Hasil pencarian
9581 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Ketika Siaran Azan Diprotes
NIROM (Nederlandsch-Indische Radio Omroep Maatschappij) stasiun radio Hindia Belanda. DESEMBER 1936, sepucuk surat tiba di kantor radio NIROM (Nederlandsch-Indische Radio Omroep Maatschappij) , stasiun radio Hindia Belanda. Seorang pendengar protes atas siaran azan yang tak tepat pada waktunya. Tak lama berselang, surat-surat pendengar lain mulai berdatangan, memprotes hal yang sama. NIROM didirikan di Amsterdam pada 1928, direncanakan jadi stasiun radio yang menangani siaran ke seluruh Jawa, dan dalam tiga tahun ke seluruh Hindia Belanda. Namun, karena beberapa kendala teknis, baru pada 1 April 1934 NIROM resmi mengudara. NIROM sebenarnya stasiun radio swasta yang diberikan lisensi oleh pemerintah Hindia Belanda untuk mengimbangi stasiun-stasiun radio yang didirikan bumiputera. NIROM memiliki lima studio cabang lengkap dengan stasiun transmisinya: Batavia, Bandung, Medan, Semarang, dan Surabaya. Awalnya, dengan alasan eksklusitivitas, NIROM hanya menyiarkan siaran-siaran berbahasa Belanda. Namun pada 1935, diperluas dengan program-program “ketimuran” yang ditujukan untuk pendengar berbahasa Melayu. “Walaupun dikontrol pemerintah Hindia Belanda dan didesain untuk melayani orang-orang Eropa di Hindia Belanda, NIROM juga bermaksud merangkul pendengar non-Eropa, dari bumiputera hingga Tionghoa Peranakan dengan program-program ketimurannya,” tulis Peter Keppy, “Keroncong, Concours and Cooners; Home-grown Entertainment in Early Twentieth-century Batavia” dalam Linking Destinies: Trade, Towns, and Kin in Asian History yang disunting Peter Boomgaard, Dick Kooiman, dan Henk Schulte Nordholt . Untuk menarik simpati bumiputera, mulai April 1936 NIROM menyiarkan kumandang azan setiap waktu salat magrib tiba. Awalnya, azan hanya terdengar di wilayah Jawa Timur, yang masuk dalam jangkauan stasiun radio NIROM Surabaya. Pada akhir 1936, setelah dilakukan beberapa perbaikan teknis, NIROM Surabaya meluaskan jangkauan siarannya hingga Jawa Tengah. Sementara itu, NIROM Bandung juga mulai menyiarkan kumandang azan magrib. Di sinilah awal mula berbagai keluhan dan protes muncul. Karena mendengar kumandang azan yang berbeda waktunya dengan masjid setempat, para pendengar di Jawa Tengah mengirim surat keluhan ke NIROM. Menurut Philip Bradford Yampolsky dalam “Music and Media in the Dutch East Indies: Gramophone Records and Radio in the Late Colonial Era, 1903-1942” , disertasi untuk meraih gelar doktor di Universitas Washington, para pendengar mulai menulis surat keluhan atas kumandang azan magrib yang disiarkan pada waktu yang salah. Hal ini terjadi akibat masuknya waktu salat magrib di Jawa Tengah terjadi setelah waktu salat magrib di Jawa Timur, dan lebih cepat daripada di Bandung. Karena mustahil bagi NIROM untuk menyiarkan azan tepat waktu di semua wilayah, akhirnya pada Mei 1937 mereka memutuskan hanya mengumandangkan azan seminggu sekali. Azan disiarkan Kamis sore, sebagai pengingat kaum bumiputera untuk melakukan salat Jumat keesokan harinya. Di tengah berbagai protes dan keluhan yang dilayangkan pendengar, NIROM berkilah. Mereka memberikan alasan atas perubahan itu. “Siaran azan hanya digunakan sebagai bentuk simbolik, untuk mengingatkan masyarakat atas kewajiban agamanya,” tulis Philip. Dua tahun berselang, pada 1938, surat-surat keluhan tetap berdatangan ke kantor NIROM. Mereka menuntut NIROM menghentikan siaran azannya. “Beberapa surat itu menyatakan, apabila kamu (NIROM) tidak bisa menyiarkan azan tepat waktu, kalau begitu jangan siarkan saja sama sekali,” tulis Philip.
- Haji "Mahiwal" Hasan Mustapa
Haji Hasan Mustapa. HAJI Hasan Mustapa kerap disebut sebagai haji mahiwal atau kontroversial. Dia dianggap sebagai penganut ajaran wahdatul wujud lantaran karya-karyanya yang terkenal berkaitan dengan hubungan menyatunya manusia ( kawula ) dengan Tuhan ( Gusti ) . Sebagai ulama, dia menggunakan dangding atau guguritan untuk mengekspresikan pemikiran dan renungan tentang ajaran Islam, tasawuf, kebudayaan Sunda, dan kejadian yang dialami sehari-hari. Hasan Mustapa lahir pada 3 Juni 1852 di Cikajang, Garut, Jawa Barat. Ketika berusia sembilan tahun dia bersama ayahnya, Mas Sastramanggala, pergi ke Tanah Suci menunaikan ibadah haji. Hingga dewasa dia menghabiskan hari-harinya di pesantren di Tatar Sunda, Jawa, ataupun Madura. Hasan Mustapa kembali lagi ke Tanah Suci dan sekira delapan tahun belajar dan mengajar di sana. Ketika terjadi perselisihan paham antarulama di Garut, Hasan Mustapa dipanggil pulang untuk menyelesaikan persoalan. Pada 1882 Hasan Mustapa mulai memberikan pengajaran agama di mesjid agung Garut. Tujuh tahun setelahnya, dia berkeliling Jawa dan Madura membantu pekerjaan Snouck Hurgronje yang dia kenal semasa di Arab Saudi. Atas usul Hurgronje, Hasan Mustapa diangkat menjadi hoofd penghoeloe (kepala penghulu) Aceh, dan dua tahun kemudian pindah menjadi hoofd penghoeloe di Bandung sampai pensiun dari jabatannya pada 1910-an. Baca juga: Para Pembantu Snouck Hurgronje Hasan Mustapa yang meninggal pada 13 Januari 1930, tidak hanya dikenal sebagai ulama, tapi juga sebagai sastrawan yang termasyhur dengan dangding- nya. Dangding atau guguritan adalah jenis puisi klasik yang dikenal dalam kesustraan Sunda sebagai tulisan berpola dan melodis. Penggunaan istilah dangding pun dipilih karena pengucapannya yang terdengar melodis. Karya sastra ini biasanya juga disebut sebagai nyanyian puitis. Tak sekadar tulisan, naskah dangding pun ditembangkan. Susastra Sunda mengenal pupuh , yakni irama lelaguan yang memiliki ciri khas masing-masing jenisnya dan memiliki aturan. Lirik lelaguan inilah yang dikenal sebagai dangding. Ia terikat aturan baku. Guru wilangan adalah aturan jumlah suku kata setiap larik dan jumlah larik dalam setiap bait. Sedangkan guru lagu adalah aturan bunyi rima akhir yang harus sesuai dengan jenis pupuh -nya. Nyanyian puitis atau dangding ini terbagi ke dalam 17 jenis pupuh , yaitu asmarandana, balakbak, dangdanggula, durma, gambuh, gurisa, jurudemung, kinanti, ladrang, lambang, magatru, maskumambang, mijil, pangkur, pucung, sinom dan wirangrong. Setiap pupuh memiliki aturan dan karakteristik suasana masing-masing. Melalui dangding inilah Hasan Mustapa menyampaikan pemikirannya. Dia menulis dangding dengan menggunakan huruf pegon, yakni huruf Arab dengan bahasa Sunda atau Jawa. Pujangga sekelas Hasan Mustapa, yang mungkin sudah tidak memiliki kesulitan lagi dalam hal pembuatan puisi dengan keterikatan aturan, dalam tempo dua hingga tiga tahun mampu menghasilkan dangding lebih dari 10 ribu bait. Mistisime Islam kental terasa dalam dangding atau guguritan karyanya yang banyak memperlihatkan renungannya tentang tasawuf atau ketuhanan. Karena pandangannya tentang hubungan masnusia dengan Tuhan yang dia ibaratkan seperti rebung dengan bambu, dia dinilai sebagai Haji “mahiwal” atau kontroversial penganut wahdatul wujud . Baca juga: Tuan Holla dari Belanda Sahabat Orang Sunda "Setiap kali membaca dangding-dangding Haji Hasan Mustapa, saya merasa seperti mendekati arus sungai besar. Betapapun dalam diri saya ada dorongan untuk menyentuh arus yang deras itu, tapi pada saat yang sama saya merasa takut hanyut karena saya merasa belum mampu atau sanggup mengarunginya," kata Hawe Setiawan dalam kuliah umum “Islam dan Mistisisme Nusantara: Dangding Mistis Haji Hasan Mustapa,” di Salihara, Jakarta, 4 Agustus 2012. Dangding karya Haji Hasan Mustapa, diantaranya Puyuh Ngungkung dina Kurung, Hariring nu Hudang Gering, Dumuk Suluk Tilas Tepus, Sinom Pamaké Nonoman, Amis Tiis Pentil Majapait, Kinanti Kulu-kulu, Sinom Barangtaning Rasa, Sinom Wawarian, Asmarandana nu Kami, dan Dangdanggula Sirna Rasa . Karya-karyanya terkenal sampai sekarang. Pada 1994 mereka pernah melakukan perunjukan bertajuk Nembangkeun Karya Akbar Haji Hasan Mustapa atau "Melantunkan Karya Akbar Hasan Mustapa", yakni acara yang menyajikan pertunjukan tembang-tembang Sunda dengan lirik dangding dari Hasan Mustapa. Atas karya-karyanya, pada 1977 Haji Hasan Mustapa menerima Anugerah Seni dari Presiden Republik Indonesia sebagai Sastrawan Daerah Sunda.
- Zaman Orba, Calonkan Diri Jadi Presiden Langsung Ditangkap Polisi
INI bukan dongeng ajaib yang mungkin terdengar aneh di zaman demokrasi seperti sekarang, di mana setiap orang bebas mencalonkan dirinya jadi presiden. Urusan terpilih atau tidak, itu belakangan. Namun di zaman Orde Baru, bercita-cita jadi presiden bisa jadi perkara serius.
- Saat Soeharto Bicara Sejarah
KECUALI menyampaikan nilai-nilai falsafah Jawa yang dianutnya dan menjabarkan persoalan teknis dalam beberapa urusan, Soeharto jarang terdengar melontarkan gagasan yang berpijak pada konsep-konsep ilmu pengetahuan. Namun, sebuah video yang dimuat di laman Youtube berjudul “Pekan Tabungan Nasional” menunjukkan Soeharto yang menafsir dan membagi babak sejarah Indonesia berdasarkan sudut pandangnya sendiri.
- Ritual Pengorbanan Anak
SEKELOMPOK ilmuwan yang dipimpin Haagen Klaus, antropolog Utah Valley University, menemukan kerangka puluhan anak yang menjadi korban dalam upacara ritual suku Muchik di utara Peru. Menurut Klaus, ini adalah bukti pertama tentang ritual sejenis yang melibatkan proses mutilasi anak di wilayah pegunungan Andes, Amerika Selatan.














