo) tertembak mati…” tulis Djoeana dalam selembar catatan hariannya. Dengan tertembaknya Soebardjo maka berakhirlah drama di Gunung Dora. Haji Udin (83), masih ingat bagaimana keempat tawanan itu digiring dari Gunung Dora dalam tatapan duka para penduduk Parentas. Laiknya tawanan berbahaya, mereka diperlakukan sangat ketat: tangan dan leher diikat tali yang memanjang dan dipegang para prajurit 3-14-RI secara bergantian. “Saya melihat selain Pak Aboe Bakar, tawanan lain ditutupi mukanya dengan sarung, ‘ungkap Haji Udin yang saat itu masih berusia 12 tahun. Di Desa Pameungpeuk, tetangga Parentas, rombongan militer Belanda yang membawa 4 tawanan itu berhenti. Mereka lantas membakar rumah-rumah yang pemiliknya dicurigai sebagai antek kaum gerilyawan Republik. Menurut Emen (92), salah seorang saksi mata kejadian itu, penentuan dibakar-tidaknya suatu rumah didasarkan atas petunjuk seorang bumiputera yang ikut militer Belanda saat itu. “Kami tahu dia orang Panyeredan (tetangga Pameungpeuk). Tak kami sangka ternyata dia anjing Belanda,”ujar Emen. Seterusnya tawanan dibawa ke Ciharus (markas tentara Belanda di wilayah Wanaraja), lalu dibawa ke Jakarta. Menurut catatan harian Djoeana, mereka kemudian dipisahkan: Aboe Bakar, Komaroedin dan Oesman ditahan di Penjara Glodok sedangkan Djoeana dijebloskan ke Penjara Cipinang. * PADA Februari 1949, pengadilan militer Belanda di Jakarta memutuskan Aboe Bakar, Komaroedin dan Oesman dihukum mati sedangkan Djoeana hanya mendapat hukuman penjara seumur hidup. Pertengahan Mei 1949, ketiga eks tentara Jepang itu lantas dibawa kembali ke Penjara Garut. Menurut Yoyo Dasrio salah seorang jurnalis Garut yang sempat menelusuri kisah ini, dua hari menjelang hukuman mati dilangsungkan mereka bertiga membuat permintaan terakhir. “Saya dengar sendiri dari Lebe (penghulu agama Islam) yang mengurus mereka bertiga menjelang kematian, saat menjalani hukuman mati mereka ingin berpenampilan seperti bendera Republik Indonesia: memakai sarung merah dan baju serta celana berwarna putih,”ungkap Yoyo kepada saya pada 2015. Sabtu, 21 Mei 1949 (berdasarkan berita yang dilansir dari surat kabar Nieuwe Courant , 24 Juni 1949), Aboe Bakar, Komaroedin dan Oesman digiring ke kawasan komplek pemakaman Belanda (Kerkof) di Garut. Tepat di pinggir Sungai Cimanuk, mereka ditembak mati dalam penampilan seperti bendera Merah-Putih. Jasad mereka kemudian dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Pasirpogor, sebelum pada 1975 dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Tenjolaya, Garut.

  • Senjata Kena Guna-Guna

    Pada 10 Juni 1980 pukul satu dini hari.Pasukan Fretilin, yang menginginkan Timor Timur merdeka penuh, menduduki studio TVRI di Kota Dili. Mereka menembaki pos polisi. Suara tembakan itu membangunkan Jusuf Manggabarani, Komandan Brimob di Marcado, Kota Dili. Dia langsung mengambil senjata dan memberikan pistol kepada istrinya, Sumiati, yang juga seorang polisi wanita dan baru melahirkan. Jusuf mengumpulkan 16 anggota untuk merebut studio TVRI dan mengamankan anggotanya di pos penjagaan. Dia menaksir pasukan Fretilin berjumlah 32 orang. Jarak antara asrama Brimob dengan studio TVRI tidak jauh, namun jalannya berkelok-kelok karena perbukitan. Jusuf dan anak buahnya berangkat dengan mobil Datsun tua. Fretilin menembaki mobil itu. “Maju terus pantang mundur. Awasi segala arah dengan sigap. Awas, jangan ada yang menembak. Selama bersama saya yakinlah tak akan kena peluru. Maju saja. Lurus. Terus,” kata Jusuf dalam biografinya , Cahaya Bhayangkara . Setelah mobil berhenti. Jusuf memerintahkan anggotanya naik ke atas untuk memberikan bantuan kepada pos polisi yang diserang. Jusuf terus memantaunya. Tiba-tiba. Seorang anak buahnya berteriak, “Sial komandan…” “Sial kenapa?” “Senjata kita diguna-guna!” “Diguna-guna?” “Tidak bisa meletus!” Jusuf merayap dan mendekati anak buahnya itu. Dia mengambil senjatanya. “Sial apa? Mana magasinnya? Belum dipasang ini!” bentak Jusuf. Magasin belum dipasang mungkin karena buru-buru. “Siap salah komandan, belum dipasang,” kata anak buahnya yang segera mengambil magasin dari ransel dan memasangnya. “Apanya yang diguna-guna? Magasin belum dipasang,” kata Jusuf kepada anggotanya. Sambil tersenyum, mereka pun segera memeriksa senjatanya jangan sampai magasinnya belum dipasang. Pertempuran berlangsung sampai ayam berkokok. Seiring matahari terbit, Fretilin mundur. TVRI bisa dikuasai. Namun, beberapa anggotanya di pos penjagaan terluka, dua di antaranya, Kelau Nahak dan Marzuki, terluka parah. Jusuf memangku Kelau Nahak. “Bapak Bot (Bapak Besar). Maafkan saya komandante. Saya tidak bisa melindungi Komandante Polis Komando,” kata polisi asal Timor Timur itu. “Sudah begini kamu masih mikirin Komandan. Bertahanlah Kao nahak, kami berikan bantuan,” kata Jusuf. Namun, Kelau Nahak dan Marzuki tidak tertolong. Jusuf sedih karena istri Kelau Nahak belum lama melahirkan. Dia baru saja menjadi seorang bapak. Keberhasilan merebut TVRI dari Fretilin membuat Jusuf ditawari kenaikan pangkat kehormatan. Namun, dia menolak dan sempat diprotes anak buahnya. Namun, Jusuf meminta dia dan anak buahnya diberikan kesempatan sekolah. Jusuf bertugas di Brimob selama sepuluh tahun dari Dansat Brimob Polda Sulsera sampai Danmen II Korps Brimob Polri. Kariernya terus naik dengan menjabat Kapoltabes di Ujung Pandang kemudian Kapolwiltabes Bandung. Polisi spesialis daerah konflik ini kemudian menjabat Wakapolda Sulsel, Dankor Brimob Mabes Polri-Kapolda Aceh, dan terakhir menjabat Wakapolri.

  • Gagasan Perluasan Wilayah Jakarta

    Wali Kota Bogor Bima Arya melontarkan wacana memisahkan diri dari Jawa Barat dengan membentuk Provinsi Bogor Raya. Tim khusus yang dibentuk Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Bogor tengah melakukan kajian yang direncanakan rampung akhir tahun ini. Menurut Bima sebagaimana dikutip detik.com , setelah kajian itu selesai akan disampaikan kepada Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil –yang meminta hentikan wacana Provinsi Bogor Raya. Dalam kajian itu, Bima menyebut ada tiga opsi, yaitu perluasan wilayah, pembentukan Provinsi Bogor Raya, dan memaksimalkan koordinasi antarwilayah. Namun, Bima mengaku mendengar Bupati Bogor Ade Yasin lebih setuju dengan pembentukan Provinsi Bogor Raya. Menanggapi hal itu, Walikota Bekasi Rahmat Effendi memilih menjadi bagian dari Jakarta. Bekasi  menjadi Jakarta Tenggara . Apalagi menurutnya, Jakarta pernah menawarkan agar Bekasi menjadi bagian dari wilayahnya. Begitu pula dengan Wali Kota Depok M. Idris Abdul Somad yang cenderung memilih bergabung ke Jakarta daripada Provinsi Bogor Raya. Keinginan Bekasi dan Depok menjadi bagian dari Jakarta seakan menghidupkan kembali gagasan perluasan wilayah Jakarta yang diupayakan Gubernur Mayjen TNI (KKO) Ali Sadikin (menjabat 1966-1977). Menurut Ali, gagasan meluaskan Jakarta datang dari pendahulunya. Bahkan inisiatifnya dari pemerintah pusat. Kalau tak salah, Menteri Cipta Karya dan Konstruksi David Gie Cheng (menjabat 1964-1966) yang memimpin proyek perluasan Jakarta sampai ke Ciawi, Bogor, Bekasi, dan Tangerang. Sehingga Jawa Barat dibelah dua. Sebagai orang yang berasal dari Jawa Barat, Ali keberatan dengan gagasan itu karena terlalu besar. “Saya tidak setuju dengan gagasan itu. Pak Mashudi –mantan gubernur Jawa Barat– pun tahu tentang ketidaksetujuan saya. Saya tidak bisa menerima Jawa Barat akan seperti dibagi menjadi dua provinsi. Pikiran saya hanyalah membulat-bulatkan saja, …” kata Ali dalam biografinya, Membenahi Jakarta Menjadi Kota yang Manusiawi karya Ramadhan KH, cetakan baru dari Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977. Perluasan Jakarta versi Ali berangkat dari mengubah batas-batas wilayah. Dia merasa batas Jakarta yang dulu mesti diubah karena garis-garis batas itu tidak tepat. Dia pun menugaskan stafnya untuk mengubah batas-batas wilayah Jakarta. “Maka staf saya kemudian mengusulkan, daerah Cibinong masuk DKI, Depok masuk DKI, Bekasi masuk DKI. Garis itu yang saya ajukan waktu pertemuan dengan Gubernur Jawa Barat, Solihin G.P.,” kata Ali. Kebetulan, Mayjen TNI Solihin GP yang belum lama diangkat menjadi gubernur Jawa Barat (menjabat 1970-1975), meminta waktu bertemu Ali Sadikin. Bahkan, Ali menugaskan agar dia dijemput di perbatasan. Ali menerima Solihin di operation room Balaikota Jakarta. Di ruangan itu, ada peta yang masih bertirai. Ali membuka tirai itu dan berkata, “Mang Ihin, saya akan mendasarkan penyambutan saya pada peta ini. Karena kita orang-orang praktis, harus operasional.” Dalam peta yang dibuat staf Ali Sadikin itu tergambar sebagian Bekasi masuk Jakarta. Begitu juga sebagian dari Tangerang dan Bogor. Solihin mengerutkan wajah melihat peta itu. Ali berkata lagi, “Saya ditugaskan oleh rakyat saya untuk memenuhi kebutuhan pengembangan Jakarta. Oleh karena itu, daerah ini (saya tunjuk daerah-daerah itu), daerah ini dan ini harus masuk wilayah Jakarta. Toh Jawa Barat tidak bisa membangun. Pembangunan akan lebih cepat jika dilaksanakan oleh DKI. Mumpung Mang Ihin, putra Indonesia yang kebetulan lahir di Jawa Barat, seperti saya, yang jadi gubernur, marilah kita selesaikan ini dengan baik-baik.” Solihin berpikir dengan mengerutkan dahi. Lalu dia berkata, “Bang Ali, itu strategi yang kerdil. Saya kira Bang Ali pengatur strategi ulung yang besar. Kalau Jakarta dikembangkan seperti itu, secara strategi tidak akan membawa perkembangan yang luar biasa. “Bila memang strateginya baik,” lanjut Solihin, “mesti kita ikuti karuhun (nenek moyang) kita. Dulu Galuh itu pindah ke Pajajaran, Bogor, karena mau menyatukan komunitas di Jawa Barat dengan Jakarta. Ke utara sampai Sunda Kelapa. Dari Bogor bisa dikuasai. Ke barat, sampai Banten. Ke timur, sampai Cirebon.” Dengan demikian, Solihin mengusulkan, “satukan saja Jakarta dengan Jawa Barat. Bang Ali gubernurnya. Ibukotanya Jakarta. Bandung hanya kotamadya. Akan saya serahkan. Siapa yang bisa berkompetisi bila potensi Jawa Barat dan Jakarta menyatu. Ini baru strategi.” Namun, Solihin menegaskan, “kalau sepotong-potong seperti maunya Bang Ali, no way . Jawa Barat bisa membangun atau tidak, itu soal lain. Harus dikira-kira dong siapa gubernurnya.” Dari nada bicaranya, Ali merasa Solihin tidak setuju dengan apa yang ada di peta sembari menyindirnya. Perbedaan pendapat Ali dan Solihin sampai emosional. Temperamen keduanya sama. Ini yang Ali suka, karena Solihin berani dan mau ambil risiko –memang pemimpin yang tidak berani mengambil risiko, tidak mendapat kritik, tapi tidak berbuat apa-apa. Kata-kata tajam Ali dan Solihin terlontar bukan saja di operation room , tapi sampai di luar gedung. Orang-orang menyebutnya dua gubernur berseteru dan bermusuhan. Padahal, kata Ali, tidak begitu halnya. Orang lain tidak mengerti. Yang sebenarnya, bahkan Ali senang dengan temperamen Solihin: sama-sama tidak mau kalah, ingin maju, dan gigih. Bagi Ali, Solihin adalah sparring partner yang menyenangkan. “Banyak persamaannya dengan saya,” kata Ali, “sampai-sampai selera melihat orang cantik pun sama. Cuma dia lebih tampan dari saya.” Ali merendah padahal sama-sama tampan. Akhirnya, sekalipun tidak seperti yang diinginkan, Ali dan Solihin dapat bersepakat dalam soal garis batas, yang tadinya berkelok-kelok lalu diluruskan. Teselesaikannya batas-batas itu karena ada tekanan dari Jakarta. “Kami menyediakan biaya, ruangan, rumah, dan perkantoran untuk sekretariat, dan lain-lain. Kalau tidak begitu, tidak akan jadi-jadi,” kata Ali. Dengan adanya wacana Provinsi Bogor Raya, akankah Bekasi dan Depok bagian dari Jakarta? Kita ikuti saja perkembangannya.

  • Papua di Antara Konflik Dua Negara

    BEBERAPA hari terakhir ini pengguna Twitter dihebohkan dengan cuitan dari Permadi Arya alias Abu Janda yang menanggapi kasus penggerudukan asrama mahasiswa Papua di Surabaya. Dalam cuitan di akun pribadinya @permadiaktivis , Abu Janda menyinggung satu ormas tertentu dan mengaitkan kasus itu dengan peristiwa kerusuhan di Manokwari, Papua Barat. “Gara2 FPI geruduk asrama Papua di Surabaya.. sekarang warga Papua marah tidak terima sampai rusuh bakar2an,” tulis Permadi. Cuitan yang telah dibagikan sebanyak lebih dari 3.000 kali itu mendapat respon yang beragam. Kebanyakan dari mereka marah dengan ucapan Permadi itu. Sampai-sampai menyebut dirinya pemecah belah bangsa. Upaya memecah bangsa nyatanya telah dilakukan sejak masa awal kemerdekaan Indonesia. Belanda menjadi dalang di balik semua itu dan lagi-lagi nama Papua terseret ke dalamnya. Papua Dipisahkan Setelah Indonesia resmi berdiri sebagai sebuah negara, batas-batas wilayah segera ditetapkan. Perhatian terhadap Papua pun tidak pernah luput. Oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) wilayah paling timur Indonesia itu ditempatkan ke dalam Provinsi Maluku, dari delapan provinsi yang dipilih (Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sunda Kecil, Maluku, Sulawesi, dan Kalimantan). Sukarno bahkan menegaskan dalam pidato radio tanggal 23 Agustus 1945, setelah resmi menjadi kepala negara, bahwa Papua merupakan bagian dari Indonesia. Dikutip dari Documenta Historica karya O. Raliby: “Bangsaku sekalian! Di Sumatera, di Jawa, di Borneo, Sulawesi, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku –dari Sabang sampai Merauke!” Namun kenyataannya walau telah ditetapkan sebagai wilayah Indonesia, Papua mendapat perhatian yang kurang dari pemerintah. Hal itu membuat kekuatan Belanda, melalui Menteri Jajahan H.J. van Mook, dengan mudah merangsak masuk ke wilayah itu. Mendapat bantuan dari Inggris dan Sekutu, Belanda berhasil mengupayakan penguasaan kembali Kepulauan Indonesia melalui kekuatan Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Sebelum melancarkan aksinya, mereka menunggu pasukan Sekutu membersihkan sisa-sisa tentara Jepang di seluruh wilayah Indonesia, termasuk di Papua. Sesudah Jepang menyerah, J.P.K. van Eechoud yang mewakili pemerintah jajahan Belanda mengangkat Kolonel R. Abdoelkadir Widjojoatmodjo menjadi Commanding Officer NICA (CONICA) yang bertugas mengawasi wilayah Papua. Di sinilah peran besar van Eechoud dimulai. Dalam tulisannya “Sejarah Irian Jaya” dimuat Irian Jaya: Membangun Masyarakat Majemuk , H.W. Bachtiar menjelaskan peranan Eechoud.Ia dipercaya pemerintah Belanda untuk memimpin usaha pemisahan Papua dari daerah-daerah lain di Indonesia. Pada 15 Juli 1946, melalui Staatsblad (Lembaran Negara), Belanda menyatakan pemisahan seluruh daerah Papua dari Karesidenan Maluku dan wilayah Indonesia secara keseluruhan. Papua membentuk pemerintahan tersendiri yang dipimpin oleh van Eechoud sebagai residen pertamanya. “Pembentukan karesidenan ini tanpa mengundang perhatian, karena diadakan dalam rangka perubahan pemerintahan. Papua dianggap sebagai satu kesatuan politik yang berdiri sendiri,” tulis Bachtiar. Bachtiar juga menyebut jika para pejuang gerakan kemerdekaan Indonesia, seperti M. Kasieppo, Lucas, dan Nicolaas Jouwe, yang semula menentang penjajahan Belanda berhasil dibujuk. Sementara pejuang lain yang tetap menentang, seperti Silas Papare, Alwi Rachman, Marcus Indey, dan Lukas Rumkoren ditangkap. Pertentangan Pertama Di tempat lain, van Mook berhasil mengumpulkan kepala-kepala daerah yang tidak dikuasai pemerintah Republik Indonesia dalam sebuah konferensi, yang dikenal sebagai Konferensi Malino. Keberadaan konferensi ini sangat menentukan nasib Papua dan daerah lain yang tergoda untuk merdeka. Sementara bagi Belanda sendiri, Konferensi Malino merupakan jalan pemecahan wilayah Indonesia yang mereka cita-citakan. “Pemecahan wilayah Indonesia memberi kemungkinan kepada pihak Belanda untuk, seperti akan terbukti kemudian, memisahkan Papua dari daerah-daerah Indonesia yang lain,” tulis Bachtiar. Setelah Konferensi Malino, van Mook kembali mengadakan pertemuan di Pangkal Pinang pada 1 Oktober 1946. Kali ini sang menteri mengundang orang-orang yang ingin bebas dari Indonesia tetapi khawatir dengan kedudukannya di dalam ketatanegaraan yang baru. Golongan Indo-Belanda misalnya, mereka takut dengan nasib mereka di negeri yang merdeka ini. Oleh karena itu mereka mengusulkan agar wilayah Papua dijadikan tempat bagi golongan mereka, dan siapapun yang tidak ingin tunduk pada pemerintahan baru, dapat hidup bebas. Mereka pun meminta pemerintah Belanda memberikan status politik khusus bagi Papua. Sehingga walau berada di wilayah Indonesia, kedudukan golongan Indo-Belanda ini tetap ada di bawah Kerajaan Belanda. Usul itupun segera mendapat perhatian dari penduduk di negeri Belanda. “Kedudukan golongan Indo-Belanda di Indonesia dijadikan alasan yang dianggap sesuai dengan perikemanusiaan dan ajaran agama untuk menghindari agar Papua terlepas dari kekuasaan Belanda dan jatuh ke tangan ‘kaum republik’ (pemerintah Indonesia) yang dianggap merugikan mereka,” tulis Koentjaraningrat dalam Irian Jaya: Membangun Masyarakat Majemuk . Satu hal menarik yang terjadi pada konferensi di Pangkal Pinang adalah sikap para peserta terhadap penduduk di Papua. Meskipun wilayah paling timur Indonesia itu menjadi persoalan utama, tetapi tidak ada satupun yang menyinggung keberadaan pribumi di sana. “Dalam mempersoalkan kedudukan daerah itu, penduduknya seakan-akan tidak ada,” tulis Bachtiar. Sebagai lanjutan dari Konferensi Malino, pada 18 Desember 1946, van Mook menyelenggarakan konferensi di Denpasar. Peserta yang hadir berasal dari wakil-wakil daerah Kalimantan dan Grote Oost (Timur Besar). Agenda utamanya adalah pengajuan pembentukan Negara Indonesia Timur. Namun dalam rancangan yang dipaparkan tidak menyebut Papua sebagai bagian dari negara baru tersebut. Pemerintah Belanda tetap menghendaki Papua sebagai wilayah yang tidak terikat dengan negara manapun, kecuali Negeri Belanda. “Meskipun para peserta konferensi dipilih oleh pemerintah Belanda, van Mook tidak dapat menghindari pertentangan pendapat yang dikemukakan sejumlah peserta,” tulis Koentjaraningrat. Para peserta beranggapan Papua, sebagai daerah terbesar di wilayah timur, akan sangat membantu pertumbuhan negara baru mereka. Ditambah, sumber daya di Papua yang melimpah dapat digunakan untuk memperbaiki keadaan keuangan Indonesia Timur. Hingga hari terakhir konferensi, Belanda tetap pada pendiriannya untuk tidak melibatkan Papua. Sementara di sisi lain kecaman dan tentangan terus berdatangan dari peserta konferensi kepada usulan pemerintah Belanda itu. Tidak ada satupun kata sepakat yang terlontar. “Pertentangan pendapat ini mewujudkan pertentangan pertama antara pihak Indonesia dan pihak Belanda mengenai kedudukan Papua, suatu pertentangan yang akan berlangsung lama,” tulis Bachtiar.

  • Perang Salib Zaman Revolusi

    BUNG Hatta wakil presiden sekaligus perdana menteri resah dan jengkel. Para komandan militer di Tapanuli bikin ulah. Hatta mendapat kabar tersebut dari Gubernur Sumatra, Teuku Mohammad Hasan . “Aku menerima kawat dari Gubernur Teuku Hasan di Bukit Tinggi, meminta aku datang ke sana menyelesaikan persengketaan antara Mayor Malau dan Mayor Bejo, yang sudah terjadi sebagai perang utara-selatan,” tutur Hatta dalam memoarnya Untuk Negeriku: Sebuah Otobiografi . Ribut-ribut di Tapanuli sebenarnya sudah terdengar sejak September 1948. Mayor Liberty Malau, komandan Brigade Banteng Negara (termasuk laskar Naga Terbang dan Legiun Penggempur) memegang kawasan utara. Di selatan, terdapat Brigade B (termasuk laskar Harimau Liar) yang dipimpin Mayor Bejo. Beberapa pentolan laskar terkemuka tergabung di kedua pasukan itu.   Entah sebab apa, pasukan Bejo dan Malau saling baku tembak, gempur-menggempur, dan lucut-melucuti. Panglima Komandemen Sumatra Jenderal Mayor Suhardjo Hardjowardoyo tidak sanggup menangani. Setiba di Bukit Tinggi, Hatta mengutus Letkol Alex Kawilarang membereskan situasi Tapanuli. “Selama hampir dua bulan perang antara Bejo dan Malau itu berkecamuk dengan hebatnya,” tulis Edisaputra dalam Sumatra dalam Perang Kemerdekaan . Kawilarang Dihadang Pada November 1948, Kawilarang berangkat ke Tapanuli. Para stafnya turut mendampingi, Mayor Ibrahim Adjie  dan Letnan K. Hutabarat.  Sekira 15 km di sebelah selatan Sibolga, rombongan Kawilarang  dicegat sekelompok pasukan “Utara”. Melihat tanda pangkat Kawilarang, mereka memberi hormat. Pasukan itu mengawal Kawilarang sampai Sibolga.   “Kepada Adjie saya sebut mereka crusades , karena mereka memakai sehelai kain ( lap ) yang diikatkan di kepalanya dengan memakai tanda palang. Maklumlah, provokasi agama sudah menyebar waktu itu,” kenang Kawilarang dalam otobiografi A.E. Kawilarang untuk Sang Merah Putih . Menurut Kawilarang perang saudara di Tapanuli itu bersoal pada kekuasaan belaka. Baik pasukan Bejo dan Malau semula sama-sama datang dari Sumatra Timur. Semuanya berteman baik sebagai rekan seperjuangan dalam front Medan Area hingga agresi Belanda pertama. Setelah Perjanjian Renville, semuanya berkumpul di Tapanuli yang di kemudian hari menimbulkan gesekan. Pertikaian dimulai dengan meletusnya provokasi-provokasi antara tentara dan eks laskar. Setelah hijrah ke Tapanuli, timbul pertentangan antara pasukan yang berasal dari Tapanuli dan pasukan pendatang. Malahan sampai muncul dikotomi antara “Batak Raya” dan kelompok yang berasal dari daerah lain. Sentimen agama pun turut terbawa-bawa dan semakin memperuncing keadaan. “Saya rasa provokasi-provokasi itu datang dari avonturir politik yang menghasut beberapa komandan untuk bermusuhan terhadap pasukan lain,” kata Kawilarang. Menurut Edisaputra, isu negara Batak Raya dihembuskan oleh Kol. Tituler Mr. Abas yang hendak memisahkan diri dari Republik Indonesia.        Pembagian Sektor Sebagai utusan dari pemerintah pusat, Kawilarang bergerak untuk menengahi pihak yang bertikai. Dia menemui Residen Tapanuli Ferdinand Lumbantobing meminta keterangan. Kemudian menemui Malau lalu Bejo. Semuanya dilaporkan kepada Bung Hatta dan Panglima Komandemen Sumatra yang baru Kolonel Hidayat ketika mereka tiba di Sibolga.    Pagi hari 28 November 1948, Hatta, Hidayat, Kawilarang, Ferdinand Lumbantobing, dan Bejo berkumpul urun rembug. Untuk mengatasi keributan di Tapanuli, Hidayat meminta saran Kawilarang. Menurut Kawilarang bukan perkara sulit. “Bubarkan brigade-brigade dan bentuklah sektor-sektor,” kata Kawilarang yang kemudian membagi sektor berikut komandannya. Sektor I komandannya Mayor Bejo, wilayah operasi meliputi Tapanuli Selatan. Sektor II komandannya Mayor Malau, wilayah operasi Tapanuli Utara. Sektor III komandannya Mayor Selamat Ginting, wilayah operasi Dairi . Sektor IV komandannya Kapten O. Sarumpaet, wilayah operasi Sibolga. Sektor S komandannya Mayor Husein Lubis, wilayah operasi pesisir Sibolga. Tiap pasukan sektor tidak diperkenankan melangkah ke batas kecuali ada keperluan penting. Itupun tanpa membawa senjata. Selain itu, pasukan-pasukan tiap sektor ditetapkan sedemikian rupa untuk memenuhi syarat melaksanakan perang gerilya. Demikian rencana Kawilarang.   Bung Hatta menyetujui gagasan Kawilarang. Mulai hari itu juga, Kawilarang diangkat sebagai Panglima Sumatra Utara. Malau dan Bejo bertugas dan bertanggung jawab kepada Kawilarang. Bejo dan Malau, via Residen Lumbantobing menerima putusan itu. Pasukan ALRI yang ada di pantai Sibolga juga tunduk kepada Kawilarang. Polisi yang ada di Sibolga untuk sementara waktu juga demikian. “Akhirnya aku ucapkan bahwa putusan yang baru diambil itu harus dijalankan segera dengan taat,” ujar Hatta. Hatta lega, masalah di Tapanuli dapat terselesaikan. Tidak lupa dia mengucapkan selamat bertugas kepada Kawilarang seraya berharap supaya dia melaksanakan tugasnya dengan baik. Setelah Bung Hatta memungkasi titahnya, maka usailah episode "perang salib" di Tapanuli.

  • Kondisi Perbatasan Sunda dan Jawa

    SUNDA adalah tanah para kesatria. Pun bagi para pelaut. Pelaut-pelaut Sunda begitu pemberani dan selalu siap berperang. Keduanya lebih terkenal dibandingkan kesatria dan pelaut Jawa. Demikian menurut penjelajah Portugis, Tome Pires dalam catatannya, Suma Oriental pada abad ke-16 . Dia kerap membandingkan Sunda dengan Jawa. Menurutnya orang Sunda selalu bersaing dengan orang Jawa. Begitupun orang Jawa selalu ingin bersaing dengan mereka. Dalam keseharian, orang Jawa dan Sunda tidak banyak berteman. Namun tidak pula bermusuhan. Mereka mengurus urusan masing-masing. Mereka saling berdagang. Tetapi jika bertemu di lautan sebagai bajak laut, pihak yang lebih siap akan lebih dulu menyerang. “Serangan akan selalu terjadi di Cimanuk, tak peduli betapa pun erat hubungan atau pertemanan di antara mereka,” jelas Pires. Pelabuhan Cimanuk menjadi pembatas kedua negeri itu. Sungainya membelah dan mengalir di antara wilayah Sunda dan Jawa. Karenanya, kendati sama-sama ada di Pulau Jawa, orang akan mengira dua kerajaan itu berada di pulau yang berbeda. “Siapapun yang pernah datang ke tempat ini akan melihat bahwa kedua negeri sesungguhnya berada di tanah yang sama, karena dahan terluar dari pohon itu saling bersentuhan,” jelas Pires. Di ujung sungai, ada Pelabuhan Cimanuk. Kata Pires, pelabuhan ini bukan tempat bagi jung untuk merapat, melainkan hanya tiang pelabuhan. “Demikian kabar yang disampaikan oleh orang-orang, sebagai lainnya mengiyakan,” kata Pires.  Pelabuhan ini berada di bawah kekuasaan Raja Sunda. Cimanuk menjalankan perdagangan yang baik, di mana Jawa juga berdagang dengannya. Di sana ada sebuah kota yang besar dan bagus. Para kapten dan penguasa di pelabuhan ini merupakan tokoh penting. Mereka semua ditakuti dan dipatuhi oleh penduduk yang hidup di wilayahnya masing-masing. Banyak orang Moor, sebutan Pires bagi orang muslim, tinggal di perbatasan kerajaan itu. Kerajaan Sunda tak memberi izin bagi orang Moor untuk masuk ke wilayah mereka. Kecuali bagi sedikit saja dari mereka. Jika menurut Pires perbatasan Sunda-Jawa pada abad ke-16 berada di Sungai Cimanuk, yang kini mengaliri wilayah Indramayu hingga Garut, itu berbeda pada masa yang lebih tua. Wilayah Kerajaan Sunda pada masa Pires sepertinya menyempit jika dibandingkan keterangan dalam catatan perjalanan Bujangga Manik. Menurut Jacobus Noorduyn, ahli linguistik Belanda, catatan Bujangga Manik mungkin ditulis pada sekira perempat kedua abad ke-15. Tak mungkin lebih awal dari itu. Tak mungkin pula lewat dari 1511, yaitu ketika Malaka dirampas oleh orang Portugis. Pada masa itu, menurut Noorduyn, masih disebut wilayah Kerajaan Majapahit membentang bertemu batas dengan wilayah Kerajaan Sunda. Sungai di Brebes menjadi pembelahnya. Sungai itu dulu disebut Cipamali. Sekarang ia disebut Kali Pamali. “[Wilayah Majapahit] meliputi seluruh bagian yang penduduknya berbahasa Jawa di pulau itu, kecuali mungkin daerah Demak,” jelas Noorduyn. Bujangga Manik, pertapa Hindu-Sunda, melakukan pengembaraan suci dari istana Pakuan (sekarang, Bogor), melewati wilayah utara Jawa bagian barat. Dia lalu menyusuri pantai utara Jawa Tengah, Jawa Timur, hingga ke ujung Jawa bagian timur. Dari sana, dia kembali ke Sunda lewat selatan. Dalam perjalanannya, Bujangga Manik melalui perbatasan budaya Sunda dan Jawa, yaitu Sungai Cipamali. Di perbatasan kedua negara ini rupanya ada tempat yang dikeramatkan. Sebelum menyeberang ke Jawa, dia menyempatkan diri singgah di Arega Jati kemudian ke Jalatunda. Agus Aris Munandar dalam  Siliwangi, Sejarah, dan Budaha Sunda Kuna menjelaskan, Arega jati mungkin merupakan suatu perbukitan atau bukit yang dinamakan Jati. Sebab arega berasal dari kata Sanskerta, Agra yang artinya Gunung. Sementara Jalatunda merupakan petirtaan atau sumber air yang disucikan.  Sekarang, di dekat perbatasan Kabupaten Kuningan dan Brebes ada tiga puncak bukit yang disebut penduduk dengan Gunung Tilu. Bentuk tiga bukit berdekatan, dalam budaya Jawa kuno dan Sunda Kuno, merupakan jelmaan puncak Mahameru yang bergerigi.Sementara Arega Jati bisa berarti Gunung Sejati atau sejatinya gunung. Itu tak lain adalah simbol Gunung Meru, di mana dewa-dewa bersemayam. Catatan Bujangga Manik tak banyak membandingkan kedua negara itu, sebagaimana yang dilakukan Pires. Namun, catatan itu setidaknya memuat informasi kalau waktu itu di wilayah Majapahit banyak pusat-pusat keagamaan terkenal, tempat Bujangga Manik mengabdikan dirinya sebagai pertapa dan meninggalkan kehidupan bangsawannya di Sunda.*

  • Menonton Indonesia dalam Film Berita

    Pada awal kemerdekaan, ketika belum banyak media massa, pemerintah Indonesia menggunakan film berita sebagai salah satu media komunikasi. Karena dominan akan muatan agitatif dan politis, film berita sering dikatakan sebagai film propaganda. Sebelumnya, film berita juga telah diproduksi oleh pemerintah Jepang di Indonesia dan digunakan untuk propaganda militer yang diputar melalui layar tancap di desa-desa. Kemudian pasca Proklamasi 1945, kelompok Berita Film Indonesia mulai mengambil alih produksi film-film berita. Periode revolusi (1945-1949) menjadi tema utama film-film berita masa itu. Kelompok ini membuat tiga film berjudul Berita Film Indonesia No. 1-3. Produksi film berita berlanjut pasca penyerahan kedaulatan pada 1949. Perusahaan Film Negara (PFN) mulai memproduksi film berita bertajuk Gelora Indonesia , mulai 5 Januari 1951 hingga tahun 1976. Rekaman-rekaman Gelora Indonesia saat ini tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Berangkat dari hal itu, ARKIPEL Bromocorah – 7 th Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival mengadakan pameran film berita bertajuk Kultursinema #6: Gelora Indonesia di Museum Nasional yang digelar selama tujuh hari, 18-25 Agustus 2019. Acara ini bekerja sama dengan Pusat Pengembangan Perfilman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, ANRI, Perum Produksi Film Negara, dan Museum Nasional. Pameran ini menyajikan 61 edisi film berita Gelora Indonesia yang bertujuan untuk menunjukan salah satu media pemerintah pada era tersebut serta apa dan bagaimana informasinya disampaikan. Pengunjung dapat menyaksikan kembali narasi-narasi film berita yang buat sejak era Sukarno hingga Soeharto melalui enam layar proyektor serta beberapa layar LCD. "Karena keluaran pemerintah, mereka menyiarkan kira-kira, satu mungkin mereka bikin semacam laporan sebagai negara baru, apa-apa saja yang dilakukan di negara ini sekarang. Kemudian juga ada gambaran citra yang diberikan untuk membangkitkan semangat supaya punya cita-cita kolektif dan bersatu buat revolusi," kata Dini Adanurani, salah satu kurator pameran, kepada Historia . Pameran ini juga dibuat sebagai alternatif media pembelajaran sejarah yang selama ini didominasi oleh buku-buku pelajaran di sekolah. “Saya kira bakal sangat menarik dan edukatif buat masyarakat terutama anak-anak yang masih sekolah. Itu untuk bisa melihat secara langsung negara punya pesan apa dan medianya bagaimana serta bagaimana cara mereka menyampaikannya,” kata Dini. Pameran ini dikuratori oleh Mahardika Yudha, Afrian Purnama, Dini Adanurani, Luthfan Nur Rochman, Prashati Wilujeng Putri, Robby Ocktavian, dan Wahyu Budiman Dasta. Dini menyoroti konten Dunia Wanita dalam Gelora Indonesia. Melalui tajuk tersebut, Gelora Indonesia telah memberi ruang representasi khusus bagi perempuan. Hal ini berbeda dengan narasi sejarah Indonesia secara umum, terutama pada awal-awal pendiriannya, yang secara politis didominasi tokoh-tokoh laki-laki. Meski demikian, representasi perempuan dalam film berita, masih perlu dikaji lagi. Pasalnya, terutama pada Gelora Indonesia, meski orang di belakang layar adalah anonim, pada suara narator misalnya, hampir semua laki-laki. Dini hanya mendapati satu segmen dengan suara narator perempuan. Di mana dan bagaimana perempuan direpresentasikan kemudian menjadi penting untuk ditinjau. “Para perempuan di masa kebangkitan hanya diceritakan melalui mata dan mulut yang maskulin. Mereka tidak mendapat kesempatan untuk menjelaskan dirinya sendiri,” kata Dini. Berangkat dari hal itu, Dini membuat kompilasi fragmen-fragmen edisi Gelora Indonesia untuk menampilkan bias-bias narasi terhadap perempuan tersebut. Sementara itu, Afrian Purnama, membingkai ulang transisi-transisi visual yang digunakan sebagai jembatan antar rekaman peristiwa. Menurutnya, transisi membawa penonton Gelora Indonesia masuk dalam ruang di mana politik tidak tampak, tempat yang hanya berisi bentuk visual yang paling dasar; tanpa tokoh juga narasi propaganda sehingga keberadaannya mungkin bias juga dilihat untuk menempatkan penonton dalam kondisi default selama sementara waktu (kurang dari satu detik), menyelamatkan penonton dari kepungan visual dan narasi politik Gelora Indonesia . Kurator Prahasti Wilujeng Putri, menyajikan bagaimana Gelora Indonesia membingkai dan mengkoreografi massa. Dia juga menghilangkan suara narator untuk menunjukan bagaimana visual bekerja. Kurator Wahyu Budiman Dasta membahas bagaimana film berita Gelora Indonesia menampilkan narasi sepakbola dalam konten Olahraga, serta bagaimana sang narator bekerja untuk membawa pemirsa seperti menonton pertandingan aslinya. Produksi film berita Gelora Indonesia melewati dua periode pemerintahaan yakni era Sukarno dan Soeharto. Hal itu kemudian ditilik oleh Luthfan Nur Rochman melalui segmen pembangunan. Dia membandingakan bagaimana, baik Sukarno maupun Soeharto, menarasikan pembangunan. Propaganda film berita Gelora Indonesia juga dapat dilihat dari banyaknya pemberitaan mengenai kapal perang, pesawat tempur serta teknologi mutakhir pada masa itu. Hal ini menjadi perhatian Robby Ocktavian. Dia juga menunjukan bagaimana Gelora Indonesia , dengan alat rekamnya menampilkan hal-hal yang tidak dapat dilihat penonton pada satu waktu maupun kejadian yang tidak bisa diulang, seperti balap motor atau gedung runtuh.

bottom of page