Hasil pencarian
9585 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Haji Agus Salim Tak Pernah Berhenti Belajar
PADA 1903, Haji Agus Salim berhasil menyelesaikan pendidikannya di Hogere Burgerl School (HBS), Batavia. Ia mampu lulus dari sekolah para elit pribumi dan Eropa itu dengan hasil yang cemerlang. Kecerdasannya memang tidak diragukan lagi. Orang tua Agus Salim di Bukittinggi berharap anaknya dapat melanjutkan sekolah di Negeri Belanda, atau setidaknya mengambil jurusan kedokteran di School tot Opleiding van Inlandsche Arsten (Stovia). Namun keinginan orang tua Agus Salim hanya sebatas angan saja. Rupanya sang anak telah mengambil keputusan: tidak akan melanjutkan studinya dan memilih untuk bekerja. Dikisahkah Mukayat dalam Haji Agus Salim , pekerjaan pertama yang Agus Salim ambil setelah selesai sekolah adalah tenaga alih bahasa di Batavia. Kemampuan bahasa Belanda yang begitu baik memudahkan dirinya menterjemahkan naskah berbahasa Belanda ke bahasa Melayu. Pekerjaan itu dilakukan tidak lama, sebab Agus Salim memutuskan pindah ke Riau. Ia bekerja sebagai pembantu notaris di kantor ayahnya. Di sini pun ia tidak bertahan lama. Agus Salim merasa tidak puas dengan pekerjaannya. Ia lalu pindah ke Indragiri dan bekerja untuk perusahaan batu bara hingga 1906. Seringnya Agus Salim berpindah pekerjaan cukup membuat risau sang ayah. Sebagai seorang pegawai pemerintah, juga bangsawan Minangkabau, ia sangat mendambakan sang anak mengikuti jejaknya. Begitu juga dengan ibu Agus Salim. “Kegoncangan inilah yang merupakan salah satu sebab ibunya menderita sakit yang kemudian berakhir dengan meninggal dunia pada 1906,” ungkap Mukayat. Peristiwa kehilangan orang yang sangat dicintainya itu turut mempengaruhi jalan pikiran Agus Salim. Pada tahun itu juga ia memantapkan diri berangkat ke Jeddah, Arab Saudi, untuk bekerja pada Konsulat Belanda, suatu pekerjaan yang pernah ditolaknya. Sejak 1906-1911, Agus Salim ditempatkan di bawah naungan Drageman. Sebagai sekretaris konsulat, ia menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Dalam biografi Haji Agus Salim (1884-1954): tentang Perang, Jihad, dan Pluralisme , ia diceritakan menulis sebuah risalah untuk pertama kalinya. Risalah tentang astronomi itu mengantarkan Agus Salim kepada penulisan risalah-risalah lain (agama, kebudayaan, politik) di kemudian hari. Selama 5 tahun di Jeddah, Agus Salim tak pernah berhenti belajar. Ia memanfaatkan waktunya untuk menambah pengetahuan dan pengalaman sebanyak mungkin. Kemampuan yang begitu luar biasa dalam mempelajari bahasa membuat ia mudah menguasai bahasa Arab. Dan itu menjadi modal yang berharga untuk memperdalam ilmu di jazirah Arab. “Tujuan Agus Salim ke Arab tidak hanya mencari uang semata, tetapi juga ingin memperdalam pengetahuan agama. Karena itu kesempatan tersebut dipergunakan benar-benar,” tulis Mukayat. Selama tinggal di Arab, Agus Salim selalu berhubungan dengan kerabatnya yang sudah lebih dahulu tinggal di sana. Ahmad Khatib, paman Agus Salim, telah cukup lama tinggal di Mekah. Kawan dekat KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, itu merupakan guru di Masjidil Haram, Mekah. Hubungan yang terjalin erat dengan sang paman mendorong Agus Salim untuk lebih tekun memperdalam karya-karya pemikir Islam modern. Agus Salim diketahui giat mempelajari buku-buku Jamalludin Al Afghani tentang pan Islamisme. Ia juga membaca karya-karya Mohamad Abduh, pujangga Muslim yang menginginkan reformasi dan modernisasi dalam agama Islam. Hasilnya, Agus Salim memiliki pandangan bahwa keadaan pendidikan Islam di Indonesia sangat memprihatinkan. Ia merasa perlu adanya suatu pembaharuan agar pendidikan di Indonesia tidak ketinggalan zaman. Sebab pengetahuan Islam di Indonesia sedikit banyaknya telah mendapat pengaruh dari pemerintah kolonial Belanda, dan itu merupakan kekeliruan yang amat besar. Tekad itulah yang membuat Agus Salim memilih terjun ke bidang dakwah dan berkeinginan kuat membawa Islam ke arah kemajuan. Suatu waktu, Agus Salim terlibat perdebatan hebat dengan konsulnya. Ada perbedaan pandangan yang membuat mereka harus mempertahankan isi pikirannya masing-masing. “Salim apakah engkau mengira bahwa engkau orang yang paling pintar di dunia ini,” sindir sang konsul. “Tentu tidak benar. Di dunia ini banyak orang yang lebih pintar. Hanya siapa di antara mereka itu sampai sekarang aku belum bertemu,” ucap Agus Salim. Sebagai asisten konsulat, Agus Salim banyak belajar tentang kehidupan diplomatik. Pengetahuannya ini menjadi modal penting bagi pengembangan karirnya dikemudian hari, utamanya selama periode kemerdekaan saat dirinya ditunjuk sebagai wakil Indonesia dalam berbagai perundingan internasional. Ia pun tercatat pernah menjabat posisi menteri luar negeri Republik Indonesia di era revolusi.*
- Data CIA tentang Milisi Asing ISIS
SETELAH menjadi polemik, akhirnya pemerintah Indonesia memutuskan tidak akan memulangkan warga negara Indonesia (WNI) yang bergabung dengan ISIS atau foreign terroris fighter (FTF) dari Suriah. Menkopolhukam Mahfud MD menyebut berdasarkan data dari CIA, terdapat 689 WNI yang bergabung dengan ISIS.
- Para Jago di Barat Jawa
JULI 1948. Matahari nyaris di atas ubun-ubun. Teriknya membekap jalur Cianjur-Bandung, ketika sebuah sedan meluncur dari arah Jakarta. Di Kampung Belendung, tetiba tujuh anggota polisi NICA (Pemerintah Sipil Hindia Belanda) menghentikan mobil yang berisi lima orang Belanda (salah satunya seorang perempuan). Begitu mobil berhenti, para polisi gadungan itu langsung berupaya melakukan peringkusan. Alih-alih menyerah, para penumpang sedan tersebut (yang ternyata anggota militer Belanda) malah melakukan perlawanan. Terjadilah pergumulan dan tembak menembak yang berakhir dengan tewasnya keempat lelaki Belanda itu. Sedangkan yang perempuan ditawan dan tak ada yang mengetahui bagaimana nasib dia selanjunya. “Orang-orang yang menyamar sebagai polisi itu tak lain adalah Koim dan gerombolannya,” ungkap Raden Makmur (93), salah seorang anggota Lasykar Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI) di Cianjur. Koim adalah salah satu jagoan yang sangat ditakuti di wilayah utara Cianjur pada masa revolusi. Selain dikenal sebagai pejuang, dia pun kerap menjalankan praktek-praktek teror dan kriminalitas guna memenuhi kebutuhan pasukannya. Sebagai target, Pasukan Koim memilih orang Belanda dan orang-orang Indonesia yang dianggap pro Belanda (sipil maupun militer) . “Saat melakukan penjarahan, dia tak segan-segan berlaku kejam kepada para korbannya,” ujar Makmur. Kebrutalan Pasukan Koim, membuat militer Belanda geram. Mereka lantas mengirimkan satu unit Baret Hijau dari KST (Korps Pasukan Khusus) untuk memburu kelompok tersebut. Pada Agustus 1948, Koim berhasil diringkus di Purwakarta. Dia kemudian dibawa ke Penjara Cianjur dan baru pada 1950 menghirup udara bebas. Baru beberapa hari menikmati udara luar penjara, dia diundang untuk menghadiri sebuah pertemuan. Saat menuju tempat pertemuan itulah, di Jembatan Mande tetiba seorang lelaki mendekatinya lalu menembak kepalanya dengan supucuk pistol. Maka tamatlah riwayat Koim, sang jagoan dari Cianjur utara. Di Cibarusa (beberapa puluh kilometer dari tempat Koim beroperasi) usai proklamasi muncul seorang jagoan bernama Pak Macan. Begitu pula di Karawang ada figur Camat Nata dan Pak Bubar, dua tokoh dunia hitam yang karena kebutuhan revolusi “terpaksa” diangkat sebagai pejabat pemerintahan (camat dan bupati). “Malah Pak Macan dilantik sebagai kepala keamanan di Cibarusa oleh Presiden Sukarno sendiri saat dia sedang berkampanye melewati wilayah itu pada akhir 1945,” ungkap sejarawan Robert B.Cribb kepada Historia. Menurut peneliti sejarah Indonesia John R.W. Smail, sejatinya istilah “jago” diambil dari “ayam jago”. Kata itu mengacu kepada karakteristik seorang lelaki yang senang berkoar, garang dan bersenjatakan golok. “Haruslah dipahami bahwa jago tidak lebih dari sekadar penjahat pedesaan, sejenis dengan bandit di Eropa,” ungkap Smail dalam Bandung in the Early Revolution, 1945-1946 (diterjemahkan menjadi Bandung Awal Revolusi, 1945-1946 ). Namun kelompok jago adalah institusi sosial yang diakui, kendati menyimpang. Mereka memiliki mitos-mitos yang dapat dibuktikan kebenarannya, misteri yang diyakini secara kolektif dan para pemimpin kharismatik, meskipun cakupannya terbatas. Semua itu memang sengaja diciptakan sebagai alat teror guna menuntut ketaatan dan penciptaan situasi eksploitatif terhadap rakyat. “Kasus-kasus seperti itu juga terjadi di Bandung, Cimahi dan Padalarang,” ungkap Smail. Umumnya para jago juga memiliki hubungan baik dan simbiotik dengan lasykar-lasykar besar seperti Angkatan Pemuda Indonesia (API) dan LRDR (Lasykar Rakjat Djawa Barat). Pada Desember 1945, tersebutlah seorang jago bernama Soma. Dia mengangkat dirinya sebagai camat setelah merebut kekuasaan dari seorang pamongparaja di Cisarua, sebuah kawasan perbukitan yang terletak di utara Cimahi. Setelah berkuasa, Soma menyebarkan rumor bahwa dirinya ada untuk membagikan kekayaan para hartawan kepada rakyat. Gerombolan Soma kemudian merajalela sedikit ke barat. Di Padalarang, mereka mengambilalih suatu pusat misionari Katholik untuk dijadikan markas besar dan menciptakan sejenis “republik jago” di kawasan tersebut. Demi menghindari para jago itu, para pamongpraja yang sebelumnya berkuasa terpaksa menyingkir ke kota. Kekosongan politik di tingkat kecamatan dan desa itu langsung diisi oleh para jago binaan Soma. Kentalnya suasana anti pamongpraja yang dianggap hanya sebagai bekas begundal Jepang memunculkan suatu bentuk kekuasaan yang lebih “anti feodal dan merakyat serta revolusiener”. Euforia itu terasa konkret jika melihat penampilan para kepala desa yang jauh berbeda dengan di masa kekuasaan Jepang dan Hindia Belanda. Seorang bekas pamongpraja yang diangkat sebagai camat, secara radikal merubah penampilannya menjadi lebih “revolusiener”: santai, berambut gondrong dan kerap membawa sepucuk pistol ke mana-mana. Hal itu wajib dia lakukan, karena jika masih mempertahankan “kesantunan kaum priyayi”, dia tidak bisa bertindak lugas bahkan akan segera dilibas. “Hanya dengan bergaya seperti itulah, dia dapat memelihara keteraturan sosial,” ungkap Smail. Pada perkembangan berikutnya, aksi para jago itu memunculkan kegerahan di kalangan pejabat Republik yang berkuasa di kota-kota. Segera setelah “kegaduhan” itu, mereka menugaskan satuan-satuan TKR untuk menumpas semua kekacauan tersebut ke pelosok-pelosok. Karawang dan Bekasi adalah dua wilayah yang kali pertama dibersihkan. Pada awal 1946, TKR meluncurkan operasi militer di Cibarusa (republik jago di kawasan perbatasan Cianjur-Bekasi) guna melibas Pak Macan dan gerombolannya. “Pak Macan sendiri mencoba kabur dari operasi yang keras itu, namun penasihat politiknya dari API (Manaf Roni) terbunuh dalam pertempuran,” ungkap Cribb dalam Gangsters and Revolutionaries . Pak Bubar juga tak lepas dari target operasi. Dikisahkan saat berhadapan dengan para prajurit TKR, dia berupaya kabur dengan mengandalkan ilmu menghilangnya. Tetapi militer yang bermata lebih tajam segera memberondongnya dengan senapan otomatis sehingga menyebabkan sang jagoan itu tewas seketika. Di wilayah Bandung dan sekitarnya, jaringan para jago perlahan namun pasti mulai menuju kehancuran setelah Resimen Pelopor dari TKR melucuti sekaligus membubarkan API. Alasan resmi pejabat Republik menyebutkan bahwa penumpasan itu terpaksa dilakukan karena mereka memberlakukan kelompoknya sebagai “republik dalam Republik”, tidak mematuhi otoritas sipil dan militer resmi, melakukan teror dan melakukan kontak dengan pihak musuh (Belanda). Di Karawang, penumpasan terhadap LRDR oleh militer Indonesia malah memunculkan dendam yang berkarat di kalangan para anggota lasykar dan para jago. Alih-alih tunduk kepada aturan Republik, mereka malah membelot ke kubu musuh dan memasrahkan dirinya untuk dipersenjatai lalu secara bahu membahu terlibat dalam operasi militer pertama Belanda menghabisi kaum Republik.*
- Penyamaran dan Integritas J.B. Sumarlin
JOHANNES Baptista (J.B.) Sumarlin, mantan Menteri Penertiban Aparatur Negara (PAN) dan Menteri Keuangan di Kabinet Pembangunan Orde Baru, wafat pada 6 Februari 2020. Jenazahnya dimakamkan di San Diego Hill, Karawang, Jawa Barat, pada 10 Februari 2020. Sepanjang hayatnya, Sumarlin dikenal sebagai sosok bersih, berintegritas, dan berani.
- Gaya Hidup Orang Aceh Abad ke-17
Aceh menjadi salah satu persinggahan para pelaut dunia yang datang ke Nusantara. Sejak era pelayaran, wilayah itu telah membuka diri dengan dunia luar. Posisinya yang strategis (ada di sekitar Malaka dan penghubung dataran Asia), menjadi sebab banyak bangsa singgah ke negeri paling ujung di pulau Sumatera tersebut. Terbukanya pelayaran mengantarkan bangsa-bangsa dalam interaksi yang lebih dalam dengan penduduk Aceh. Aktifitasnya tidak hanya tercatat oleh bangsa pendahulu (Tiongkok dan Arab) saja, tetapi juga oleh masyarakat Eropa yang datang belakangan. Para pelaut Barat menggambarkan kehidupan penduduk lokal dalam catatannya, termasuk cara hidup yang terasa asing di mata mereka. Cara Berpakaian Catatan yang menyebutkan nama Aceh muncul pada pertengahan abad ke-16. Tome Pires, penjelajah Portugis, menyebutnya sebagai Achin . Pires menjadi penjelajah Eropa pertama yang menulis daerah itu pada catatan penjelajahannya, Suma Oriental . Berdasarkan peta bertahun 1540, wilayah kuasa Aceh membentang hingga ke pedalaman. Aceh, kata Pires, adalah negeri pertama yang dapat ditemukan setelah menelusuri terusan Pulau Sumatera. Gambaran lebih jelas tentang penduduk Aceh datang dari penjelajah Prancis Francois de Vitre. Ia tiba di Aceh pada 26 Juli 1602 ketika kekuasaan dipegang oleh Sultan Ali Riayat Syah. Berdasar penggambaran Vitre diketahui bahwa kebanyakan orang Aceh pada waktu itu hanya mengenakan pakaian berupa ikat pinggang yang dililitkan pada tubuh untuk menutupi bagian kemaluan. Sedang bagian lain dibiarkan terbuka. Pakaian yang digunakan penduduk biasanya dari belacu biru, bahan paling bagus yang bisa ditemui di sana, dengan warna merah lembayung. Menurutnya, kebiasaan orang Aceh yang suka memakai sorban juga sungguh aneh. Sorban itu diikat seperti gulungan sedemikian rupa hingga ujung kepalanya tak tertutup. Sementara seorang pedagang Inggris bernama Peter Mundy menyebut jika semua laki-laki mencukur rambut di bibir atas dan dagungnya. Semua orang Aceh berjalan tanpa alas kaki, baik raja maupun penduduk biasa. Menjelang akhir abad ke-17, cara berpakaian sebagian besar penduduk Aceh mulai berubah. Dikisahkan Guillaume Dampier, dikutip Denys Lombard dalam Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636) , di Aceh sudah banyak perempuan yang mulai menggunakan perhiasan di telinganya. “Yang paling terkemuka dari mereka memakai kupiah yang pas di kepala, terbuat dari kain wol yang diwarnai merah atau warna lain dan yang bentuknya seperti topi tanpa tepi … mereka memakai celana pendek dan orang bangsawan memakai sepotong kain sutera yang longgar di atas pundak … mereka tetap telanjang kaki, hanyalah yang kaya-kaya yang memakai semacam sandal,” tulis Dampier. Perihal Makan Penduduk Aceh digambarkan tidak terlalu banyak makan. Para pelaut Barat menganggap kebiasaan itu aneh. Karena mereka dapat menghabiskan banyak makanan dalam satu waktu. Sehingga orang Aceh disebut terlalu sederhana soal makanan. Penduduk di negeri itu hampir selalu makan nasi dengan sedikit ikan dan sedikit sayur. Hanya orang kaya dan terpandang yang makan dengan ayam yang dibakar atau direbus untuk persediaan satu hari penuh. “Seandainya ada dua ribu orang Kristen di negeri mereka, maka segera mereka akan kehabisan sapi dan unggas,” ungkap Dampier. Namun Lombard sendiri menyebut pandangan para penjelajah terhadap kebiasaan makan orang-orang Aceh terlalu dangkal. Mereka tidak memperhitungkan adanya “waktu makan”, yang berlaku di kalangan masyarakat Aceh. Karena para penduduk biasanya menyiapkan makanan untuk sehari penuh, sehingga tidak dihabiskan dalam satu waktu. Sistem Pernikahan Mengenai sistem perkawinan di Aceh, peneliti Belanda Snouck Hurgronje telah membahasnya lengkap dalam Orang Aceh: Budaya, Masyarakat, dan Politik Kolonial . Namun penelitiannya itu baru dilakukan pada abad ke-19. Kajian terdahulu tentang permasalahan tersebut datang dari penjelajah Prancis Augustin de Beaulieu abad ke-17. Dalam De Rampspoedige Scheepvaart der Franschen naar Oostindien, onder’t beleit van de Heer Generaal Augustyn van Beaulieu, met drie Schepen uit Normandyen , Beaulieu mengungkapkan sejumlah kebiasaan di dalam praktek pernikahan orang Aceh yang tidak ia pahami. Malah orang Prancis ini menyebutnya sebagai hal yang menarik. Ia mengatakan bahwa sistem itu dijalankan sesuai hukum agama yang berlaku di negeri itu. “Mereka memperistri perempuan sebanyak yang mereka inginkan atau dapat mereka hidupi, tetapi salah satu di antara perempuan itu adalah istri utama dan anak-anaknyalah yang menjadi pewaris sah. Mereka tidak memperlihatkan istri mereka atau mengizinkannya ke luar rumah. Si suami biasanya memperoleh dara muda dan ia harus membayar untuk memperolehnya dari orang tuanya, dan harus memberinya sebagian dari harta bendanya sebagai warisan,” ucap Beaulieu seperti dikutip Lombard. Mengenai harta dalam keluarga, perempuan harus memberikan seluruhnya kepada sang suami. Namun ia tetap menerima sebuah surat yang dapat digunakan untuk mengklaim hartanya itu jika suatu saat mereka bercerai. Sementara jika perpisahan terjadi karena si suami meninggal, istri menerima harta bawaan di luar mas kawin ketika suami menyuntingnya, dan harta itu tidak dapat diklaim oleh pihak manapun. Sedangkan perihal perceraian, Lombard mengatakan jika di Aceh perempuan mendapat beberapa keuntungan yang tidak dikenal di daerah-daerah Islam lain yang lebih ke barat. Suami tidak bisa mencampakkan istrinya begitu saja. Perceraian dapat terjadi apabila keduanya menginginkan hal tersebut. “Jika si suami mempunyai keinginan sedemikian dan si istri tidak, si suami mempunyai piutang berupa maharnya dan harus membayar bunga baru. Demikian juga si istri tidak dapat kawin lagi. Dan mereka terpaksa tinggal bersama, sekalipun mereka tidak bercampur,” ungkap Lombard.
- Pram Minta Karyanya Dikembalikan
Pada September 1965, Pramoedya Ananta Toer mengirim surat kepada Kerajaan Belanda melalui Kedutaan Besar Belanda di Jakarta. Surat itu berisi permintaan Pram kepada pemerintah Belanda agar mengembalikan karya-karyanya yang dirampas saat Agresi Militer Belanda pertama pada 1947. Surat tersebut juga ditembuskan kepada Menteri Jaksa Agung, kantor berita Antara , serta redaksi Lentera Bintang Timur . Pram meminta empat naskah yakni tiga perempat bagian dari naskah Di Tepi Kali Bekasi , novel Sepuluh Kepala Nica dan dua karya terjemahannya. Selain itu, ia juga menuntut Belanda mengembalikan satu buku hariannya. Di Tepi Kali Bekasi ditulis Pram pada 1947 berdasarkan kisah revolusi yang terjadi sejak bulan-bulan pertama revolusi sampai tentara Belanda menduduki Bekasi pada 1946. Bercerita tentang perlawanan para pemuda Indonesia terhadap tentara Jepang, Inggris-India, dan tentara Belanda, serta adanya kontra revolusi dari dalam negeri. Naskah itu dirampas oleh Marinir Belanda pada 27 Juli 1947. Seperempat bagian naskah Di Tepi Kali Bekasi yang bisa diselamatkan kemudian diterbitkan dengan judul yang sama oleh Usaha Penerbitan Gapura, Jakarta pada 1951. Sementara itu, Pram menulis Sepuluh Kepala Nica pada 1946. Menurut Koh Young Hun dalam Pramoedya Menggugat , pada pertengahan 1946 Pram diangkat menjadi perwira persuratkabaran letnan dua yang memimpin 60 prajurit dan bermarkas di Cikampek. Pada masa inilah Pram menulis novel Sepuluh Kepala Nica . Kisah novel ini berangkat dari kejadian-kejadian revolusi selama tiga bulan pertama revolusi Indonesia di Jakarta. Novel ini sama sekali belum pernah diterbitkan. A. Teew dalam Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer menyebut naskah Sepuluh Kepala Nica dihilangkan oleh Penerbit Balingka, Pasar Baru, Jakarta. Pram juga menuntut dua naskah terjemahannya dikembalikan yakni Moeder, Waarom Leven Wij atau Bunda, Mengapa Kita Hidup? karya Lede Zielens dan terjemahan Het Rijk der Mensen atau Bumi Manusia karya Antoine de Saint-Exupery. Menurut Pram, naskah-naskah itu lenyap ketika ia ditangkap tentara Belanda di rumah tumpangannya di Gang Mangga, Kemayoran, Jakarta, dua hari setelah Agresi Militer Belanda pertama tahun 1947. Bersama penangkapan itu, rumah digeledah dan naskah-naskah Pram pun disita. “Penggeledahan dan penyitaan tersebut dilakukan sampai berulang-ulang kali, terakhir oleh kesatuan dari basis Commando Batavia tentara Belanda,” tulis Bintang Timur , 5 September 1965. Selain karya-karya tersebut, Pram juga menyebut satu buku hariannya yang dirampas tentara Belanda. Buku harian itu tebalnya 5 cm dan terbuat dari kertas kuning buatan Padalarang serta diikat dengan tali sepatu militer Republik. Buku harian ini ditulis pada rentang 1941 hingga 1946. Buku harian ini dirampas dari tangan Soegiarto, seorang bekas kopral dalam Kesatuan Bung Pram, yang ditugaskan khusus untuk mengambil buku harian tersebut. Antara bulan Februari hingga Juni 1947, Soegiarto ditangkap di Bekasi ketika hendak memasuki Jakarta. Ia dijebloskan ke penjara Glodok selama empat bulan. Sementara buku harian Pram langsung lenyap dirampas. Pada 1948, Pram pernah meminta secara lisan melalui Sersan Mayor Vos dari Basis Komando Batavia. Saat itu Pram sedang dipenjara di Bukit Duri. Sersan Vos, terkait naskah Di Tepi Kali Bekasi , menjawab sambil tersenyum: “Oh, itu tulisan tuan sendiri? Interessant .” “Pada akhir surat gugatannya itu, pengarang Pramoedya Ananta Toer menutup bahwa setelah lebih dari 17 tahun naskah-naskah tersebut berada di tangan Kerajaan Belanda, maka sekarang dituntut untuk menyerahkan kembali kepada yang berhak dan jika tidak ada kemungkinan kembali untuk menyerahkannya maka pengarang ini menuntut diadakannya ganti rugi,” tulis Bintang Timur . Menurut Pram, ganti rugi tersebut bukan untuk keuntungan pribadinya melainkan akan digunakan untuk mendirikan sanggar serbaguna dan biro penghimpunan materi-materi sejarah modern Indonesia. Angga Okta Rachman, cucu Pram yang juga mengurusi arsip Pram, mengatakan bahwa ia sendiri belum pernah melihat surat itu maupun mengetahui adakah balasan dari Kerajaan Belanda. "Mungkin dibalas mungkin enggak . Tapi kalau dibalas pun pasti sudah kena vandalisme Oktober 65 di rumah Pram. Yang jelas sampai saat ini, aku nggak pernah liat surat itu di arsip Pak Pram. Juga naskah-naskah dan buku hariannya tidak pernah dikembalikan," ujar Angga kepada Historia . Surat Pram tampaknya memang tak membuahkan hasil. Hingga kini kita tak bisa membaca Sepuluh Kepala Nica , tiga perempat Di Tepi Kali Bekasi, maupun buku hariannya.
- Babi dalam Masyarakat Batak Toba
Keberadaan babi di kota Medan sedang dipermasalahkan. Ribuan massa yang mengatasnamakan gerakan #savebabi menggelar unjuk rasa menolak isu pemusnahan babi. Gagasan ini muncul setelah wabah virus African Swine Fever (ASF) atau Demam Babi Afrika dan Hog Cholera (Kolera Babi) melanda peternakan babi di Sumatra Utara. Untuk mengatasinya, pemerintah didesas-desukan akan memusnahkan babi yang tercemar penyakit dan menertibkan peternakannya. Aksi #savebabi tersebut dilakukan di depan kantor DPRD Sumatra Utara di Jalan Imam Bonjol, Medan. Para pengunjuk rasa umumnya berasal dari suku Batak sebab mereka mengenakan ulos – kain khas Batak – sebagai penanda identitas. Bagi mereka babi mempunyai nilai penting. Selain mata pencaharian, beternak babi tidak bisa dipisahkan dari kebudayaan Batak. “Kami menentang keras pemusnahan babi, karena kalau babi dimusnahkan berarti sudah menghilangkan budaya Batak. Karena sejak lahir sampai mati, babi jadi budaya di tanah Batak,” kata Boasa Simanjuntak, Ketua Aksi #savebabi dikutip merdeka.com . Jauh sebelum masuknya pengaruh agama Islam dan Kristen, suku Batak Toba (selanjutnya akan disebut Batak saja) memang telah mengenal tradisi beternak babi. Orang Batak yang tinggal di rumah bolon (rumah panggung Batak) menjadikan kolongnya yang lapang sebagai tempat babi berkandang. Dalam bahasa Batak, babi disebut pinahan . Sementara babi yang berumur di bawah tiga bulan disebut lomok-lomok . Binatang ini termasuk cepat perkembangbiakannya dan gampang merawatnya. Menurut budayawan Batak E. St. Harahap, dalam setiap upacara adat babi merupakan sajian umum. Kalau ada tamu terhormat yang berkunjung, sudah selayaknya tuan rumah menyembelih babi sebagai hidangan. Babi mempunyai tempat yang amat luas meliputi segala macam perjamuan, baik dalam perkabungan ataupun perayaan bahagia. Dalam masyarakat Batak lama, babi selalu jadi suguhan bermacam hajatan: pesta perkawinan, pesta memandikan anak, upacara kematian, hingga acara memasuki rumah baru. “Dalam semua peralatan daging babi yang disediakan untuk dibagi-bagikan kepada para tamu dan keluarga, yang disebut jambar ,” ujar Harahap dalam Perihal Bangsa Batak . Pun ketika agama Kristen berkembang di Tanah Batak, mengkonsumsi babi tetap dilakukan. Itu dianggap tidak menyalahi agama. Kendati sebenarnya dalam kitab Injil (bagian buku Imamat) ada perbedaan pandangan soal mengkonsumsi daging babi tersebut. Kultur memelihara babi ikut terbawa ketika orang Batak mengadu nasib ke tanah rantau. Kota Medan menjadi tujuan utama orang Batak mencoba peruntungan. Karena daging babi menjadi makanan bagi kebanyakan orang Batak, maka hewan ini diperjualbelikan di pasar-pasar kota Medan. Di lapo (rumah makan batak), babi termasuk hidangan spesial. Dalam daftar menu, babi disebut dengan kode khusus: B2. Aneka penganan daging babi seperti saksang (atas) dan panggang (bawah). Foto: Wikimedia Commons. Di kota Medan yang heterogen, tidak semua pihak bisa menerima kehadiran babi, baik sebagai makanan ataupun peliharaan. Bagi umat Islam, babi adalah binatang yang dagingnya tidak boleh dikonsumsi. Selain itu, tubuh babi diyakini sebagian pihak bisa menyebarkan penyakit seperti cacing pita serta rentan menjadi medium untuk penyakit jenis epidemi lainnya. Dalam Sejarah Kota Madya Medan 1950-1979 yang disusun Usman Pelly dkk, kebiasaan orang Batak beternak babi kadang menimbulkan gesekan sosial dengan etnik lain. Ketika sebagian orang Batak memelihara babi di belakang rumahnya, itu memunculkan ketidaksukaan tetangga mereka dari suku Melayu. Terlebih jika babi piaraan orang Batak itu "bertandang" ke pekarangan mereka . Kebiasaan memelihara babi memang telah mengakar kuat di sebagian besar keluarga Batak. Kalau sudah begini maka konflik pun tidak terhindarkan. Orang Melayu, Jawa, atau Mandailing biasanya lebih memilih menyingkir dari tempat itu daripada terus berurusan dengan orang Batak Toba. “Penyingkiran ini dianggap merupakan kemenangan bagi orang Batak, karena itu artinya perluasan wilayah mereka dapat dilakukan,” tulis Usman Pelly dkk. Oleh karena itu, selain bernilai ekonomis, babi berfungsi pula mengokohkan eksistensi orang Batak di mana pun mereka berada. Pendapat ini dikemukan oleh antropolog Illinois University Clark Cuningham pada 1958. Dalam penelitiannya The Post War Migration of Toba Batak to East Sumatra yang diterbitkan Yale University Southeast Asia Studies, Cuningham menyatakan bahwa babi bagi orang Batak merupakan alat perjuangan ( instrument of battle ). Hingga kini, di penjuru kota Medan masih dapat ditemui rumah-rumah dalam permukiman yang memelihara babi. Pun demikian dengan rumah makan Batak yang menyajikan penganan babi alias B2. Maka tidak heran apabila orang Batak saat ini menentang habis-habisan apabila babi bakal dimusnahkan.
- Banjiha, Potret Kemiskinan Korea dalam Parasite
LEMBAB, pengap, lusuh, dan suram. Di banjiha , ruang semi bawah tanah berukuran kecil, seperti itulah keluarga Kim hidup di sebuah komplek apartemen padat di Seoul, Korea Selatan. Mereka hidup pas-pasan dengan mengandalkan nafkah ayah sebagai pelipat kardus pizza part-time . Kakak-beradik dari keluarga Kim, yakni Ki-jeong (diperankan Park So-dam) dan Ki-woo (Choi Woo-shik), sampai harus berebut ruang sempit di kamar mandi yang klosetnya lebih tinggi dari lantai untuk mendapatkan sinyal telepon. Keluarga Kim jelas mendambakan punya kehidupan di atas kelayakan. Gambaran kemiskinan di negeri terkaya ke-12 dunia (per 2019) itulah yang ditonjolkan sutradara Bong Joon-ho dalam film black comedy berjudul Parasite . Film itu mencetak sejarah di Academy Awards ke-92 di Dolby Theatre, Los Angeles, Amerika Serikat, Minggu (9/2/2020) malam waktu setempat. Dari dari enam nominasi, Parasite menggondol empat Piala Oscars. Salah satunya, kategori Best Picture alias film terbaik. Parasite menjadi film Asia dan berbahasa asing pertama yang menang kategori prestisius itu. Namun tiada “ butterfly effect ” dalam kegemilangan itu. Kegirangan tim produksi dan para pemerannya di atas panggung Academy Award ke-92 itu tak serta-merta menular ke sesama orang Korea Selatan, terutama para penghuni banjiha . Seperti Song Sung-geun, pria berusia 82 tahun yang tinggal di salah satu banjiha di komplek apartemen area Samseog-dong, Distrik Gwanak, selatan Seoul, misalnya. “Udaranya lembab dan saya tidak suka tinggal di sini. Tetapi saya tidak mampu punya tempat tinggal lain yang lebih baik,” ujarnya pasrah kala berkisah kepada Daisuke Shimizu, koresponden The Asahi Shimbun di Seoul, Senin (10/2/2020). Salah satu penampakan "banjiha" di salah satu kota di Korea (Foto: locationkorea.com ) Penonton di segenap penjuru dunia hingga para juri- voter Piala Oscar mungkin hanya bisa melihat kenyataan itu dari 132 menit Parasite . Pun dengan para awak produksi hingga para pemainnya, hanya merasakan “gregetnya” hidup melarat seperti Song-geun selama masa produksi. Orang-orang seperti Song-geun lah yang benar-benar merasakan realitasnya. Di distrik apartemen yang sama masih ada sekira 200 keluarga seperti Song-geun yang terpaksa tinggal di banjiha . Song-geun sendiri tinggal di sebuah banjiha dengan luas 30 meter persegi tanpa kamar mandi –lebih buruk dari gambaran keluarga Kim di film Parasite . Selain banjiha -nya berudara lembab, jendela hanya setinggi jalan. Maka, itu rentan polusi baik udara maupun air. Bajinha itu juga rentan banjir jika hujan lebat lantaran posisinya berisisipan dengan drainase dari belasan hingga puluhan lantai apartemen di atas kepala mereka. Lingkungannya jelas kurang sehat. Data statistik pemerintah Korsel per 2015 mencatatkan, sekira 360 ribu keluarga tinggal di banjiha di berbagai kota di negeri itu. Sekira 220 ribu di antaranya berada di Seoul, baik yang hak milik maupun sewa. Memang tidak semua yang tinggal di bajinha hidup di bawah garis ‘ kemisqueenan ’. Beberapa dari mereka di merupakan kelas menengah yang tak sanggup membeli tempat tinggal yang lebih laik mengingat tingginya harga properti di “Negeri Ginseng” itu. “Kami mungkin bukan orang paling miskin, namun saya yakin apartemen-apartemen semi bawah tanah adalah simbol kemiskinan,” kata Kim Young-nam, perempuan berusia 61 tahun penghuni banjiha di apartemen Distrik Mapo yang jadi salah satu lokasi pengambilan gambar film Parasite. Bunker Serangan Nuklir Sebelum munculnya film Parasite , jarang ada film-film Korea yang menggambarkan kehidupan masyarakat menengah dan miskin yang tinggal di banjiha . Parasite membuka mata dunia lebih lebar terhadap gambaran lebih utuh Korea sebagai negara kaya. Di balik beragam bidang industri yang gemerlapan, banyak kehidupan sulit masyarakat kelas proletar yang tersembunyi di baliknya. “Tempat tinggal seperti ( banjiha ) di film itu sangat serupa dengan psikologi protagonis kita. Kita menjadi negara kaya dengan sangat cepat. Dan orang-orang yang tak mampu mengejar ketertinggalan, akan merasa tersesat. Dan mereka merasakan inferioritas. Masalah ekonomi bukan sekadar angka. Namun juga tentang emosi yang besar,” tutur Bong Joon-ho, dinukil NPR Illinois , 5 November 2019. Kolase "banjiha" alias apartemen semi bawah tanah yang digambarkan film "Parasite" (Foto: CJ Entertainment) Gedung-gedung apartemen di Korea dibangun sebagai pengganti permukiman tapak yang banyak hancur usai Perang Korea (1950-1953). Utamanya di kota-kota besar seperti Seoul dan Busan seiring Korsel membangun perekonomiannya berbasis industri yang tentu mengundang urbanisasi. “Ekonomi Korea (Selatan) mulai tumbuh sejak awal 1960-an dan telah bertransformasi dari masyarakat pertanian menjadi masyarakat industri. Blok-blok apartemen di kota-kota dan kompleks-kompleks industri juga mulai dibangun,” ungkap Damian Harper dkk dalam Lonely Planet Korea. Kompleks-kompleks apartemen itu mulai dibangun pada 1961. Pemerintahan militer saat itu memercayakan pembangunannya kepada Korea National Housing Corporation. Kompleks apartemen yang dibangun adalah Mapo Apartments, yang dibangun di atas lahan bekas kompleks penjara. “Lalu dilanjutkan dengan Kompleks Apartemen Hangang di Ichondong, Seoul yang merepresentasikan desain terbaru untuk gedung apartemen. Desainnya kemudian ditiru untuk gedung-gedung apartemen lain di Distrik Banpo, Yeongdong, dan Jamsil pada 1970,” tulis Jung In-ha dalam Architecture and Urbanism in Modern Korea. Di tengah pembangunan itu, Korsel tetap dihantui konflik dengan saudaranya dari utara (Korut). Utamanya pada 1968, saat banyak infiltran militer Korut yang berupaya membunuh Presiden Korsel Park Chung-hee. Potensi eskalasi konflik bersenjata kian terasa kala kapal AL Amerika Serikat USS Pueblo ditangkap militer Korut pada 22 Januari 1968. Di tahun itu juga sekelompok infiltran militer Korut menyatroni Blue House (Istana Kepresidenan Korsel) untuk membunuh Presiden Park, namun gagal. Kompleks Apartemen Mapo pada 1963 (Foto: Repro "The Birth of the Apartment A Translated Modernity in South Korea") Sebagai langkah preventif untuk melindungi warganya jika terjadi perang lagi, pada 1970 pemerintah Korsel mengeluarkan kebijakan agar setiap gedung apartemen yang dibangun harus mempunyai ruang bawah tanah sebagai bunker darurat saat terjadi serangan bom maupun nuklir dari utara. “Dalam satu komplek apartemen terdiri dari tiga gedung yang memiliki tangga eksterior, sebuah ruangan semi bawah tanah dan pilotis (dinding penopang beton bertulang, red. ), sesuai kebijakan pemerintah tentang bangunan permukiman yang punya batasan jumlah lantai. Pembangunan ruang semi bawah tanah paling disukai pengembang karena tak terhitung dalam batasan lantai yang ditetapkan pemerintah,” lanjut In-ha. Mulanya, pemerintah melarang setiap pengembang maupun pemilik apartemen menyewakan atau menjual banjiha itu lantaran diperuntukkan khusus untuk situasi darurat. Namun tingginya kebutuhan permukiman akibat kebutnya laju industri dan perekonomian Korsel pada 1980-an membuat pemerintah melegalkan praktik jual-beli atau sewa banjiha untuk hunian.
- Rencana Indonesia Menjual Helikopter ke Iran
Dalam rapat intelijen, Letjen TNI L.B. Moerdani, Asintel Hankam/Kepala Pusintelstrat/Asintel Kopkamtib/Waka Bakin, menyampaikan bahwa Menristek/Ketua BPPT B.J. Habibie melaporkan dalam rapat kabinet akan menjual helikopter Super Puma kepada Iran. Rencana penjualan helikopter Super Puma itu bagian dari kerja sama perdagangan Indonesia-Iran yang ditandatangani pada 1987 dalam bentuk imbal beli ( counter trade ). Sesuai dengan persetujuan, Indonesia akan membeli minyak mentah dari Iran sebanyak 30.000 barel per hari. Sebaliknya, Iran mengimpor barang dari Indonesia dalam nilai yang sama. Namun, pembelian dari pihak Iran kurang lancar sehingga neraca perdagangan Indonesia selalu defisit. Menurut Habibie, Indonesia selama ini mengimpor minyak mentah dari Iran dengan nilai sekitar 100–150 juta dolar Amerika Serikat per tahun. Sementara Iran biasanya membeli barang-barang dari Indonesia, seperti jeans, tekstil, plywood , kopi, dan sepatu. Namun, pasar Iran menjadi jenuh. “Iran masih harus membelanjakan sekitar 200 juta dolar Amerika Serikat untuk barangIndonesia agar neraca perdagangan kedua negara bisa berimbang. Sebagai pilihan lain, Iran tertarik membeli pesawat helikopter dari Indonesia. Ini nilainya jauh lebih tinggi dibanding plywood dan tekstil,” kata Habibie, dikutip Antara , 21 November 1993. Dalam kesempatan memimpin delegasi Iran ke Indonesia pada pertemuan Komisi Bersama Ekonomi Indonesia-Iran kedua (1-3 November 1993), Mohammad Gharazi, menteri pos, telegraf, dan telepon, menyampaikan bahwa Iran ingin membelanjakan sekitar 80 juta dolar Amerika Serikat untuk membeli helikopter dari Indonesia. Sebenarnya, Iran ingin membeli helikopter buatan IPTN sejak awal dasawarsa 1980-an. “Delegasi dari Iran datang ke Indonesia awal 1980 untuk melihat barang yang mungkin bisa dibeli dan mereka tertarik pada helikopter Super Puma buatan IPTN,” kata Habibie. Super Puma TNI AL dengan dummy Exocet. ( lancercell.wordpress.com ). Saat itu tengah berkecamuk perang Iran-Irak (September 1980–Agustus 1988). Pada masa ini, menurut M. Riza Sihbudi dan Indonesia Timur Tengah: Masalah dan Prospek , hubungan Indonesia-Iran berada pada fase pertama (1979-1988) pasca revolusi Iran. Dalam konflik Iran-Irak, Indonesia bersikap netral, berusaha menjaga jarak dengan Iran maupun Irak. Oleh karena itu, rencana penjualan helikopter Super Puma mengundang intelijen untuk menelusurinya. “Kami orang intel ingin tahu apakah Iran hanya akan membeli helikopter kosong atau dengan senjata? Kalau dengan senjata, apa senjatanya?” kata Teddy Rusdy kepada pengamat militer, Salim Haji Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto . Saat itu, Kolonel Teddy Rusdy membantu Benny Moerdani sebagai Paban (Perwira Diperbantukan) VIII Staf Intel Hankam. Dari kajian tentang jual beli senjata dalam perang Iran-Irak, rapat intelijen yang dipimpin Benny Moerdani dan dihadiri Teddy Rusdy menyimpulkan ada sesuatu yang disembunyikan di balik rencana penjualan helikopter Super Puma itu. “Akhirnya, Pak Benny dapat menyingkap bahwa ‘secara tertutup’ helikopter Super Puma akan dipersenjatai dengan peluru kendali Exocet buatan Euromissile negara Prancis dan Jerman,” tulis Servas Pandur dalam biografi Teddy Rusdy, Think A Head . Marsekal Muda TNI Teddy Rusdy ketika menjabat Ketua LPT Taruna Nusantara menerima kunjungan Menhankam Jenderal TNI Benny Moerdani. (Repro Think A Head ). Benny kemudian menugasan Teddy Rusdy segera terbang ke Prancis untuk memastikan apakah pemerintah Prancis mengizinkan Indonesia menjual Exocet ke Iran. Dari Jakarta, Teddy naik pesawat Garuda menuju Singapura. Dari Singapura, dia naik pesawat supersonik Concorde menuju Paris. Sebelum berangkat, dia menelepon rekannya dari Euromissile untuk membuat janji pertemuan. Esok harinya, tepat jam 11.00 pagi waktu Paris, di hotel tempatnya menginap,Teddy bertemu pejabat dari Euromissile. Setelah berbasa-basi, dia menanyakan apakah Menristek/Kepala BPPT B.J. Habibie mendapat persetujuan menjual Exocet kepada Iran? Pejabat Euromissile itu menjawab dengan tegas: “Tidak!” Dia juga menambahkan kalau Habibie melakukannya, akan di- blacklist dan dituntut oleh negara anggota NATO. “Mereka terkejut dan mengancam mengembargo Indonesia jika senjata itu dijual ke negara ketiga,” kata Teddy. Sesampainya di Jakarta, Teddy melaporkannnya kepada Benny bahwa Euromissile tidak tahu dan tidak setuju penjualan Super Puma dilengkapi Exocetkepada Iran. Benny kemudian melaporkannya kepada Presiden Soeharto. “Mendengar laporan intelijen itu, Presiden Soeharto tersenyum, mengangguk-anggukan kepalanya perlahan tapi pasti, sampai hilang senyumnya,” tulis Servas Pandur. “Akhirnya, rencana penjualan senjata itu berhenti di tengah jalan setelah Benny dan saya melapor ke Pak Harto,” kata Teddy. Jenderal TNI L.B. Moerdani menghadap Presiden Soeharto. (Repro Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto ). Salim Haji Said mengkonfirmasi kepada Habibie pada 9 Januari 2012. Habibie membantah akan menjual helikopter Super Puma dengan senjata Exocet kepada Iran. “Saya ini seorang profesional dan tahu mengenai apa arti embargo. Bagaimana mungkin saya akan menjual helikopter kepada Iran yang waktu itu perang dengan Irak dan sedang diembargo oleh Barat. Saya sampaikan rencana penjualan helikopter di sidang kabinet? Never . Silakan periksa semua laporan sidang kabinet di Setneg,” kata Habibie. Selanjutnya, Habibie mengakui, “Saya memang pernah diundang ke Iran waktu itu. Tapi, saya tolak. Saya tidak mungkin kerja sama dengan mereka. Saya tidak mau melanggar embargo. Bisa saja ada orang lain yang menggunakan nama Habibie. Lagi pula kita di Bandung tidak membikin Exocet. Dari mana ceritanya saya mau ekspor Exocet?” Dalam laporan majalah Angkasa disebut bahwa IPTN pernah memodifikasi satu unit AS332F Super Puma milik TNI AL dengan dummy rudal AM39 Exocet yang dipasang di kiri dan kanan . Namun, proyek coba-coba ini tak pernah lagi terdengar kelanjutannya. Pupus bersama krisis moneter yang menghantam pada 1997 -1998 .
- Karpet Merah Piala Oscar dalam Sejarah
Dari sekian nominasi di Academy Awards ke-92 di Teater Dolby, Los Angeles, Amerika Serikat, Minggu (9/2/2020) malam waktu setempat, film Joker jadi sorotan yang paling menonjol. Film yang diadaptasi dari komik itu masuk 11 nominasimeski hasilnya sekadar dua Piala Oscar, di kategori aktor utama terbaik (Joaquin Phoenix) dan musik scoring orisinil terbaik (Hildur Guðnadóttir). Film 1917 yang masuk di 10 nominasi, membawa pulang tiga Piala Oscar.Masing-masing dari kategori sound mixing terbaik (Mark Taylor dan Stuart Wilson), sinematografi terbaik (Roger Deakins), dan efek visual terbaik (Guillaume Rocheron, Greg Butler, dan Dominic Tuohy).Ia mengalahkan Avengers: Endgame yang laris dan populer . Yang menjadi kejutan adalah gemilangnya film Korea Selatan Parasite , yang menyabet empat Piala Oscar sekaligus. Masing-masing dari sutradara terbaik (Bong Joon-ho), naskah orisinil terbaik, film fitur internasional terbaik , dan best picture . Hebatnya, di kategori Best Picture ia mengalahkan The Irishman , Ford v Ferrari , Jojo Rabbit , Joker , Little Women , Marriage Story , 1917 , dan Once Upon a Time in Hollywood . Parasite mencetak sejarah d al am perhelatan Academy Awards , yakni sebagai film Asia pertama yang menang kategori film terbaik. Lantas, bagaimana sejarah Academy Award itu sendiri? Trofi Penyatu Industri Film Semua bermula dari berdirinya Academy of Motion Picture Arts and Sciences (AMPAS)pada 11 Mei 1927. Organisasi itu dinisiasi pemilik rumah produksi Metro-Goldwyn-Mayer (MGM) Louis Burt Mayer. AMPAS didirikan sebagai organisasi yang jadi wadah bagi penyelesaian sejumlah sengketa para pelaku film di Hollywood.Setahun kemudian, Mayer menawarkan ide apresiasi para pelaku film. “Saya menemukan cara terbaik menangani (para pekerja film) adalah dengan mengalungkan medali kepada mereka. Jika saya bisa memberikan mereka piala dan penghargaan, mereka akan ‘saling bunuh’ dalam persaingan produksi film sebagaimana keinginan saya. Itu alasannya Academy Award diciptakan,” ujar Mayer dalam biografi yang dituliskan Scott Eyman, Lion of Hollywood: The Life and Legend of Louis B. Mayer. Para petinggi AMPAS lantas memutuskan pemberian penghargaan Academy Award Merit akan diberikan kepada 17 kategori yang merepresentasikan 17 cabang AMPAS. Mulai dari kategori aktor terbaik hingga penulis naskah terbaik. Namun, baru pada 1929 Academy Awards pertama dihelat sebagai ajang apresiasi karyadan para pelakunya dalam kurun 1927-1928, di Hotel Hollywood Roosevelt. Para pemenangnya ditentukan berdasarkan voting ribuan anggota AMPAS. Nama-nama pemenang sudah diberikan ke sejumlah media cetak dan radio tiga bulan sebelum upacara penganugerahan. Namun kebijakan itu diubah setelah tahun 1930.Nama-nama pemenang baru diberikan ke media beberapa jam sebelum malam penganugerahan, untuk keperluan percetakan suratkabar. Namun, kebijakan itu rawan kebocoran.Pada Academy Awards ke-12, Los Angeles Times sudah memuat bocoran nama pemenangsebelum malam penganugerahan, 29 Februari 1940. AMPAS lalu mengubah kebijakannya untuk Academy Awards ke-13, yang berlaku hingga sekarang, bahwa nama-nama pemenang hanya akan dituliskan di dalam selember kertas tertutup amplop. Amplop itu baru akan dibuka di atas panggung malam penganugerahan. Malam anugerah Academy Awards pertama pada 1929. ( oscars.org ). Trofi dan Julukan “The Oscars” Simbol penghargaan Academy Award berupa trofi berlapis emas 24 karat berbobot 8,5 pon (±3,8 kilogram) dan tinggi 13,5 inci (34,3 sentimeter).Wujud trofi bergaya art deco itu berupa sosok seorang ksatria berdiri di atas gulungan film sambil memegang pedang. Trofi itu didesain Cedric Gibbons, sineas di Hollywood kala itu. “Sketsa desainnya dibuat pada saat dia bosan di rapat komite Academy (AMPAS, red). Saat dia bosan mendengarkan pidato tentang pentingnya imej yang kuat, Cedric Gibbons menggambar sesosok ksatria Perang Salib tanpa pakaian sedang menancapkan pedangnya ke sebuah gulungan pita film,” tulis Anthony Holden dalam The Oscars. Saat Mayer menggagas ajang Academy Award, dia meminta Gibbons membuat trofi apresiasinya. Untuk menyempurnakan desain dari sketsa awalnya, Gibbons menggunakan Emilio Fernández,aktor yang dikenalnyadari sang pacar Dolores del Río, sebagai modelnya. Hasil penyempurnaan sketsa Gibbons itu menjadi acuan pematung George Stanley dalam membuat trofi, dengan pengawasan Guido Nelli dari California Bronze Foundry. Trofi itu dinamai Academy Award of Merit. Sejak 1939, trofi itu lebih beken disebutThe Oscars atau Piala Oscar. Ada tiga individu yang mengklaim sebagai yang pertama mempopulerkan istilah The Oscars. Pertama adalah Bette Davis, aktris yang memenangi trofi itu lewat film Dangerous (1935)di Academy Awards 1936. Ia menyebut trofi itu sebagai Piala Oscar karena sosok ksatria telanjang di trofi itu mengingatkannya pada bokong suaminya, Harmon Oscar Nelson. Austin Cedric Gibbons (kiri) desainer trofi Academy Award of Merit/The Oscars yang lantas dibuat pematung George Maitland Stanley. ( Los Angeles Magazine , Februari 2016/Dok. Keluarga Stanley). Klaim kedua berasal dari Margaret Herrick, pustakawan AMPAS. Mengutip Emanuel Levy dalam All About Oscar: The History and Politics of the Academy Awards , Herrick menyebut nama “Oscar” saat melihat patung emas itu pertamakali pada 1931, merujuk pada nama sepupunya, Oscar Pierce yang acap ia juluki “Paman Oscar”. Klaim ketiga datang dari kolumnis Sidney Skolsky. D i artikelnya yang dimuat New York Daily pada 1934, Skolsky menyematkan kata “Oscar” untuk me ledek trofi itu . “ Will you have a cigar, Oscar ?” tulisnya. “Itu malam Academy Award saya ketika saya menjuluki trofi itu. Saya tak berusaha mengklaimnya secara hukum. Saya hanya ingin membuat trofi itu lebih humanis… Tahun-tahun berikutnya ketika merujuk penghargaan Academy, saya selalu memakai kata ‘Oscar’. Dalam beberapa tahun kemudian nama itu diterima dan diakui. Terbukti nama itu nama yang magis,” kata Skolsky dalam memoarnya yang dirilis pada 1975, Don’t Get Me Wrong, I Love Hollywood. Pada 1939, AMPAS menetapkan julukan “The Oscars” bermula dari Herrick secara tersirat. Sementara,Skolsky diakui sebagai pihak pertama yang menyebut julukan itu secara tersurat.





















