top of page

Hasil pencarian

9585 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Perempuan Setelah Perang Jawa

    PEREMPUAN di era prakolonial memainkan peran cukup signifikan. Khususnya sebelum Perang Jawa (1825-1830), perempuan dapat dijumpai dalam bidang politik, perdagangan, militer, budaya, dan kehidupan sosial. “Dunia sebelum Perang Jawa dan setelah Perang Jawa itu berbeda. Ini adalah refleksi dari satu dunia matriarki yang tenggelam; jauh dari kita,” kata sejarawan Peter Carey dalam bedah bukunya, Perempuan-perempuan Perkasa di Jawa Pada Abad ke XVIII dan XIX di Griya BPPI Jakarta, 27 April 2016. Dalam bukunya yang ditulis bareng Vincent Houben itu, Peter Carey membeberkan bahwa dalam gejolak politik era Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC) menuju zaman kolonial, perempuan bukan hanya menjadi teman ranjang. Mereka terdidik secara informal untuk bisa bertahan di kondisi serba sulit. Peter Carey menyebut Jawa prakolonial adalah dunia yang radikal. Dari sisi geografis, 75 persen wilayah Jawa terdiri dari hutan belantara. Perjalanan melintasi Jawa harus melalui sungai besar dan jalan raya berlumpur. Dalam lingkup masyarakat penuh gejolak, perempuan dipaksa cepat dewasa. Mereka harus bertahan dan mencari cara bagaimana bisa bergerak di tengah kondisi sulit. “Mereka diasah. Mereka hidup di situasi penuh tantangan bagaimana mereka bisa survive ,” ujarnya. Sebaliknya, pada masa Hindia Belanda (1818-1942) yang menandai era kolonial sesungguhnya, Jawa mengadopsi sistem patriarki. Ini terasa pada masa berkuasanya Herman Willem Daendels (1808-1811). “Daendels mengumumkan bahwa ‘perempuan tidak punya tempat dalam penghormatan umum, dengan perempuan hanya ada urusan pribadi’,” katanya. Tatanan perempuan berubah 180 derajat setelah Perang Jawa. Ketika Belanda menaklukkan Jawa, dimulailah satu dunia baru. Negara birokrasi lahir di mana gaya Belanda menjadi pola utama. “Bangsawan muda tidak dididik lagi oleh eyang buyut tapi diindekoskan di keluarga Indo-Belanda,” ujarnya. Peter Carey menilai situasinya menjadi lebih permisif. Perempuan Jawa yang tadinya perkasa, sejak saat itu telah “dijinakkan”. “Perempuan perkasa diganti budaya museum yang dipertontonkan di ekspo kolonial, bahwa ‘orang Jawa sebagai bangsa yang paling lembut di dunia’,” ujarnya.*

  • Berbagi Mimpi Museum Multatuli

    MIMPI mendirikan Museum Multatuli di Rangkasbitung, Lebak ternyata tak hanya jadi milik warga Lebak. Warga Belanda pecinta Multatuli pun memiliki mimpi yang sama. Hal itu diungkapkan oleh Winnie Sorgdrager, ketua Perkumpulan Multatuli (Multatuli Genootschap) yang juga menteri kehakiman Belanda periode 1994-1998, pada acara penyerahan koleksi Multatuli kepada Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya, Selasa malam, 26 April yang lalu. “Dulu kami punya mimpi yang sama untuk mendirikan museum Multatuli di Lebak. Kini mimpi itu akan segera terwujud,” kata Winnie di Multatuli Huis, Amsterdam. Dia mengapresiasi rencana pemerintah kabupaten Lebak membangun museum dan perpustakaan, sementara di Belanda perhatian pemerintah kepada museum justru semakin menurun. “Di sini kami harus bersusah payah merawat museum agar kelak tak hanya ada plang bertulisan ‘di rumah inilah Multatuli dilahirkan’ sementara fungsi bangunannya berubah menjadi toko keju,” ujar Winnie disambut derai tawa tamu undangan. Sementara itu dalam pidato sambutannya, Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya mengatakan dua abad setelah Multatuli pergi dari Lebak, ada banyak kemajuan yang telah dicapai di daerah yang dipimpinnya. Lebak memang masih terhitung sebagai daerah miskin, namun dia mengatakan pemerintah bekerja keras untuk memperbaiki keadaan. “Kami terus berusaha meningkatkan mutu kehidupan masyarakat, mulai pendidikan sampai transportasi. Kami juga berencana menjadikan Rangkasbitung sebagai kota tujuan wisata sejarah dengan harapan program ini mendatangkan banyak manfaat bagi masyarakat,” kata Iti. Dalam acara tersebut, Perkumpulan Multatuli Belanda menyerahkan beberapa benda-benda bersejarah yang berkaitan dengan Multatuli. Beberapa di antara adalah litografi wajah Multatuli yang dibuat oleh Douwes Dekker sendiri, buku Max Havelaar terjemahan Prancis yang terbit pertama pada 1872 dan yang paling menarik adalah sepasang tegel berwarna hitam dan putih. “Kami akan serahkan satu tegel berwarna putih untuk Museum Multatuli di Lebak dan satu tegel berwarna hitam di Multatuli Huis, Amsterdam, sebagai lambang persaudaraan,” kata Winnie. Selain benda bersejarah itu, Perhimpunan Multatuli juga akan mengupayakan sumbangan buku ke perpustakaan Saijah-Adinda. Dik van der Meulen, sejarawan penulis biografi Multatuli mengatakan akan menghubungi pengurus perhimpunan untuk menyumbangkan buku-buku bagi perpustakaan yang kini sedang dibangun itu. Pada presentasinya tentang museum Multatuli, Iti Octavia memaparkan program apa saja yang akan dilakukan setelah museum berdiri. Beberapa di antaranya adalah pelatihan kurator museum dan program residensi penulis dari kedua negara, di mana penulis muda dari Belanda bisa tinggal di Lebak, begitu juga sebaliknya. Menurut rencana, pembangunan museum Multatuli dan perpustakaan Saijah-Adinda di Rangkasbitung, Lebak akan selesai akhir tahun ini dan diharapkan terbuka untuk publik pada 2017 mendatang.

  • Penghargaan untuk Tan Malaka

    PEMERINTAH Kabupaten Limapuluh Kota berencana membangun rumah sakit dengan nama Tan Malaka. “Pembangunan rumah sakit Tan Malaka akan dimasukan dalam RPJM Kabupaten Limapuluh Kota,” kata Wakil Bupati Ferizal Ridwan. Pernyataan itu disampaikannya dalam diskusi bertema “Tan Malaka, Islam, dan Gerakan Mencapai Indonesia Merdeka” yang digelar Tan Malaka Institute di rumah kelahiran Tan Malaka di Nagari Pandam Gadang, Kecamatan Gunung Omeh, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatra Barat, 23 April 2016. Acara itu dihadiri lebih dari 100 orang. Hadir pula para penghulu ( niniak mamak ) dari Nagari Pandam Gadang dan nagari sekitar. Mereka datang lengkap dengan simbol-simbol penghulu yang menandaskan bahwa Tan adalah pucuk pimpinan adat di sana. Dalam acara tersebut muncul juga ide mendirikan Universitas Tan Malaka dan pemindahan makam Tan dari Selopanggung, Kediri, ke Tamam Makam Pahlawan Kalibata Jakarta atau kampung halamannya di Pandam Gadang. Nama Tan Malaka telah dijadikan nama jalan sepanjang 48 kilometer dari Payakumbuh ke Koto Tinggi. Kendati demikian, masih ada saja yang menentangnya karena dia komunis. Padahal oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) sendiri Tan dianggap pengkhianat karena tidak setuju dengan pemberontakan PKI tahun 1926-1927.  Tokoh muda Nahdlatul Ulama, Khatibul Umam Wiranu, mengatakan bahwa Tan Malaka lahir dalam lingkungan Islam yang kuat. Salah besar mengatakan bahwa Tan Malaka adalah seorang komunis yang otomatis ateis. “Tan hadir sebagai seorang muslim. Dari yang saya baca dia belajar ngaji di surau, dan kemudian hafal Alquran. Ini pasti mendasari Tan dalam perjuangannya,” kata anggota DPR ini. Tan Malaka dan Islam sebetulnya tidak perlu diragukan lagi. Dalam Kongres Komunis Internasional IV, 12 November 1922, Tan mengusulkan aliansi Islam-Komunisme dengan membentuk Pan-Islamisme dalam rangka melawan imperialisme. Akademisi Universitas Indonesia Zulhasril Nasir mengatakan, dalam sepakterjangnya, Tan dibekali dua bekal yakni Alquran dan silat. Dia berharap generasi hari ini dan bangsa Indonesia belajar pokok pikiran Tan Malaka lalu menyerap nilai-nilai perjuangannya. Pembicara lain, Masinton Pasaribu mengatakan pengenalan kembali Tan mesti dibarengi dengan revisi kurikulum sejarah. Selain itu, lanjutnya, Tan Malaka harus diberi ruang untuk didiskusikan dan dipelajari. Dia menentang pihak-pihak yang sejauh ini menghalangi dan melarang diskusi atau acara yang berkenaan dengan Tan Malaka. Bagi Masinton, buku karya Tan Malaka seperti Madilog dan Gerpolek merupakan referensinya ketika menjadi aktivis. “Perkenalan dengan Pak Tan, perkenalan dengan idenya. Pak Tan pejuang pemikir, pemikir pejuang. Dan berjuang tidak mikir-mikir,” ujar anggota DPR dari PDI Perjuangan ini. Menurutnya, pemikiran Tan masih relevan saat ini karena idenya melampaui zamannya. Hebatnya, pemikiran Tan terdokumentasi dengan baik. Sementara cicit Tan Malaka, Indra Ibnur Ikatama, berharap selain pulihnya nama Tan Malaka, pemerintah daerah melakukan langkah kongkret untuk memperbaiki rumah gadang Tan Malaka yang kondisinya memprihatinkan.*

  • Anak Kartini Jenderal Kiri

    RA Kartini meninggal dunia pada 17 September 1904, empat hari setelah melahirkan putra pertamanya, Raden Mas Soesalit Djojoadhiningrat –nama terakhir dari ayahnya, Raden Adipati Djojoadhiningrat, bupati Rembang. Soesalit diasuh oleh neneknya, MA Ngasirah, ibu Kartini. Soesalit sempat menjadi asisten wedana di Banyumas sebelum akhirnya meniti karier di kemiliteran. Pada masa pendudukan Jepang, Soesalit mengikuti pendidikan sekolah militer ( Renseitai ) di Magelang dan melanjutkan ke Pembela Tanah Air (Peta). Dia kemudian menjadi komandan batalion ( daidancho ) Peta di Banyumas II (Sumpyuh) pada 1943-1945. Setelah Indonesia merdeka, Kolonel Soesalit menjadi Komandan Divisi III/Yogyakarta. Pengangkatan ini sebenarnya tidak disetujui oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman dan Jenderal Oerip Soemohardjo. Namun, Soesalit dipilih oleh Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin. Menurut S.I. Poeradisastra dalam tulisan tentang “Oerip Soemohardjo”, dimuat Prisma No. 9 September 1982, Soesalit adalah adik tiri Abdoelmadjid Djojoadhiningrat, menteri muda urusan sosial dari Partai Sosialis. Dia favorit Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin yang juga dari Partai Sosialis. “Baru pada tanggal 25 September 1946 pengangkatan Soesalit diterima Soedirman-Oerip,” tulis Poeradisastra. Pada 1948, Mayor Jenderal Soesalit kemudian menjabat Panglima Divisi III/Diponegoro Jawa Tengah (gabungan Divisi II lama dan divisi III lama). Menurut anak buahnya, Mayor D. Ashari, kepala staf penerangan Divisi Diponegoro, Soesalit memiliki postur mengesankan, pundaknya agak tinggi, sorot matanya tajam. Dia terpelajar, banyak membaca, dan merakyat. “Yang membuat kami heran, dia simpatisan kelompok kiri dalam politik sehingga tokoh idolanya adalah Jenderal Chu Teh dari Cina,” kata Ashari dalam otobiografinya, Antara Tugas dan Hobby. “Kalau sedang di lapangan, seragamnya sama dengan jenderal Cina, mengenakan pet ala Jenderal Chu Teh, pakai kacu sapu tangan merah di leher. Pembawaannya angker dan seram.” Rekan Ashari di Divisi Diponegoro, Sutikno Lukitodisastro, mengatakan bahwa Soesalit seorang yang eksentrik. Selain Jenderal Chu The, dia juga mengagumi Mao Tse Tung, pemimpin Cina. “Karena itu topi yang beliau pakai ala topi Chu Teh, juga bintangnya bintang merah,” kata Sutikno dalam testimoni untuk Ashari. Kendati angker dan seram, Soesalit ternyata takut ketinggian. Setiap keliling daerah Dieng, dia maunya jalan kaki. Para staf terpaksa jalan kaki padahal perjalanan berjam-jam. Begitu pula ketika melakukan perjalanan dinas sebagai direktur jenderal perhubungan, dia lebih memilih naik kereta api daripada pesawat. Ciri khas yang lain, Soesalit tidak suka bertemu perwira asing. Sewaktu di Yogyakarta, ketika perwira Komisi Tiga Negara (KTN) mau datang, dia segera keluar markas. “Saya ada urusan lain, kamu saja,” katanya meminta staf mewakilinya. Sikap Soesalit yang kekiri-kirian bikin risau para sejawatnya. Bahkan dalam suatu pertemuan lengkap, yang dihadiri para komandan resimen dan anggota staf Divisi Diponegoro dan dipimpin Kepala Staf Kolonel Soekendar, mereka menyatakan penyesalan atas sikap Soesalit yang kekiri-kirian. Soesalit terkejut dan marah, rapat pun dibubarkan. Komandan Resimen Tegal Letnan Kolonel Wadyono secara sinis menamakan peristiwa itu de opstand der Zombies (pemberontakan para Zombie). Menurut Ashari, karena kekiri-kirian, Soesalit diberhentikan sebagai panglima Divisi Diponegoro dan diangkat menjadi penasihat gubernur militer Jawa Tengah. Saatnya bersamaan dengan meletusnya Peristiwa Madiun 18 September 1948. “Tapi Pak Soesalit tidak bergabung dengan kaum komunis yang melancarkan Peristiwa Madiun,” kata Ashari. Untuk membatasi geraknya, Soesalit ditempatkan di rumah dinas panglima divisi di Magelang yang disebut “jenderalan”. Para perwira dilarang menemuinya, namun Ashari dan Sutikno diam-diam suka menengoknya. Pada agresi militer Belanda II, Soesalit ikut gerilya keluar kota Magelang. Dia meninggalkan barang-barangnya kecuali seekor anjing herder kesayangannya. “Pak Soesalit kita tanggung sehingga seluruh masa gerilya di Gunung Sumbing beliau tercatat aktif dalam perjuangan yang mempermudah beliau direhab setelah kita masuk kota,” kata Ashari. Soesalit menikah dengan Siti Loewijah, anak priayi asal Tegal, dan dikaruniai seorang putra, Boedi Setyo Soesalit yang lahir di Banjarnegara pada 24 Februari 1933. Boedi menikah dengan Sri Bijatini. Soesalit meninggal dunia pada 17 Maret 1962 di RSPAD Jakarta karena komplikasi penyakit. Wakil KSAD Jenderal Gatot Subroto mengantarkan jenazahnya ke Jawa Tengah. Di antara para pengantar terdapat Ketua CC PKI D.N. Aidit. Pasalnya, Soesalit yang membiayai sekolah kedokteran Soetanti, istri Aidit. Soetanti dan Soesalit masih ada hubungan keluarga. Kartini adalah saudara sepupu ayah Soetanti, Raden Mas Moedigdo. “Moedigdo tewas dalam Peristiwa Madiun. Istrinya, kelak lebih dikenal sebagai Ibu Moedigdo, meneruskan perjuangan, memimpin ormas Gerakan Wanita Indonesia, disingkat Gerwani,” tulis Julius Pour dalam Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan dan Petualang. Soesalit dimakamkan di Desa Bulu, Rembang. Dia dianugerahi Bintang Gerilya pada 21 April 1979.*

  • Rekonsiliasi Bukan Basa Basi

    SIMPOSIUM Nasional Tragedi 1965 usai digelar kemarin. Sebelum simposium diselenggarakan santer tersiar kabaritikad pemerintah untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu dengan pendekatan non-yudisial. Tujuannya hanya satu: rekonsiliasi bangsa. Rekonsiliasi di sini mengandung sejumlah masalah. Saya akan membahas tiga saja. Pertama , rekonsiliasi tidak punya definisi dan indikator yang jelas. Awalnya ini konsep yang muncul dari nilai-nilai keagamaan. Belakangan, rekonsiliasi menjadi istilah yang banyak dipakai dalam konteks pascaperang dan pascatransisi politik. Tidak ada ilmuwan yang bersepakat akan definisinya, bisa dalam arti sempit seperti saling memaafkan, namun bisa juga dalam arti yang lebih kompleks seperti hidup harmonis bermasyarakat. Akibat ketidakjelasannya, ia tak bisa dioperasionalkan dalam bentuk mekanisme yang khusus. Umumnya ia dilekatkan pada bentuk mekanisme lain: pengungkapan kebenaran lewat mekanisme komisi kebenaran, atau pengadilan. Dua yang disebut ini menjadi sebuah prasyarat, karena rekonsiliasi baru memiliki makna dan tujuan ketika ada sebuah kebenaran yang diterima bersama dan keadilan terutama bagi pihak yang dizalimi.  Kedua , rekonsiliasi adalah tujuan. Dia bukan cara yang dimanifestasikan lewat mekanisme tersendiri. Sebagai sebuah tujuan, dia tidak dapat direkayasa secara sosial politik dan dilihat hasilnya dalam waktu singkat. Rekonsiliasi membutuhkan proses, dan biasanya panjang melibatkan saling dialog dalam diskursus publik, dari  tingkat nasional hingga di dalam keluarga atau komunitas. Dalam hal ini, rekonsiliasi tidak diciptakan, tetapi ditumbuhkan. Proses-proses menumbuhkannya itulah yang harus dilakukan bersama-sama antara pemerintah dan masyarakat. Kanada dan Australia menumbuhkan rekonsiliasi terhadap kelompok penduduk asli ( indigeneous ) pasca pengungkapan kebenaran atas kejahatan berat yang dilakukan terhadap penduduk asli ini. Dari mulai menulis ulang sejarah, kegiatan pendidikan hingga akses sosial politik dan ekonomi dibangun bersama-sama oleh pemerintah federal maupun negara bagian, bersama dengan beragam komunitas masyarakat, untuk menumbuhkan saling hormat dan memastikan keadilan bagi masyarakat asli itu. Ketiga , rekonsiliasi adalah kompromi masa lalu dan masa kini. Untuk penguasa, rekonsiliasi berarti lebih sederhana lagi: kompromi kekuasaan. Ia merupakan medium bertemunya kepentingan penguasa represif untuk menjustifikasi kekuasaannya di masa lalu, dan kepentingan kekuasaan demokratis untuk mendapatkan keamanan bagi legitimasi yang didapat lewat mekanisme politik liberal. Karena itu seringkali ia menjadi antitesis dari upaya-upaya penegakan kebenaran dan keadilan atas sesuatu yang menjatuhkan legitimasi sejarah penguasa di masa lalu. Terutama dalam konteks transisi, saat elemen dari penguasa masa lalu masih bercokol kuat dalam liberalisasi politik, seperti di Indonesia, maka kebenaran dan keadilan adalah sesuatu yang mengancam dan pada saat yang sama dimanfaatkan untuk membangkitkan ketakutan di masyarakat. Narasi di seputar pascaterbunuhnya tujuh perwira padaOktober 1965, misalnya, saat ratusan ribu orang dibunuh dan puluhan ribu lainnya hilang atau dipenjara tanpa proses pengadilan adalah contoh pertarungan kebenaran yang selama ini coba diungkap oleh masyarakat sipil. Upaya pengungkapan kebenaran itu bertabrakan dengan narasi pemerintahan Soeharto tentang pemberontakan kaum komunis yang dijadikan dalih pembunuhan massal tersebut. Ketika kelompok korban atau masyarakat sipil mendialogkan kebenaran kejahatan itu, elemen-elemen yang mempertahankan versi Orde Baru justru memukul balik kelompok masyarakat sipil tersebut dengan tuduhan komunisme gaya baru. Rekonsiliasi nasional yang diimpikan pemerintah Indonesia paling relevan dalam konteks peristiwa1965 ini. Dalam silang sengkarut narasi kesejarahan dan kemanusiaan ini, ada ribuan warga negara Indonesia yang masih terseok-seok mempertahankan hidupnya sebagai korban. Dalam keadaan demikian rekonsiliasi sebagai sebuah cara rekayasa oleh pemerintah adalah pilihan yang paling tidak tepat. Ada dua alasan untuk hal itu. Pertama , rekonsiliasi yang diinginkan pemerintah tidak memiliki prasyarat yang dibutuhkan, yakni kebenaran dan keadilan. Sejak 2006 Mahkamah Konstitusi sudah membatalkan UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Butuh waktu bertahun-tahun bagi pemerintah untuk mengajukan draft yang baru, dan DPR sepertinya tak mengindahkan legislasi RUU tersebut meskipun sudah ada dalam daftar Prolegnas. Pemerintah, dalam hal ini presiden, juga tidak pernah tegas terhadap Kejaksaan Agung yang tidak menindaklanjuti berkas-berkas penyelidikan Komnas HAM termasuk kasus 1965 sejak 2012 lampau. Akibatnya, tidak ada kebenaran bersama, dan tidak ada keadilan; padahal keduanya adalah prasyarat utama bagi rekonsiliasi. Masyarakat Indonesia masih terbelah pada kepercayaan terhadap kesejarahan dan identitas berbangsanya masing-masing. Rekonsiliasi sebagai sebuah cara hanya akan lebih dalam lagi memecah dan membenturkan kelompok-kelompok masyarakat. Ini berakibat pada hal kedua, yakni rentannya legitimasi politik pemerintah yang berkuasa saat ini. Rekonsiliasi hanya akan menjatuhkan pemerintah yang berkuasa, karena inisiatif itu akan ditentang oleh mereka yang masih memegang teguh narasi Orde Baru yang berkawin dengan kepentingan elemen politik masa lalu yang masih haus kuasa. Peristiwa 1965 adalah tantangan yang terberat dan yang paling fundamental menggariskan kesejarahan dan standar berbangsa di negeri ini. Kalaupun ada upaya pemerintah menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM masa lalu, kasus 1965 ini harus diselesaikan tersendiri, tidak sepaket dengan kasus-kasus lain yang menjadi keberlanjutan dari kekerasan masif yang terjadi dalam kasus 1965. Rekonsiliasi nasional dengan demikian, menjadi hasil positif yang kita harapkan terjadi beberapa tahun mendatang di saat kita semua bisa mengoreksi dan menerima sejarah gelap kekelaman kasus 1965 yang memburamkan kehidupan berbangsa kita di tahun-tahun berikutnya hingga hari ini. Penulis adalah peneliti untuk kajian-kajian keadilan transisi, HAM, dan demokratisasi.

  • Pelabelan PKI, Stigmatisasi Paling Kejam

    DARI sekian banyak stigmatisasi di Indonesia, pelabelan PKI merupakan pelabelan paling kejam. Hal ini memiliki efek negatif yang jauh kedalam korban yang dilabeli. Hal tersebut dikemukakan oleh psikolog sosial Universitas Persada Indonesia Idhamsyah Eka Putra dalam simposium nasional “Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan” di Hotel Aryaduta, Jakarta, 19 April 2016. Menurut Eka, dibandingkan stigma-stigma lain seperti “Cina atau orang cacat’, label PKI lebih dahsyat. “Kalau sudah dilabeli PKI, maka bisa dikucilkan, dijauhi, dilecehkan. Padahal kalau sudah dilabeli stigma, nggak ada urusannya sama ideologi,” kata Eka. Menurut Eka, efek negatif stigma PKI dan kriminal tidak berbeda. Untuk mengetahui dampak label PKI, Eka melakukan beberapa kali riset. Misalnya, dia meneliti seberapa jauh efek negatif label PKI terhadap anak sekolah dasar. Salah seorang yang dia jadikan sampel adalah murid berprestasi yang sering mewakili sekolah dalam berbagai lomba. “Guru-gurunya bangga berhasil mendidik dia,” kata Eka. Persepsi langsung berubah menjadi negatif setelah diinformasikan bahwa anak itu keturunan PKI. “Efeknya luar biasa. Gurunya yang tadinya bangga bilang: ‘setelah saya tahu, tiba-tiba rasa bangga saya drop’,” kata Eka. Dari sini kita bisa pelajari ternyata pelabelan sebagai anak PKI, itu luar biasa sekali. “Stigma dicap anak PKI pada saat itu lebih nista daripada anak haram jadah,” kata Witaryono Reksoprodjo, anak Setiadi Reksoprodjo, mantan menteri listrik dan ketenagaan yang ditahan oleh Jenderal Soeharto. 15 menteri yang ditahan juga dilabeli “tidak beretika dan tidak beritikad baik.” “Pelabelan tidak beretika dan tidak beritikad baik bagian dari narasi yang dibangun pada waktu itu untuk menjatuhkan pemerintahan Sukarno,” kata Witaryono. Pelabelan itu, lanjut Witaryono, tidak hanya kepada bidang profesionalnya tetapi kepada pribadi-pribadinya. Misalnya, menteri Imam Syafii di- bully dengan lelucon disebut menteri copet. Padahal, sejatinya Imam Syafii adalah pahlawan yang mempertahankan Jakarta ketika ibu kota dipindahkan ke Yogyakarta dengan mengerahkan copet dan pelacur. Menurut Eka, karena pelabelan PKI sangat berdampak jahat, maka pada waktu pemilihan presiden, Jokowi pun disebut anak PKI. Namun, Jokowi selamat. Akan tetapi, tidak dengan orang-orang yang dicap PKI pada masa lalu. “Pada Pemilu lalu Jokowi difitnah sebagai anak PKI. Ada yang memainkan isu itu. Pasti ada alasan kenapa memainkan label PKI itu. Efeknya ingin menjatuhkan Jokowi,” kata Eka. Eka pun membuktikan dalam penelitiannya, ketika seseorang yang memiliki berbagai kualifikasi ideal akan dicalonkan sebagai presiden, respons masyarakat terhadapnya pada awalnya positif. Namun, ketika masyarakat tahu calon presiden itu merupakan keturunan PKI grafik respons yang ditunjukan pun menurun. “Ketika orang diketahui dekat dengan PKI nilai orang itu turun. Tapi ketika dia ditambahkan info soal kedekatannya dengan PKI langsung drop, dari penilaian positif jadi negatif,” paparnya. Menurutnya studi ini membuktikan, label PKI memang memberikan efek luar biasa pada siapa pun. Bahkan anak kecil yang tidak paham sama sekali soal ideologi komunis. Namun, ada cara untuk setidaknya meredam stigma negatif. Dalam studi berikutnya Idamsyah pun menambahkan pemikiran kepada para responden; semua manusia pada dasarnya baik. Hasilnya, meski kecil respons negatif dari para responden tidak seburuk sebelumnya. “Kebanyakan orang mengamini manusia itu baik. Dalam studi efeknya luar biasa terhadap persepsi positif. Penekanan itu bisa meredam prasangka dan stigma,” lanjut dia. Namun, menurut Eka, terkait dengan upaya permintaan maaf selalu gagal. Hal ini karena kebanyakan persepsinya mengembalikan pada apa yang korban lakukan sebelum dibunuh; efeknya lari dari sanksi sosial. Yang kedua, ada rasa penyesalan tapi dikembalikan kembali kepada korban semasa hidup. Ketiga, mengakui kesalahan tapi takut publik tahu. Empat Kelompok Terkait 1965 Adapun Direktur Center for South East Asian Studies (CSAS), Yosep Djakababa menilai saat ini diperlukan keterbukaan pandangan untuk memahami kompleksnya masalah isu tragedi 1965. Dari tragedi itu setidaknya ada empat kelompok masyarakat yang terbentuk. “Pertama, kelompok masyarakat yang masih meyakini versi orde baru. Kedua, melihat ini dari sisi pelanggaran HAM. Ketiga, kelompok yang bingung karena banyaknya info. Keempat, kelompok yang tidak peduli,” terang Yosep. Yosep pun mengusulkan saat ini perlu membuka kembali ingatan kolektif baru yang lebih jujur. Hal ini terkait kepentingan bersama, yaitu mengakui adanya kekerasan politik yang menimbulkan dampak luar biasa. “Dilakukan dengan pembelajaran secara menyeluruh dengan fakta dan keilmuan yang valid. Sehingga diharapkan tragedi ini tak berulang,” ucapnya.

  • Sidarto Danusubroto: Negara Terlibat dalam Kejahatan Kemanusiaan 1965-1966

    SIDARTO Danusubroto, anggota Dewan Pertimbangan Presiden merasa tragedi 1965 sebagai beban bahkan utang sejarah yang harus dilunasi oleh generasi sekarang. Jangan diwariskan kepada generasi yang akan datang. Oleh karena itulah diadakan simposium “Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan” selama dua hari, 18-19 April 2016 di Hotel Aryaduta, Jakarta. Sebagai penasihat simposium, Sidarto mengatakan bahwa pelaksanaan simposium merupakan wujud keberanian semua pihak untuk menerima sudut pandang yang berbeda terkait tragedi 1965. “Ini suatu pencapaian tersendiri yang layak kita syukuri bahwa kita bisa saling berhadapan, bertatap muka, dan berdialog satu sama lain, dalam suasana yang beradab sebagai warga negara Indonesia,” kata Sidarto menutup samposium. Sidarto menambahkan, terkait tragedi 1965 dengan tetap mengakui adanya konteks politik internasional yaitu Perang Dingin, kita harus tetap mengakui dengan kebesaran jiwa bahwa kita belum mampu mengelola bangsa yang majemuk secara beradab terutama dalam perbedaan ideologi. Hal ini masih terus membayangi kita hingga saat ini, di mana kita mengelola perbedaan ras, etnis, agama, maupun perbedaan lain dengan jalan kekerasan. “Kita mengakui terjadinya konflik horizontal dalam tragedi 1965, namun demikian kita harus mengakui keterlibatan negara. Hal ini meminta kita untuk melakukan refleksi paling mendalam tentang bagaimana kita mengelola negara dan bangsa ini,” tegas purnawiran polisi itu. Lebih lanjut Sidarto menguraikan, tragedi 1965 telah menyebabkan adanya korban pahlawan revolusi beserta keluarganya. Lebih jauh tragedi ini telah menyebabkan pembunuhan dalam jumlah besar, belasan ribu orang dibuang, dipenjarakan, disiksa, tanpa proses pengadilan atau diberi kesempatan untuk melakukan pembelaan diri, tetapi langsung mengalami penahanan dalam janga waktu yang lama yang dikenal dengan istilah tahanan politik. “Tidak hanya perampasan hak dasar sebagai warga negara yang dialami oleh para tahanan politik dalam bentuk penahanan tanpa pengadilan, tapi perampasan hak dasar terjadi bagi warga negara yang diindikasikan sebagai eks anggota PKI dalam berbagai bentuk stigmatisasi dalam masyarakat, pelarangan terhadap banyak karya intelektual serta rasa takut yang menyebar karena hanya dengan membicarakannya bisa kena stigma,” kata Sidarto. Sidarto berharap dengan adanya simposium ini ke depannya semua pihak akan memiliki kebesaran jiwa. Menurutnya menjadi kewajiban seluruh bangsa untuk untuk menyembuhkan luka bangsa dan mengembalikan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam konteks kemanusiaan yang beradab. Dengan simposium ini pula, Sidarto menyatakan, harapan akan adanya penyelesaian kasus 1965 pun semakin menguat. Dia mendengar aspirasi dalam simposium ini sebagai dorongan kuat warga negara terhadap penyelesaian HAM. Sidarto berharap simposium ini memberikan rekomendasi untuk diambilnya langkah-langkah segera berupa rehabilitasi umum bagi para korban HAM dalam konteks mengembalikan hak-hak sipil dan hak-hak warga negara sepenuhnya tanpa stigma dan diskriminasi. Memberi pemulihan yang efektif dan menyeluruh kepada korban dan keluarga korban yang dituduh PKI dan yang terkena stigmatisasi dan diskriminasi. “Sesuai dengan yang telah direkomendasikan oleh Mahkamah Agung, DPR, dan Komnas HAM,” kata Sidarto yang pernah menjadi anggota DPR dan ketua MPR. Selain itu, Sidarto juga menekankan pentingnya perawatan ingatan yang seimbang dan objektif tentang tragedi 1965 demi memelihara kesadaran dan identitas kita sebagai bangsa Indonesia. Lebih lanjut, Sidarto juga berharap suasana kebebasan selama simposium bisa dilakukan di daerah-daerah tanpa ada gangguan dari pihak manapun dan negara wajib untuk melindungi.    “Saya berharap simposium ini menjadi sebuah langkah awal bagi penyelesaian yang menyeluruh dan berkeadilan. Terakhir, saya yakin dengan sikap penerimaan demikian kita tanpa terkecuali bisa melangkah ke depan dengan nyaman dan aman,” pungkas Sidarto.

  • Pentingnya Merawat Ingatan Peristiwa 1965

    IFDHAL Kasim, mantan Komisioner Komnas HAM, menyatakan pentingnya merawat ingatan mengenai peristiwa 1965. Khususnya, adanya pelanggaran berat HAM memberikan kewajiban pada negara untuk mengingat peristiwa itu. “Tidak menghancurkan dokumen atau situs-situs yang bisa membangkitkan ingatan,” ucapnya dalam simposium nasional “Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan,” di Hotel Aryaduta, Jakarta, 19 April 2016. Lebih lanjut, Ifdhal memaparkan tujuan merawat ingatan bukanlah untuk membalas dendam. Justru dengan memori diharapkan bisa mencegah peristiwa yang sama tidak terulang. “Jadi memori ini sebagai upaya pemulihan,” tuturnya. Selain iti, menurutnya para penyintas bisa mendapatkan hak-haknya di antaranya restitusi, kompensasi, rehabilitasi, dan memberikan kepuasan pada para korban atau penyintas yang menderita. “Selain empat itu, tentu mencegah peristiwa tidak berulang,” ungkap Ifdhal. Yang terpenting menurutnya negara harus mengambilalih persoalan ini. Negara tidak seharusnya membiarkan hal ini hanya menjadi upaya yang hanya dilakukan oleh masyarakat. Dia menilai negara sebenarnya sudah dibantu masyarakat untuk mengingat. Pun juga untuk mencegah benturan lebih keras di masyarakat. “Ada gerakan dari masyarakat namun negaranya tidak berani mengambil tanggung jawab,” tegasnya. Karenanya, penyembuhan perlu dilakukan sebagai sebuah bangsa. Jika tidak, prasangka politik akan selalu ada. Kekhawatiran juga akan selalu muncul. “Misalnya begitu simposium ini diadakan sudah ada yang protes. Selalu ada protes jika menyangkut peristiwa 1965. Ini menunjukan kita masih belum bisa melepaskan diri dari peristiwa lama seakan peristiwa itu baru terjadi kemarin,” papar Ifdhal.

  • Rekonsiliasi Harus Didahului Pengungkapan dan Pengakuan Kebenaran

    REKONSILIASI menjadi dasar untuk dapat menyelesaikan pelanggaran HAM berat tahun 1965. Namun, rekonsiliasi harus dimulai dari diri sendiri. Semua pihak harus berdamai dengan masa lalu. Demikian dikatakan oleh Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo, ketua panitia pengarah simposium nasional “Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan” di Hotel Aryaduta, Jakarta, 19 April 2016. “Banyak yang bilang mending dilupakan, masa lalu itu akan berlalu. Tapi ada berapa beban masa lalu yang akan terus diwariskan. Kita bukan bangsa beradab jika takut menghadapi masa lalu,” ujar Agus Widjojo. Tantangannya, kata Agus, adalah bagaimana semua pihak bisa melepaskan masa lalunya. “Sudahkan secara individu bisa berdamai dengan diri sendiri? Kalau masih berkutat menuntut keadilan kita tanpa sadar akan masuk ke dalam pembuktian pengadilan,” katanya. Menurut Agus konsep rekonsiliasi yang terpenting bukan penyelesaian antarindividu. Rekonsiliasi harus diletakkan pada bingkai kebangsaan. Dia berharap semua pihak tidak takut rekonsiliasi akan menghilangkan hak-hak pihak tertentu. Semua harus sepakat mitos korban bahwa negara bisa berlaku seenaknya pada warganya harus segera ditinggalkan. “Semua yang dituntut oleh semua komponen dapat selesai dengan rekonsiliasi. Tidak ada hak yang hilang,” tegasnya. Agus optimistis tragedi 1965 tak akan terjadi lagi di negara ini selama Indonesia tetap memakai sitem pemerintahan yang demokratis. “Sebelumnya kan kita menganut kultur kekuasaan absolut,” ungkapnya. Koordinator Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK), Kemala Candrakirana memaparkan bahwa selama 40 tahun dari 1965 hingga 2005 terkumpul 1.300 kasus kekerasan yang melibatkan 3.150 korban. “Data itu didapatkan dengan mendengar kesaksian melibatkan korban dan majelis warga di ruang publik dari Aceh sampai Papua,” kata Kemala. Bentuk-bentuk penganiyaan beragam, mulai dari pembasmian, kekerasan dalam merampas aset, penyeragaman dan pengendalian kekerasan antarwarga, serta kekerasan terhadap perempuan. “Impunitas terhadap pelanggaran HAM berat 1965-1966 telah memungkinkan terus terjadinya pelanggaran berat selama 40 tahun terakhir di Indonesia,” ujar Kemala. Sementara itu, Komnas HAM telah mengumpulkan berkas setebal 2000 lembar yang membuktikan terjadinya kejahatan HAM pada 1966-1966 dan dampak sesudahnya terhadap penyintas. “Itu adalah holocaust yang dilakukan oleh negara,” kata pegiat HAM, Harry Wibowo. Lebih jauh, Harry menyebut tragedi 1965 bukan hanya pelanggaran HAM berat, tapi merupakan kejahatan serius. “Jadi UU No. 26 tahun 2000 soal pengadilan HAM itu mereduksi kejahatan serius menjadi pelanggaran HAM,” ungkapnya. Kemala menegaskan proses rekonsiliasi akan tercapai sebagai dampak dari proses penyelesaian. Untuk mencapai proses penyelesaian, KKPK telah menyusun enam pilar yang disebut Satya Pilar. “Satya pilar adalah dasar kerja bersama untuk penyelesaian,” kata Kemala. Sejauh ini, langkah yang dilakukan masih parsial. Usaha menuju penyelesaian belum dilaksanakan dalam satu kesatuan. “Satya Pilar tidak ada jalan tunggal. Ini adalah penegakan integritas Indonesia sebagai negara hukum,” ujar dia. Pilar tersebut antara lain pengungkapan dan pengakuan kebenaran. Upaya ini menurut Kemala telah ada di lingkungan masyarakat. Namun, pilar ini juga dibutuhkan pengakuan dari negara. Kemudian, menurutnya perlu ada upaya khusus lewat pemulihan. Dalam hal ini bukan soal proses hukum. Namun kebijakan sosial, seperti soal kesehatan maupun perlindungan sosial. “Ada peran baik sektor pemerintahan nasional dan daerah. Kemudian ada dialog publik menuju rekonsiliasi yang selayaknya terjadi di semua ranah karena realitas pengalamannya beda-beda,” kata Kemala. Dalam hal ini, Kemala pun optimis bangsa Indonesia bisa mencapai harapan menuju rekonsiliasi. Sebab, berbagai pihak sudah mulai terbuka dengan isu 1965. Ini juga terlihat dari komunitas keagamaan. Beberapa guru pun mulai menggunakan bahan ajar yang independen dan tidak menutup diri pada kisah tragedi 1965. “Kita perlu merangkul ini semua agar menyeluruh dan bisa berdampak pada rekonsiliasi nasional,” kata Kemala. Harry Wibowo sepakat bahwa rekonsiliasi adalah dampak dari pengungkapan dan pengakuan kebenaran. Dia mengajukan empat pilar demi meraih tujuan rekonsiliasi, yaitu hak korban untuk mengetahui kebenaran, keadilan, pemulihan, juga jaminan tidak akan berulangnya kejahatan yang sama. Menurut Harry, dalam proses mencapai rekonsiliasi, perlu dibentuk service crime unit , seperti yang dilakukan dalam pengentasan kasus HAM di Timor Timor. Lembaga yang dimaksud semacam komisi pengungkapan kebenaran yang bisa menyeret pelaku kejahatan ke meja pengadilan. “Usulan saya adalah membentuk komisi pengungkapan kebenaran. Ini bersifat independen bertanggungjawab langsung pada presiden,” kata Harry Wibowo. Hal senada disampaikan Harkristuti Harkrisnowo, pakar hukum dari Universitas Indonesia. Menurutnya diperlukan komisi khusus untuk menangani rekonsiliasi 1965 tanpa mengganggu transformasi politik yang sedang berlangsung. “Komisi itu harus independen, tanpa kontrol pemerintah dalam investigasi dan menghasilkan rekomendasi,” katanya.

  • Ariel Heryanto: Negara Harus Meminta Maaf

    DALAM kerangka acuan simposium nasional “Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan,” disebutkan bahwa tahap berikut dari tragedi 1965 adalah operasi pengejaran bukan saja oleh TNI tetapi juga meluas menjadi “konflik horizontal” di beberapa daerah yang menyebabkan jatuhnya korban dari eks anggota PKI dalam jumlah besar. Ariel Heryanto, profesor di The School of Culture, History and Language, Australian National University, menegaskan bahwa peristiwa 1965 bukan konflik horizontal tetapi konflik vertikal. “Beberapa dari anda sudah memaklumi dan menyebut bahwa peristiwa 1965 adalah masalah konflik vertikal. Saya kira tugas saya untuk mengembangkan lebih lanjut pokok yang saya anggap penting ini,” kata Ariel. Untuk itu, Ariel menguraikan bahwa perlu dibedakan antara bangsa atau masyarakat Indonesia dengan negara Indonesia. Keduanya sering kali dicampuradukan. Untuk sederhananya, negara adalah sekumpulan badan atau lembaga yang satu-satunya boleh memiliki tentara, punya senjata dan boleh menembak, kalau bukan itu namanya preman; satu-satunya badan yang boleh membuat penjara dan memenjarakan orang; satu-satunya badan yang boleh mencetak uang; satu-satunya badan yang boleh memajaki warganya kalau bukan itu namanya palak. Jadi, jelas sekali bedanya antara bangsa dan negara. Dengan demikian, negara juga perlu dibedakan dengan pemerintah. “Kita tadi bicara siapa yang harus meminta maaf. Kalau menurut saya yang harus meminta maaf adalah negara. Pemerintah adalah perwakilan dari negara itu. Pemerintah bisa datang dan pergi; terpilih dan jatuh; negaranya tidak. Kalau pemerintah yang sekarang atau sebelumnya belum siap atau menolak meminta maaf, tidak berarti utang negara itu lunas; negara masih berutang, tinggal pemerintahnya yang belum siap,” tegas Ariel. “Saya berbicara negara secara kolektif,” lanjut Ariel. “Negara bertanggungjawab yang pertama dan utama atas kegagalan yang terjadi mengelola masyarakat di tahun 1965, baik itu presiden, parlemen, tentara, bersama-sama secara kolektif adalah negara. Saya tidak mau menujuk satu atau dua pihak,” lanjut Ariel. Menurut Ariel, dalam sejarah di Indonesia atau di banyak negara lain, kalau terjadi sebuah kekerasan massal yang meliputi wilayah yang besar dan berlangsung berbulan-bulan, biasanya negara ikut campur. Bukan konflik antarmasyarakat. “Dan tahun 1965 menurut saya menunjukkan itu,” kata Ariel. Apabila konflik-konflik yang terjadi di tahun 1960-an di Indonesia terjadi hanya pada level masyarakat maka yang terjadi adalah kekerasan yang bersifat sporadik, acak dan lokal. Korbannya mungkin puluhan atau ratusan. “Saya tidak bisa membayangkan sampai ribuan. Kalau jumlahnya sampai puluhan ribu atau ratusan ribu, pasti ada bantuan negara. Dan negara tersebut bisa juga dengan bantuan negara-negara lain, bekerjasama memungkinan terjadinya kekerasan,” kata Ariel. Ariel tidak menyangkal ada konfik pada level lokal antarwarga pada 1965. “Tetapi kalau berhenti pada level itu, anda sudah membebaskan negara dari kegagalannya dan kejahatannya ketika terlibat dalam kekerasan itu. Tetapi bila negara terlibat maka negara telah mengalihkan tanggungjawab itu kepada sesama warga yang terus menerus saling membeci dan mencurigai. Kita tidak akan pernah selesai dan akan begini terus,” kata Ariel. Sementara itu, Salim Said mengatakan bahwa mestinya kita memahami peristiwa 1965 sebagai dinamika perkembangan menjadi suatu bangsa. Dan peristiwa itu adalah fenomena dari peradaban yang rendah yang menjadi musuh kita bersama. Kita harus rendah hati menerima kenyataan itu. “Selama bangsa ini belum bisa menerima kenyataan sejarah dan keragaman Indonesia, maka bangsa ini belum beradab. Dan kita dalam proses menjadi Indonesia yang beradab masih lama,” kata Salim Said.       Ariel dengan tegas menyatakan berbeda pendapat dengan Salim Said soal bangsa yang beradab. Ucapan itu mengingatkannya kepada kejijikan orang-orang Eropa ketika menjajah di tanah Hindia Belanda. “Mereka jijik melihat bangsa Indonesia: bangsa apa ini, kulitnya cokelat lagi. Ketika ada bangsa seperti Sukarno cs. yang mencoba memerdekakan diri, orang-orang asing itu kagum. Barangkali perlu dirumuskan ulang, kita yang justru kurang beradab sekarang tidak seberadab generasi tahun 1930-an itu,” kata Ariel.

  • Simposium 1965 Tanpa Kata Maaf

    MENTERI Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan mewakili pemerintah mengatakan akan berupaya menyelesaikan masalah pelanggaran HAM 1965, namun menegaskan tidak akan meminta maaf kepada siapa pun juga tentang masalah ini. Pernyataannya itu merespons gencarnya kabar tentang permintaan maaf pemerintah kepada PKI. “Menguak kembali G30S adalah pintu masuk untuk menyelesaikan masalah HAM di Indonesia. Saya sebagai Menkopolhukam akan mempertaruhkan apapun untuk penyelesaian ini. Namun ingat, pemerintah tidak bodoh untuk melakukan permintaan maaf ke sana-ke mari,” kata Luhut sekaligus membuka simposium nasional “Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan” pagi tadi di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat. Simposium nasional yang diselenggarakan selama dua hari, 18-19 April, itu merupakan simposium pertama tentang peristiwa 1965 yang disponsori oleh lembaga negara setelah puluhan tahun tak pernah menjadi perhatian pemerintah. Kantor Kemenkopolhukam bekerjasama dengan Komnas HAM, Dewan Pers, dan Dewan Pertimbangan Presiden mengundang berbagai kalangan, baik dari korban, penyintas dan juga pelaku untuk turut duduk bersama membicarakan apa yang terjadi limapuluh tahun yang lalu. “Dua kubu, yang saya sebut golongan anti-PKI dan golongan warga eks PKI, hari ini dapat berbicara bersama, dengan setara. Forum itu akan memberikan kesempatan bagi berbagai pihak untuk menafsirkan sejarah secara jernih, juga memberi kedalaman pemahaman tentang tragedi 1965,” ujar Letjen (Purn) Agus Widjojo, gubernur Lemhanas yang juga ketua panitia simposium. Letjen (Purn) Sintong Panjaitan yang pada saat operasi penumpasan PKI 1965-1966 bertugas sebagai komandan peleton RPKAD juga hadir memberikan kesaksiannya pada sesi pembukaan. Menurutnya jumlah korban pembunuhan massal terlalu dibesar-besarkan. Dia bahkan menantang para ahli sejarah untuk membuktikan jumlah korban yang mencapai ratusan ribu itu. “Saya menantang para peneliti untuk menunjukkan di mana kuburan para korban dari PKI,” kata Sintong. Sintong menolak jumlah korban yang mencapai jutaan yang dirujuk berbagai literatur sejarah. Bahkan Sintong meragukan temuan Tim Pencari Fakta yang dibentuk Presiden Sukarno dan Mayjen Soemarno. Tim Pencari Fakta itu menemukan jumlah korban mencapai 80.000. “Cari saja data 100 korban yang bisa dibuktikan secara otentik,” ujar Sintong menantang. Pandangan Sintong tersebut berdasarkan pengalamannya semasa ikut operasi penumpasan PKI ke Pati, Jawa Tengah. “Pada 19 Oktober kami ditugaskan masuk ke Jawa Tengah, sebab daerah ini basis penyokong utama Dewan Revolusi karena basis PKI,” ujar Sintong. Menurutnya, di daerah Pati yang menjadi tempatnya bertugas, hanya ada satu orang yang ditembak mati. “Dia ditembak karna mencoba lari, dan ternyata itu orang kurang waras,” kata Sintong melanjutkan. Soal Jumlah Korban Keterangan Sintong ini berlawanan dengan keterangan Sarwo Edhie Wibowo, komandan RPKAD yang dalam sebuah wawancara pernah mengatakan jumlah korban pembantaian mencapai tiga juta orang. Ketika dikonfirmasi oleh seniman Arjuna Hutagalung tentang jumlah korban tersebut, Sintong mengelak memberikan keterangan. “Ah nggak benar itu, mana datanya,” kata Sintong sambil berlalu meninggalkan lobi hotel. Psikolog dari Universitas Indonesia Dr. Risa Permanadeli merespons pernyataan itu dengan mengatakan bahwa berapa pun jumlah dan angka korban bukanlah sesuatu yang penting. Menurutnya, lepas dari jumlah korban ada mentalitas destruktif yang diwariskan dari masa lalu Indonesia yang kelam terkait tragedi 1965. “Bukan masalah berapa korban. Bangsa kita terus-menerus memproduksi ingatan kelam yang entah sampai kapan berakhirnya. Dan ingatan itu selalu diwariskan dari masa ke masa yang membentuk siapa kita sebagai sebuah bangsa,” ujarnya. Sementara itu psikiater Limas Susanto menyatakan pengungkapan masalah 1965 juga penting dilakukan secara lebih beradab. “Pemberadaban tersebut bisa dengan mendengarkan pengalaman dari para penyintas. Dan untuk menuju hal itu, diperlukan pemimpin yang jujur dan bertindak berdasar fakta,” ujarnya. Pada sesi pertama diskusi dihujani banyak pertanyaan dan pernyataan. Sebagian besar datang dari pihak penyintas dan korban yang selama ini bungkam akibat stigma negatif komunisme produk pemerintahan Soeharto.

  • Pertemuan Penyintas 1965 Dibubarkan Kelompok Anti-Demokrasi

    PERTEMUAN penyintas 1965 yang tergabung dalam Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965-1966 (YPKP) di Kompleks Coolibah, Cipanas, Cianjur, Jawa Barat, 14 April 2016, diteror dan dibubarkan oleh organisasi massa, di antaranya Front Pembela Islam dan Pemuda Pancasila. Kepolisian dari Polsek Cianjur yang mestinya menjamin keamanan tak berdaya oleh tekanan massa antidemokrasi tersebut. Padahal, belum lama Presiden Joko Widodo memerintahkan agar menindak tegas kelompok-kelompok antidemokrasi. Para penyintas berjumlah sekira 80 orang dari Jawa, Sulawesi, Sumatera, dan Kalimantan, berusia 70-80 tahun tersebut akan dilibatkan dalam Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 di Hotel Aryaduta, Jakarta, 18-19 April 2016. Simposium ini terselenggara atas prakarsa Dewan Pertimbangan Presiden, Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Komnas HAM, Dewan Pers Indonesia, Institute for Peace and Democracy, Forum Silaturahmi Anak Bangsa, dan lima universitas. “Aksi teror dan pembubaran pertemuan penyintas dari YPKP 1965 ironisnya berlangsung ketika mereka sedang membahas inisiatif untuk simposium nasional tentang 1965 yang disponsori Menkopolhukham,” kata Reza Muharam, aktivis IPT65, kepada Historia. Reza menegaskan kejadian tersebut menunjukkan sekali lagi bahwa para penyintas 1965 dan keluarganya sejak setengah abad yang lalu masih saja menjadi korban stigma dan teror. Tujuan teror jelas untuk menciptakan rasa takut dan membungkam mereka yang menyuarakan kebenaran dan menuntut adanya keadilan menyangkut tragedi 1965. Pembubaran tersebut juga menunjukkan masih adanya kekuatan sisa-sisa Orde Baru yang tidak ingin kejahatan kemanusiaan 1965 ini diungkap ke publik secara terang benderang. “Namun, kami yakin upaya mereka untuk terus menutupi kasus 1965 pada akhirnya akan sia-sia. Kita hidup di era globalisasi informasi, Perang Dingin sudah lama selesai dan nilai-nilai hak asasi manusia dan demokrasi sudah menjadi standar universal bagi kehidupan bernegara dan bermasyarakat secara internasional,” kata Reza. Kejadian teror ini, lanjut Reza, hanya menunjukkan urgensi harus adanya penyelesaian kasus 1965 yang menyeluruh. Rekonsiliasi bukanlah metode untuk penyelesaian suatu kasus impunitas. Ia adalah produk akhir dari proses penyelesaian yang mengakomodir hak-hak korban, yaitu hak atas kebenaran, keadilan, reparasi dan adanya jaminan negara bahwa hal serupa tidak terulang lagi. Dan prasyarat bagi adanya proses menuju rekonsiliasi ini adalah diterapkannya azas kesetaraan secara hukum, dan adanya jaminan keamanan terhadap warga yang dilindungi negara. “Menkopolhukam jika serius hendak menjalankan instruksi presiden untuk ikut menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, sesuai dengan fungsinya harus ikut bertanggungjawab atas terselenggaranya jaminan keamanan itu,” kata Reza.

bottom of page