top of page

Hasil pencarian

9584 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Gubernur Jawa Barat Menolak Beras Belanda

    IKATAN Mahasiswa Papua di Bandung menggelar aksi solidaritas menyusul aksi polisi menangkap rekan mereka di Surabaya. Di tengah aksi, oknum anggota polisi menawarkan dua dus minuman kepada mereka. Polisi berdalih pemberian itu merupakan minuman penyegar. Setelah dibuka ternyata isinya minuman keras jenis wiski. Kontan saja mahasiswa Papua menolaknya. Selain dianggap merendahkan , bisa jadi minuman keras itu bermotif  jebakan. Modus serupa juga pernah dialami Gubernur Jawa Barat pertama, Soetardjo Kartohadikoesumo. Saat itu, iming-imingnya adalah beras. Pada September 1945, ketika tentara Sekutu menduduki Jawa Barat, krisis pangan tengah melanda. Keadaan rakyat yang kesulitan mendapat bahan makanan terpantau oleh Sekutu dan Belanda. “Waktu itu di negeri kita terjadi kekurangan beras. Belanda dengan perantaraan pimpinan tentara Sekutu menawarkan pemberian beras dengan gratis dalam jumlah yang agak besar,” kenang Soetardjo dalam memoarnya Soetardjo: “Petisi Soetardjo” dan Perjuangannya . Kendati demikian, Sekutu tidak memiliki otoritas berhubungan langsung dengan rakyat. Untuk itu, mereka membutuhkan perantaraan pemerintah Indonesia. Sebuah kesepakatan lantas ditawarkan kepada pejabat tinggi Republik. Pembicaraan segitiga antara pemerintah Indonesia, Sekutu, dan Belanda digelar. Pertemuan berlangsung di Gedung Merdeka Selatan (sekarang menjadi kantor Pertamina). Pemerintah Indonesia diwakili Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Walikota Jakarta Suwirjo, Ir. Surachman dari Departemen Perekonomian, Mr. Latuharhary dari Departemen Dalam Negeri, dan Soetardjo selaku Gubernur Jawa Barat sekaligus bertindak sebagai juru bicara pemerintah RI. Belanda melalui juru bicara Sekutu menawarkan pemberian beras secara cuma-cuma. Jumlah itu diperkirakan dapat mencukupi kebutuhan pangan rakyat. Soetardjo menilai tawaran itu sebagai jebakan politis. Ia menandaskan bahwa bangsa Indonesia sudah merdeka. Maka pemerintah RI-lah yang bertanggung jawab atas nasib rakyat di Jawa Barat. Soetardjo memutuskan untuk menolak pemberian beras Belanda. Meski tegas, tidak lupa sang gubernur mengucapkan terimakasih atas tawaran niat baik tersebut. Seingat Soetardjo, seorang perwira tinggi Inggris berpangkat mayor jenderal mencoba melobi dirinya. Si Jenderal mempertanyakan apakah Gubernur Soetardjo tidak takut bahaya kelaparan menimpa rakyatnya. Diperkirakan perwira tinggi tersebut adalah Mayor Jenderal Douglas Cyril Hawtorn. Dia merupakan komandan tentara Sekutu dari Divisi ke-23 British India Army. Sejarawan Frank Palmos dalam  Surabaya 1945: Sakral Tanahku mencatat, Hawtorn ditunjuk oleh Panglima Sekutu untuk Indonesia Letnan Jenderal Sir Philip Christison membawahkan wilayah operasi meliputi  Jawa, Madura, Bali, dan Lombok. Soetardjo tidak kalah cerdik. Sambil bergurau dia menimpali, “Bukankah dahulu pemerintah Belanda sendiri mengatakan bahwa rakyat kami, de inlanders , bisa hidup segobang sehari?” Mendengar jawaban Soetardjo, Sri Sultan Hamengkubuwono IX malah tertawa terpingkal-pingkal. Siapa nyana, di tahun berikutnya situasi berbalik. Pada April 1946, ketika terjadi kelaparan di India, pemerintah Indonesia justru mampu menyumbang 500 ribu ton beras.

  • Mabuk Pisang Kiriman

    Mia Bustam, pelukis yang tergabung dalam Seniman Indonesia Muda (SIM), senang bukan kepalang. Romo Verlaan, pastur yang bersama Suster Van Vliet rutin membina misa tiap minggu di Kamp Plantungan, memberinya kabar baik. “Ada paket dari Atik,” kata Romo Verlaan kepada Mia, menjelaskan Nasti (anak Mia yang tinggal di Yogyakarta) menitipkan kepadanya kiriman makanan. Bagi tahanan politik (tapol) di Kamp Plantungan seperti Mia, kiriman makanan merupakan sebuah kemewahan. Maklum, jatah makan mereka amat minim dan tak manusiawi. Untuk mendukung kebutuhan hidup para tapol di kamp, keluarga dan orang sekitar tak jarang memberikan bingkisan. “Tahanan politik diperbolehkan menerima surat dan kiriman dari keluarga, tapi sebelumnya harus melewati sensor dari penjaga kamp,” kata Amurwani Dwi Lestariningsing dalam buku Gerwani Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan. Sayangnya, sensor tersebut semena-mena. Kiriman dari keluarga sering berhenti di penjaga kamp dan tidak pernah sampai ke tapol. Kebiasaan itu, kata Mia dalam memoarnya Dari Kamp ke Kamp , sebagai korupsi kecil-kecilan dan tidak hanya terjadi di Plantungan, tapi juga Wirogunan. Petugas memeriksa kiriman dari keluarga tapol sambil mencomoti barang yang terlihat menarik. Hal itu dialami Sri Kayati, tapol lain di Kamp Wirogunan. Beras yang dikirimi keluarganya berhenti di petugas. Sri tak pernah menerimanya. Tapi ketika keluarganya mengirim nasi aking, kiriman itu sampai dalam kondisi utuh. Maka, begitu Mia mendapat kabar dari Romo Verlaan, dia amat senang dan tak sabar untuk segera mendapat panggilan dari petugas kamp sekaligus khawatir kiriman dari Nasti tak akan sampai. Pasalnya, Nasti sebelumnya pernah menitipkan surat sepanjang 9 halaman ke Romo Verlaan. Surat itu tak langsung sampai ke Mia. Komandan kamp membaca surat itu bolak-balik di rumahnya sebelum menyerahkan ke Mia. Panggilan yang Mia tunggu tak kunjung datang. Takut hal serupa terulang, Mia menghampiri petugas. Benar saja. Paket sudah habis dibagikan, kata petugas. Mia pun mengejar Romo Verlaan dan Suster van Vliet yang hendak pulang diantar komandan kamp. “Romo, tadi katanya ada kiriman tapi kok kata petugas tidak ada,” kata Mia. Seketika Romo Verlaan dan Suster berpandangan. Benar saja, Suster van Vliet yang dipasrahi membawa kiriman ternyata lupa. “Oh, pasti ketinggalan di kamar lain (di susteran, red. ),” kata Suster van Vliet sambil memegang kepala. “Sudahlah, Suster. Kirim saja paket itu ke rumah saya di Ambarawa. Dua minggu lagi saya akan pulang, jadi paket itu bisa saya bawa kemari,” kata komandan kamp. Dua puluh hari kemudian paket itu datang. Untung isinya bahan-bahan kering seperti teh, gula pasir, susu, dan lauk kering. Tapi 10 buah pisang rebus dalam plastik kadung berenang dalam air. Mia tetap membukanya. Eman , pikirnya. Ia cicipi sedikit dan ternyata rasanya manis sekali. Ketika airnya ia seruput sedikit demi sedikit sampai habis, seketika Mia kliyengan . “Air pisang itu telah beralkohol rupanya, seperti liquor pisang,” kata Mia.

  • Senjata Makan Tuan

    Para pejuang dalam Pertempuran Surabaya pada November 1945 mendapatkan senjata dari hasil melucuti tentara Jepang. Mereka menggunakan berbagai jenis senjata, dari senjata ringan sampai senjata berat. Namun, banyak di antara mereka yang tidak bisa menggunakannya. Sehingga banyak kejadian lucu sekaligus membahayakan. “Semua (senjata) jatuh ke tangan pejuang yang sebenarnya sama sekali belum menguasai peralatan itu,” kata Ruslan Abdulgani dalam Kebangkitan Jiwa Keprajuritan Nasional . Ruslan berada di Surabaya ketika pertempuran berlangsung. Ruslan masih ingat kejadian lucu, ketika sebuah tank merangsek ke kantor Kempeitai (polisi rahasia Jepang) di Jalan Gunung Sahari Surabaya, sementara dari luar orang berteriak “maju...tembak.." “Tetapi, tidak ada yang menembak, bahkan tank itu akhirnya mundur lagi. Alasannya, peluru yang dibawa keliru,” kata Ruslan. Di lain tempat, kejadian lucu namun makan korban terjadi ketika pemuda menyerbu penjara Koblen, Surabaya, yang diduduki tentara Inggris (Sekutu). Menurut buku Pertempuran Surabaya , serangan ke penjara Koblen terjadi pada 29 Oktober 1945. Pemuda API (Angkatan Pemuda Indonesia) yang bermarkas berdekatan dengan penjara, bersama rakyat dan polisi, menyerang penjara karena tersiar kabar orang-orang Jepang yang ditawan telah dipersenjatai oleh tentara Gurkha (Sekutu). “Menghadapi serangan massa, akhirnya pasukan Jepang sekitar 300 orang dan Gurkha yang bertahan dalam penjara menyerah. Dalam penjara terdapat orang yang diduga N ICA (Pemerintahan Sipil Hindia Belanda). Beberapa tentara Gurkha meninggal, yang menyerah digiring ke Seksi Polisi,” demikian tertulis dalam Pertempuran Surabaya . Buku terbitan Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI itu juga menyebut bahwa “granat tangan yang dilemparkan ke dalam penjara berhasil mengenai sasarannya dengan tepat.” Namun, menurut Asmadi, mantan tentara pelajar yang ikut dalam Pertempuran Surabaya, granat tangan kuning bikinan Jepang yang dilemparkan para pemuda kedalam kompleks penjara, tidak meledak. Mereka melemparkan lagi beberapa buah granat. Semua granat tidak meledak. Tiba-tiba, tentara Inggris mengembalikan granat kuning itu dari dalam penjara. Granat itu jatuh di tengah-tengah kerumunan pemuda dan meledak dahsyat. Para pemuda banyak yang menjadi korban. Menyusul granat kuning kedua, ketiga dan seterusnya, semua meledak dahsyat menyebar malapetaka. “Ternyata para pemuda menjadi korban kebodohannya sendiri. Mereka belum mengetahui seluk-beluk mempergunakan granat tangan. Dikiranya granat tangan akan meledak dengan sendirinya bila menyentuh tanah. Mereka tidak tahu bahwa granat tangan cukup baik pengamanannya dan tidak akan meledak walau dibanting sekalipun, selama pasaknya masih belum ditarik,” kata Asmadi dalam Pelajar Pejuang . “Setelah mengalami kejadian yang pahit,” lanjut  Asmadi, “segera diberikan kursus kilat tentang tata cara me nggunakan granat tangan, sehingga pengalaman yang memalukan dan mengundang malapetaka tidak terulang lagi.”

  • Papua, Hadiah Ulang Tahun untuk Raja Belanda

    KONTAK pertama bangsa Belanda dengan tanah Papua terjadi pada era perdagangan abad ke-19. Saat itu, Belanda sedang menjalin hubungan dagang dengan orang-orang yang ada di wilayah Maluku. Kehadiran orang-orang Belanda di perairan Maluku ini tidak dapat dirasakan langsung oleh penduduk Papua. Satu-satunya kesempatan untuk keduanya bertemu hanya saat Sultan Tidore meminta bantuan tentara Belanda memungut pajak dari penduduk di pantai Papua. Keterbatasan akses menuju Papua juga cukup merugikan Belanda karena mereka tidak dapat melakukan penjelajahan sumber daya alam di wilayah itu. “Penduduk pribumi Irian (Papua) tidak pernah mengalami upaya dari pihak Belanda untuk sungguh-sungguh menegakkan kekuasaannya di bumi mereka,” tulis H.W. Bachtiar dalam “Sejarah Irian Jaya” dimuat Irian Jaya: Membangun Masyarakat Majemuk . Barulah pada Juli 1828 untuk pertama kalinya pejabat Belanda mengupayakan penguasaan tanah Papua secara sungguh-sungguh. Di pantai selatan, sebelah utara Kepulauan Aru, berlabuh dua kapal Belanda. Salah satu kapal mengangkut A.J. van Delden, seorang komisaris pemerintah Belanda yang dikirim oleh Gubernur Belanda di Maluku untuk persiapan pembangunan benteng sebagai basis militer Belanda di tanah Papua. Dalam catatan yang dibuat oleh peneliti Belanda, J. Modera (1830), disebutkan bahwa benteng itu nantinya akan menjadi simbol kekuasaan Belanda atas tanah Papua. Sehingga tidak ada satupun bangsa yang boleh menganggu wilayah tersebut. “Kecuali daerah-daerah yang dikuasai oleh Sultan Tidore”. Van Delden, didampingi bawahannya J.J. Steenboom, memilih daerah di kaki gunung Lamenciri sebagai tempat mendirikan benteng. Ia beranggapan daerah itu mudah dijangkau kapal, iklimnya pun baik untuk para tentara, dan tanahnya sangat subur sehingga cocok untuk bertahan hidup. Setelah diputuskan, dimulailah pembangunan dengan menebang sebagian rimba di sana. Tidak lebih dari sebulan, benteng itupun akhirnya rampung. Pada 24 Agustus 1828, bertepatan dengan ulang tahun Raja Willem I ke-56, para pejabat mengadakan upacara peresmian benteng Belanda pertama di tanah Papua, yang diberi nama Du Bus . Salah satu rangkaian pada upacara tersebut adalah pembacaan proklamasi oleh van Delden sebagai perwakilan Kerajaan Belanda di wilayah Papua. Bagaimana bunyinya proklamasi tersebut? Dalam  Irian Jaya: Membangun Masyarakat Majemuk karya Koentjaraningrat, dituliskan: “Atas nama dan untuk Sri Baginda Raja Nederland…. bagian daerah Nieuw-Guinea (sebutan Belanda untuk Papua) serta daerah-daerah di pedalaman yang mulai pada garis 141° BT di pantai selatan sampai ke Semenanjung Goede Hoop di pantai utara, selain daerah yang dimiliki oleh Sultan Tidore, dinyatakan sebagai hak milik”. Setelah pembacaan proklamasi selesai dilakukan, bendera Belanda dinaikkan di puncak benteng dan sebanyak 21 dentuman meriam ditembakkan dari benteng tersebut. Maka sejak itu, resmilah Belanda menguasai Papua sebagai bagian dari jajahan kerajaan mereka. Pihak Belanda kemudian membuat sebuah perjanjian yang ditandatangani oleh Sendawa, Raja Namatotte; Kassa, Raja Lakahia; dan Lutu, penguasa Lobo dan Mawara. Ketiga orang itu masing-masing diangkat menjadi kepala daerah yang mewakili pemerintah Belanda di Papua. Selain mereka, diangkat juga 28 kepala daerah bawahan. Sementara  itu di Eropa, pembacaan proklamasi dari pegawai Kerajaan Belanda atas Papua dianggap sebagai tanda kedaulatan bagi tanah yang dimaksud. Tidak boleh ada yang mendekati atau beraktifitas di Papua tanpa seizin Belanda. Sehingga tanah Papua telah menjadi satu dengan tanah jajahan mereka di Hindia Belanda. Namun rupanya kehidupan di Papua tidaklah seperti yang dibayangkan para pejabat Belanda. Keadaan iklim di sana tidak sesuai dengan mereka dan sangat mengganggu kesehatan para tentara. Banyak korban berjatuhan akibat penyakit khas wilayah itu. Karena pertimbangan tersebut, pada 1835 pemerintah Belanda memutuskan membongkar benteng Du Bus dan secepat mungkin mencari tempat lain yang lebih baik untuk memenuhi kebutuhan para pejabat Belanda selama bertugas di Papua. Namun bukanlah perkara mudah menemukan tempat yang sesuai bagi mereka. “Baru dalam tahun 1861 pemerintah Belanda terpaksa mengambil keputusan untuk tidak mendirikan benteng baru di Irian Jaya. Usaha pertama untuk menegakkan kekuasaan Belanda di Irian Jaya untuk sementara mengalami kegagalan,” tulis Bachtiar.

  • Lahir Hanung, Negara Berkabung

    ROMAN Bumi Manusia sudah sangat “ personal ” buat Hanung Bramantyo. Tak heran jika membuat roman ini jadi film adalah beban untuk Hanung. Peraih dua Piala Citra sebagai sutradara terbaik 2005 ( Brownies ) dan 2007 ( Get Married ) mengaku sejatinya perkenalan pertamanya dengan Pram bukan lewat Bumi Manusia , melainkan Perburuan . Semua itu terjadi tak lain lantaran sejak kecil Hanung selalu heran mengapa setiap berulangtahun bendera merah-putih selalu berkibar setengah tiang. “Saya lahir 1 Oktober 1975. Tepat di Hari Kesaktian Pancasila. Sepuluh tahun sebelumnya terjadi peristiwa Lubang Buaya (Gerakan 30 September-1 Oktober 1965). Kalau jam 2 malam para jenderal diculik, ibu saya (10 tahun berselang) masuk ke bidan. Jam 6 para jenderal dimasukkan ke (sumur) Lubang Buaya, saya 1975 lahir,” tutur Hanung berkisah kala bertandang ke redaksi Historia, Selasa (20/8/2019) malam. Hanung kecil mencari tahu apa yang terjadi dengan bertanya kepada gurunya. Namun jawaban gurunya tidak memuaskan  Merasa tak puas penjelasan gurunya, ia pun bertanya kepada ibunya. “Bertanyalah saya pada ibu saya. Bu, kenapa lahir saya kok negara berkabung? Jawaban ibu saya, khas jawaban ibu-ibu pengajian Muhammadiyah zaman Orde Baru, ya pada saat itu negara sedang dikhianati. Bahwa ada pemberontakan PKI (Partai Komunis Indonesia). PKI itu siapa? Kata ibu saya PKI itu orang jahat,” kenangnya. “Stempel” orang jahat di pikiran Hanung kecil saat itu hanyalah penjajah Belanda. Maklum ia belum akrab dengan istilah PKI/Komunisme. Penjahat yang ia kenal sekadar penjajah Belanda di film-film maupun mata pelajaran sekolah. Maka dengan “modal” cap itulah ia turut menonton film Pengkhianatan G30S/PKI sejak mulai dirilisnya 1984. “Saya nonton betul-betul kepengin tahu apa itu PKI. Awalnya saya pikir PKI itu (penjajah) Belanda. Tapi kok (di filmnya) sama-sama orang Indonesia saling tembak-tembakan, saling bunuh-bunuhan ya. Habis itu saya tanya bapak, tapi juga enggak dapat jawaban yang serius. Sampai kemudian muncul (semasa) SMA karyanya Pak Pram yang dulu disebutkan kiri, Lekra dsb,” imbuh Hanung. Novel Pram pertama yang ia dapatkan di sebuah toko buku loak adalah Perburuan (1960). Mulanya ia juga menduga bahwa isi ceritanya berpusar pada orang-orang PKI yang diburu. “Tapi saya baca, kok tentang kemerdekaan Indonesia ya? Tentang Supriyadi, di mana kita mengertinya Supriyadi adalah pahlawan. Enggak ada yang berbahaya. Mana PKI-nya (di novel Pram)?" cetusnya. Jatuh Cinta pada Bumi Manusia Tamat membaca Perburuan sembunyi-sembunyi, ia ketagihan karya Pram sampai akhirnya menemukan Bumi Manusia . Lagi-lagi dia salah sangka, Hanung mengira Bumi Manusia kisah tentang manusia-manusia yang ditenggelamkan ke bumi sebagaimana halnya para jenderal dikuburkan ke dalam tanah di sebuah sumur di Lubang Buaya. “Pas saya baca, enggak ada sama sekali (perihal komunisme). Adanya tentang pribumi, penindasan dan lain-lain. Itu perkenalan saya dengan Pram. Setelah reformasi ada (buku-buku) reverse angle tentang G30S. Dari situ saya temukan jawabannya. Ya seperti (buku) Palu Arit di Ladang Tebu , pengakuan Pak Latief (buku Pledoi Kol. A. Latief ), akhirnya mulai terbuka semuanya. Oh, ternyata konflik. Baru saya membaca Bumi Manusia lagi dengan tenang. Sudah nemu titik poinnya,” sambung Hanung. Hanung Bramantyo pertama kali mengenal Pramoedya Ananta Toer dari novel Perburuan (Foto: Fernando Randy/Historia) Perlahan tapi pasti ia nge- fans berat dengan romannya. Ia jatuh cinta pada sosok Nyai Ontosoroh, gundik tuan tanah Belanda namun punya karakter yang kuat. Semasa kuliah perfilman di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), ia mencoba mendatangi Pram di Bojonggede sekira 2004 lampau. Hanung dengan harapan tinggi ingin minta izin “meminjam” sosok sang nyai untuk dibuat film pendek. Sayang, ia pulang tak hanya dengan tangan hampa, namun dengan dua pelajaran. Soal ini, ia menolak dimuat lebih dalam. Tapi penantian panjang Hanung tak sia-sia. Tetiba petinggi Falcon Pictures HB Naveen datang menyodorkan lembaran kontrak dan hak penggarapan film Bumi Manusia . Hanya tantangannya, bagaimana Bumi Manusia bisa diterima generasi kekinian. Hanung mengaku sedianya tak tega harus mengalihwahanakan novel itu ke layar perak dengan serentetan perubahan. “Ya karena saya nge-fans sama Bumi Manusia. Kalau novel lain mungkin saya tega,” katanya. Hanung harus putar otak agar roman dengan bobot berat itu bisa diterima pasar penonton Warkop DKI Reborn atau Dilan . Ia pun akhirnya mesti kompromi. Toh filmnya dimaksudnya sebagai film komersil. Terlebih jika sudah bicara film, bukan lagi keputusan satu orang laiknya novel yang hanya jadi tanggungjawab si penulis. Dalam film mesti menyatukan dua-tiga kepala: produser, sutradara dan atau penulis skenario. “Saya membayangkan, anak-anak SMA nge-tweet , posting Instagram dengan kata-kata: ‘ Dik, cinta itu indah ya, berikut tragedi yang menyertainya’ . Atau kata-kata: ‘ seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan ’. Bumi Manusia ini kan berbicara tentang penindasan. Ini menarik. Pembukaan UUD 1945 saja berbicara bahwa kita sebagai bangsa Indonesia tidak boleh jadi orang yang menindas,” lanjutnya. Alasan Memilih Iqbaal sebagai Minke Nah , untuk menggaet milenial metode mainstream -nya tak lain adalah merekrut aktor yang sedang nge-hits tentunya. Nama Iqbaal Ramadhan untuk memerankan tokoh utama, Minke, datang dari usulan sang penulis skenario, Salman Aristo. Meski mulanya mengaku kurang sreg, akhirnya Hanung menjatuhkan pilihan setelah melakukan “ fit and proper test ” pada pemeran Dilan itu. “Setelah ada pemutaran film Dilan , saya temui Iqbaal. Saya tanya yang simple. Kalau enggak bisa jawab, ya sudah, gone . Kalaupun Naveen memaksa, saya ‘mending’ mundur,” paparnya lagi. Pertanyaan pembuka, tentulah apakah Iqbaal tahu novel Bumi Manusia ? Hanung sempat terkejut lantaran nyatanya Iqbaal pernah meresensi roman itu dalam bahasa Inggris. Kebetulan saat sekolah di Kanada, salah satu guru mata pelajaran yang diikutinya meminta murid-muridnya meresensi novel-novel kenamaan dunia. “Dia minta ayah-ibunya mencarikan novel-novel bagus. Ketemulah ada Tenggelamnya Kapal van der Wijck, Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Bumi Manusia dll. Nah dia pilih Bumi Manusia . Kenapa? Katanya, ‘Lucu sih, mas, judulnya’. Sempat saya tersinggung luar biasa. Apa kamu enggak tahu Bumi Manusia dibuatnya di penjara dengan kepahitan segala macam? Dia enggak tahu. Tapi apa kemudian saya harus marah dan memuntahkana beban kepahitan itu ke anak 19 tahun?,” urai Hanung. Iqbaal Ramadhan (kanan) memerankan Minke dalam film Bumi Manusia(Foto: falcon.co.id) Terlepas dari soal itu, Hanung akhirnya memilih Iqbaal sebagai Minke. Jelas ia tak perlu lagi menyuruh Iqbaal membaca Bumi Manusia lagi. Justru Hanung ingin Iqbaal lebih mendalami karya-karya Max Havelaar dan mempelajari tokoh Snouck Hurgronje. “Dia kan sudah sesuai sebagai anak muda berkulit coklat. Dia juga pernah merasakan jadi minoritas saat sekolah di luar negeri. Tinggal jiwa menjadi budak di negerinya sendiri. Makanya saya minta dia untuk tidak boleh diladenin sama manajernya, meninggalkan fasilitas-fasilitas, masak dan mencuci sendiri, tidur di lantai, intinya jadi pembantu di rumahnya sendiri,” tandas Hanung. Jadilah filmnya diproduksi dengan mulanya berdurasi 4,5 jam yang tentu mesti dipangkasnya jadi 172 menit. Film yang diproduksi dengan halangan terbesar berupa waktu dan tantangan besar bagi egonya. “Buat saya film ini sebagai puncak karier saya, puncak pembelajaran. Rasanya seperti bikin film pertamakali. Jadi ego saya sangat tertantang. Rumus yang saya gunakan selama mengerjakan 20 film tak terpakai di sini. Seperti masuk lagi ke zaman saya awal-awal membuat film,” tandasnya.

  • Masyarakat Singhasari Pada Masa Kertanagara

    Singhasari mencapai masa jayanya ketika Kertanagara berkuasa. Kendati begitu tak banyak pembahasan mengenai kondisi sosial Singhasari selama 24 tahun masa gemilang itu. Kertanagara naik takhta pada 1268 menggantikan ayahnya, Wisnuwardhana. Situasi pemerintahan tertulis di berbagai naskah kesusastraan, khususnya akhir masa jabatannya yang sekaligus menjadi ujung nasib Kerajaan Singhasari. Pemerintahan Kertanagara dipuji dalam Kakawin Nagarakrtagama atau Desawarnana karya Mpu Prapanca pada abad ke-14. Pun disebut dalam Pararaton dari abad ke-15. Akhir riwayatnya juga tertulis singkat dalam beberapa catatan Tionghoa. Dinasti Yuan mencatatnya sebagai raja pemberontak yang harus diberi pelajaran. Namun, dari karya-karya itu, tak banyak informasi soal kondisi masyarakat. Catatan Sejarah Dinati Yuan sangat singkat membahasnya. “Penduduknya (Jawa, red. ) jelek dan aneh. Sifat alami dan ucapan mereka tak bisa dimengerti orang Tionghoa,” sebutnya. Dalam catatan itu diakui kalau mereka pun tak banyak mengetahui kebiasaan dan hasil produksi di Jawa. Mereka hanya tahu kalau segala sesuatu dari wilayah yang mereka sebut negara barbar di seberang lautan itu, umumnya adalah benda langka yang bernilai tinggi di Tiongkok. Sementara, dari sumber prasasti, sejarah sosial masyarakat masa itu lebih banyak terungkap. Itu seperti yang dikatakan peneliti EFEO,Arlo Griffiths. Prasasti yang dimaksud berupa prasasti Jawa kuno, Sanskreta, dan Melayu Kuno. “Kata Krom (N.J. Krom, arkeolog Belanda, red. ) totalnya ada 26 prasasti, di antaranya hanya lima yang punya info berguna soal Kertanagara,” kata Arlo ketika membicarakan penelitian terbarunya itu di Institut Français d'Indonésie (IFI) baru-baru ini. Artinya, kata Arlo, prasasti-prasasti yang dinilai tak berguna oleh Krom itu tak membicarakan Kertanagara. Meskipun dikeluarkan pada masa pemerintahannya. Isinya lebih kepada kondisi sosial dan informasi administratif pada masa itu. “Itu bukan informasi yang berguna kalau memakai sudut pandang Krom, tapi kenapa semuanya harus tentang raja-raja?” ujar Arlo. Misalnya, sebuah prasasti dari 1203 yang kini dijadikan nisan di situs Makam Panjang, Trowulan. Di sana hanya tertulis informasi soal penanaman pohon beringin. “Setidaknya bisa dibayangkan kalau dulu ada kegiatan menanam pohon di sana,” kata Arlo. Lalu dalam prasasti yang ditemukan di Vietnam dari Kerajaan Champa. Menurut Arlo, dari penanggalan candrasengkala yang terbaca, prasasti itu berasal dari 1196 Saka (1274).  Isinya tentang hubungan Kerajaan Singhasari dengan Kerajaan Champa. Adik Kertanagara, Putri Tapasi dinikahkan dengan Raja Jaya Simhawarman III. “Intinya, Putri Jawa punya koneksi dengan Champa. Jawa dan Champa kan bersekutu. Khususnya terlihat saat kedatangan pasukan Kubilai Khan,” kata Arlo. Berkat pernikahan politik itu, selain hubungan dagang yang meningkat, Jawa mendapat bantuan ketika pasukan Khubilai Khan datang. Raja Jaya Simhawarman waktu itu menolak armada Mongol transit untuk mengisi perbekalan di pelabuhan Champa pada 1292. “Bahasa Cham yang dipakai di pesisir juga mirip dengan bahasa Melayu. Saya pikir ini relevan, mungkin memang hubungannya erat. Kebiasaan memakai candrasengkala juga bukan kebiasaan di sana, tapi di Jawa,” kata Arlo. Lalu dalam prasasti tembaga, Prasasti Sanga yang lempengannya tak ditemukan lengkap. Prasasti ini juga tak diketahui penanggalannya. Namun dari gaya penulisannya, prasasti ini dibuat pada masa Kertanagara. Isinya tentang penganugerahan status sima terhadap Desa Sanga. Ada banyak profesi yang termasuk pelayan kerajaan yang terdata di sana. Itu seperti tukang mengawinkan kuda, sais atau pawang gajah, peternak burung puyuh. Mereka ini dilarang memasuki desa setelah desa itu berstatus sima. Ada pula keterangan pemberian anugerah atau hak-hak yang kini bisa dilakukan oleh penduduk desa. Itu misalnya, mengenakan payung putih, membunyikan bel siang dan malam, memiliki bangku dari pring gading, memakai bros emas. “Bisa diketahui juga kalau pada masa itu, pangeran boleh membagikan anugerah. Bukan hanya raja,” kata Arlo. Hal yang menarik, kata Arlo, ada di dalam Prasasti Parablyan yang tak bertanggal, tetapi menyebut nama Kertanagara. Di sana disebutkan pendamping spiritual Kertanagara adalah seorang ahli Yayurveda, salah satu bagian dari Kitab Veda, yang berasal dari Sekolah Madhyanditta. “Kalau kita ke India pada abad ke-13 hampir semua prasastinya menyebutkan adanya sekolah Veda. Itu tak biasa di Indonesia. Tapi dalam prasasti ini, pada masa yang sama, disebut Madhyanditta sebagai sekolah Veda,” kata Arlo. “Mungkin raja meminta Brahmin dari India untuk menjadi pengajar di sekolahnya.” Kemudian dari prasasti tembaga Patitihan, yang kini menjadi salah satu benda milik kolektor di Hong Kong. Lempengannya tak lengkap, sehingga tak ditemukan angka tahunnya. Namun, gaya tulisannya menunjukkan masa Kertanagara. Isinya unik. Bahwa pada masa itu terdapat sekelompok pedagang di Patitihan yang tergabung dalam sebuah asosiasi. Mereka melakukan penerimaan gadai, sehingga raja harus membuat aturan transaksinya. Terutama soal batas waktu, apakah tiga tahun, tiga bulan, ataukah tiga malam, sebelum akhirnya hangus. Lalu juga ada aturan jika barang yang digadaikan hilang. Misalnya, jika itu emas, maka harus diganti dengan barang yang ditaburi emas, sehingga sama bentuknya. Begitu pula dengan perak, harus dibuat supaya mirip. Sementara jika barang yang digadaikan adalah permata, maka harus diganti barang yang bernilai sama. Sejauh ini, Arlo melanjutkan, di Indonesia data-data prasasti selalu dikaitkan dengan raja-raja besar. Karenanya banyak data yang belum dikaji mendalam. “Mungkin karena pola pendidikan sejarahnya yang lebih senang membahas pemimpin, raja, dan urusan istana,” kata Arlo. Menurut Arlo, itu tak jauh dari warisan pendidikan masa kolonial. Hampir 100 persen pendidikan sejarah diturunkan dari cara Belanda.  “ Saya pikir orang Lamongan ( Lamoṅan ), misalnya, akan sangat senang jika tahu kalau nama kotanya sudah disebut dalam Prasasti Sanga , ” kata Arlo.

  • JA Latumeten, Psikiatris Nasionalis Kompeten Namun Kurang Beken

    KENDATI bergelar pahlawan nasional dan namanya diabadikan menjadi nama jalan yang membentang di depan RSJ Suharto Heerjan (Grogol, Jakarta) dan Rumahsakit Tentara (Ambon), nama Jonas Andreas Latumeten tak begitu dikenal orang. Padahal, jasanya begitu besar. Prof. dr. JA Latumeten, begitu ia dipanggil oleh rekan-rekan seperjuangannya, merupakan ahli jiwa generasi pertama. Tak banyak yang bisa diketahui tentang masa kecil pria kelahiran Ambon tahun 1888 itu kecuali dari keluarganya yang merupakan keluarga nelayan. Sebagaimana umumnya anak lelaki di Negeri (desa) Rutong, tempat tinggal keluarga Latumeten, dia sudah membantu ayahnya sejak belia. Latumeten tak hanya ikut melaut dan menangkap ikan, tapi juga ikut memasarkannya ke Kota Ambon. Dalam perjalanan ke Ambon, berjarak hampir 25 kilometer dari Rutong, itu seringkali ikan dagangan Latumeten diminta-paksa oleh aparat kepolisian atau birokrat kolonial. Pengalaman pahit itu menyemai kebenciannya pada Belanda.    Kendati kehidupan yang dilaluinya begitu keras, Latumeten tak ingin menyerah dan terus bersemangat dalam bersekolah. Ia akhirnya bisa masuk Stovia. Setelah lulus dari Stovia, ia bekerja di Rumahsakit Jiwa Lawang, Malang menjadi asisten dr. PHM Travaglino. Sambil bekerja, Latumeten kerap mengikuti pertemuan Jong Ambon dan aktif di Asosiasi Dokter Hindia. Pada 1919, organisasi ini menuntut peningkatan status profesional dokter pribumi. Mereka memprotes pemerintah kolonial yang tidak memberi izin praktik, gaji rendah (lebih rendah dari perawat Eropa), dan beban kerja yang lebih berat dibanding dokter kulit putih. Para dokter pribumi ditempatkan di pelosok di mana jumlah fasilitas medis amat minim. Pada Minggu, 2 November 1919, diadakan pertemuan besar yang menghadirkan beragam organisasi nasionalis, seperti Budi Utomo, Ambonsch Studiefonds, dan Sarekat Hindia. Dalam pertemuan itu, Latumeten ikut berpidato tentang nasib dokter pribumi di tengah sikap rasis pemerintah kolonial yang mendarah-daging. Ia mengajak para dokter pribumi untuk melakukan pemogokan di dinas masing-masing. Ia juga mencemooh kebijakan pemerintah yang melarang dokter pribumi membuka praktik meskipun sudah mengundurkan diri. “Kalau mereka melarang, anggap saja kami dukun. Tak perlu ada izin,” katanya, disambut tepuk tangan para peserta pertemuan. Meski aktif dalam gerakan nasionalis, ia tetap bisa mendapat beasiswa dari pemerintah Belanda. Pada 1922, Latumeten berangkat ke Belanda untuk melanjutkan studinya. Ia bisa dibilang orang Indonesia pertama yang mendalami kesehatan jiwa. Rekannya yang lain, seperti Mohammad Amir baru melanjutkan studi psikiatri tahun 1923. Sementara dokter asal Minahasa, Tom Kandou baru mulai mendalami ilmu ini pada 1931. Begitu sampai di Belanda Latumeten bergabung dengan Asosiasi Dokter Hindia cabang Belanda, hingga jadi ketua pada 1924. Ia juga aktif di Perhimpunan Indonesia. Ketika psikiatris Belanda yang bertugas di Indonesia, F. H. van Loon mengeluarkan tulisan tentang kondisi amok dan sifat orang pribumi, Asosiasi Dokter Hindia yang diketuai Latumeten mengeluarkan tulisan tandingan. Hans Pols dalam Nurturing Indonesia menyebut tulisan empat halaman yang diterbitkan organisasi itu tak lain karya Latumeten. Isinya menyerang pandangan van Loon dan mendekonstruksi argumennya. Van loon menulis tentang amok, kondisi marah tiba-tiba di depan umum dan terkadang bisa sampai membunuh. Ia menyebut, amok hanya terjadi di Hindia karena sifat manusianya masih primitif dan tidak bisa menahan emosi sehingga pertarungan fisik mudah terjadi. Latumeten menolak penyataan ini. Ia menyebut Van Loon bersikap tidak objektif dan penelitiannya terpengaruh prasangka rasial. Ia mempertanyakan sifat emosional dan tukang kelahi yang disebut van Loon. Pasalnya, di Belanda sendiri Latumeten sering menemukan perkelahian di depan bar atau di jalanan, baik tangan kosong maupun dengan pisau. “Kalau kami yang kelahi kalian sebut amok. Di sini, (di Belanda) disebut ekspresi budaya,” sindir Latumeten dalam tulisannya. Latumeten menerima gelar kedokteran Belanda pada 1924. Setahun berikutnya ia meraih gelar doktoral dalam bidang medis dengan disertasi “Over de Kernen van den Nervus Oculomotorius”. Setelah kembali ke Hindia, Latumeten tak banyak aktif di pergerakan secara politik. Ia lebih fokus pada pengobatan, khususnya untuk pribumi. Pada 1927 ia menjadi pengawas rumah sakitjiwa di Sabang. Tahun 1936, ia kembali bertugas di Rumahsakit Jiwa Lawang hingga pendudukan Jepang. Nasib apes menghampirinya pada Mei 1945. Latumeten ditangkap oleh Kenpeitai. Ia dijebloskan ke penjara. Buruknya perlakuan penjara membuatnya hampir mati kelaparan. Setelah Jepang kalah, ia hampir tak selamat karena di masa revolusi kecurigaan pada orang timur amat tinggi. Orang-orang Maluku Kristen sering dianggap pro-Belanda. Meski sejak dulu Latumeten getol memperjuangkan kemerdekaan Indoensia, karena jabatan tingginya di RSJ Lawang, orang Ambon, dan Kristen, ia sempat jadi tahanan anak-anak muda pro-republik meski tidak lama. Pada awal tahun 1946, Latumeten diangkat menjadi profesor psikiatri di Sekolah Tinggi Kedokteran  (cikal bakal FK UI). Di usia senjanya, ia masih dipercaya sebagai Inspektur rumahsakit jiwa di Kementerian Kesehatan Indonesia dan anggota Dewan Petimbangan Agung, bersama rekannya sesama dokter, Radjiman Wedjodiningrat. Latumeten tak lama memegang posisi ini. Menurut Pramoedya Ananta Toer dalam Kronik Revolusi Indonesia, perlakuan buruk di penjara Jepang rupanya merusak kesehatannya. Latumeten akhirnya meninggal dunia di Rumah Sakit Perguruan Tinggi Djakarta pada 30 Mei 1948 dalam usia 60 tahun.

  • Peristiwa di Malang yang Terus Dikenang

    LANTARAN sering melihat suaminya terpingkal-pingkal ketika menceritakan pengalamannya tak lama setelah proklamasi kemerdekaan, Raden Roro Utami Ramelan (kemudian dikenal sebagai Utami Suryadarma; rektor Universitas Res PUblica 1964-1966) menuslikan pengalaman lucu suaminya, Suryadi Suryadarma (KSAU 1946-1963), itu dalam memoar berjudul Saya, Soeriadi dan Tanah Air . Pengalaman itu terjadi di Malang. Setelah mendapat tugas membantu Kepala Staf Umum TKR Letjen Urip Sumohardjo menyusun Tentara Keamanan Rakyat (TKR), termasuk TKR Djawatan Oedara, Suryadarma ditugaskan Urip ke Jawa Timur untuk mengkonsolidasi beragam kelompok perjuangan setempat guna dilebur ke dalam TKR. Ditemani Adisutjipto, Suryadarma berangkat ke Surabaya beberapa hari menjelang 10 November. “Maka di Surabaya, ketika mereka berdua sudah bertemu-muka dengan pimpinan pertempuran, mereka memberikan berbagai penjelasan yang diperlukan,” kata Utami dalam memoarnya. Suryadarma dan Adisutjipto lalu melanjutkan perjalanan ke Pangkalan Udara Bugis (kini Lanud Abdurrahman Saleh), Malang. Lanud ini merupakan lanud pertama yang dioperasikan Indonesia setelah merdeka. Adalah Mayor Mutakat Hurip, ketua Koordinator Badan Perjuangan eks militer, yang membuatnya bisa dioperasikan lantaran berhasil melakukan pengambilalihan persenjataan –mulai dari senjata penangkis udara, persenjataan detasemen pengaman lapangan, hingga 105 pesawat di lanud– dari pihak Jepang di bawah Kolonel Katagiri pada September 1945. Setelah beroperasi, Hendro Suwarno ditunjuk menjadi komandan pangkalan oleh Kolonel Sujai dari Divisi VII. Lantaran masa revolusi, di mana hampir semua segi masih dirintis dari nol, penunjukan Hendro pun berjalan lucu. “Hendro Suwarno pangkatnya apa?” tanya Sujai. “Wah, nggak ngerti. Lha, Pak Jai pangkatnya apa?” jawab Hendro. “Ya kolonel. Kalau begitu, Mas Hendro Letnan Kolonel.” “Lalu, apa kerjanya?” tanya Hendro. “Begini saja, saya pegang bagian pendidikan, you pegang operation. Komandan pangkalannya Hendro Suwarno. Yang lain, ya berpangkat mayor saja,” kata Sujai, dikutip Irna HN Soewito dkk. dalam Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950 . Letkol Hendro itulah yang berupaya ditemui Suryadarma dan Adisoetjipto. Maka, begitu sampai Lanud Bugis, keduanya langsung menuju kantor Hendro dan diterima ajudan sang komandan dengan sebilah katana di pinggang. Keduanya dipersilakan menunggu. Setelah cukup lama menunggu, keduanya dipersilakan masuk ke ruang kerja Letkol Hendro. Alih-alih langsung menemui kedua tamunya, Hendro justru menanyakan siapa sang tamu kepada ajudannya. Sang ajudan lalu meneruskan, “Siapa Anda?” Selanjutnya, dioalog antara tamu dan Hendro pun berlangsung terus-menerus melewati perantaraan ajudan. Hal itu membuat Suryadarma dan Adisoetjipto selalu menahan tawa setiap kali melihat ajudan datang. “Soeriadi dan Adisoetjipto tahu persis bahwa si komandan sedang meniru seorang komandan tentara Jepang yang berhadapan dengan seorang pribumi,” kata Utami. Semuanya berakhir ketika Suryadarma menjelaskan bahwa dirinya merupakan utusan Kepala Staf Umum TKR Letjen Oerip. Mengetahui tamunya adalah orang yang lebih tinggi pangkatnya, Hendro langsung menghampiri Suryadarma dan Adisoetjipto sambil meminta maaf. “Soeriadi dan Adisoetjipto tidak dapat lagi menahan gelinya, dan meledaklah tawa mereka terbahak-bahak. Komandan pangkalan malu sekali, apalagi setelah mengetahui ia sedang berhadapan dengan pucuk pimpinannya sendiri,” sambung Utami.

  • Menolak Penaklukkan Jawa atas Malayu

    Bupati Dharmasraya, Sutan Riska Tuanku Kerajaan, menolak narasi penaklukkan dalam penulisan sejarah Ekspedisi Pamalayu. Ekspedisi ini adalah sebutan bagi pengiriman arca Amoghapasa oleh Raja Singhasari, Kertanagara, kepada Raja Malayu di Dharmasraya. Jika dikonversikan ke penanggalan Masehi, ekspedisi itu terjadi pada 22 Agustus 1286. Sutan Riska mengatakan dalam beberapa penulisan sejarah, Ekspedisi Pamalayu kerap disamakan dengan operasi penaklukkan Singhasari atas Malayu atau secara luas, Jawa atas Sumatra. Konon, utusan Raja Kertanagara dengan sejumlah pasukan datang ke Kerajaan Malayu membawa Arca Amoghapasa untuk menduduki wilayah itu. "Ada yang aneh dengan narasi penaklukkan ini. Jika memang menaklukkan mungkinkah membawa arca Amoghapasa? Sementara Amoghapasa itu lambang kasih sayang," kata Sutan Riska saat membuka Festival Pamalayu di Museum Nasional, Jakarta, Kamis (22/8). Belum lagi, lanjut Sutan Riska, Raja Malayu, Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa juga bersedia menyerahkan dua putrinya, Dara Petak dan Dara Jingga untuk dibawa serta ke Jawa. "Apakah itu sebuah penaklukkan?" tanya Sutan Riska. Sutan Riska mengkhawatirkan narasi itu berisiko memecah belah persatuan antarpulau di Nusantara. Baginya, Ekspedisi Pamalayu lebih kepada perjalanan utusan Singhasari untuk menjalin persahabatan dengan negeri Malayu. "Jadi, ini narasi peristiwa persahabatan diubah jadi sebuah penaklukkan. Nanti melalui festival kita semai benih baru," kata Sutan Riska. Keyakinan Sutan Riska didukung pula oleh keterangan dari Prasasti Padang Roco yang dipahat pada alas arca Amoghapasa. Disebutkan pada 1208 Saka (1286) arca Amoghapasa dengan 14 pengiringnya serta tujuh ratna permata dibawa dari Bhumi Jawa ke Swarnabhumi atau Sumatra.  Arca itu dikirim supaya ditegakkan di Dharmasraya. Ia adalah hadiah dari Sri Maharajadhiraja Kertanagara kepada rakyat Dharmasraya. Untuk mengantar arca itu, Kertanagara menunjuk Rakryan Mahamantri Dyah Adwayabrahma, Rakryan Sirikan Dyah Sugatabrahma, Samagat Payanan Han Dipankaradasa, dan Rakryan Damun Pu Wira.  "Harapannya semoga hadiah itu membuat segenap rakyat bergembira. Ini disebutkan jelas dalam prasasti. Jadi bukannya membuat rakyat sedih, murung, atau ketakutan," kata Bambang Budi Utomo, arkeolog senior Pusat Penelitian Arkeologi Nasional ketika ditemui usai acara. Menurut Bambang, jika kemudian dikisahkan sampai membawa banyak prajurit, itu untuk keperluan mengawal hadiah dan para pejabat yang mengantarnya. Artinya bukan untuk keperluan militer.  "Salah satunya pengisahan di Pararaton  memang membikin kabur. Tapi sebagai sumber tentu lebih otentik prasasti," kata Bambang. Ekspedisi bukan Ekspansi Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sebagai pembicara kunci dalam diskusi itu menjelaskan, istilah ekspedisi dalam historiografi Belanda seringnya dipakai dalam konteks ekspansi perluasan wilayah.  "Istilah ekspedisi itu perlu ditinjau kembali. Kalau Belanda menamainya ekspedisi, itu berdasarkan perspektif mereka pada masa itu," kata Hilmar. Boleh jadi historiografi kekinian masih mewarisi historiografi kolonial. Karenanya istilah ekspedisi masih dipakai. "Itu biasa dalan historiografi," kata Hilmar. Kenyataannya, Hilmar melanjutkan, Kerajaan Singhasari ketika itu tidak dalam posisi dominan untuk menguasai kerajaan lain. Pamalayu sesungguhnya adalah perjumpaan antara dua kekuatan yang setara. Buktinya adalah pengiriman arca dan adanya hubungan pernikahan antara putri Malayu dan putra Jawa. "Dasar interaksi bukan saling mengalahkan tapi untuk kemakmuran," kata Hilmar. Menurut Hilmar, di antara kerajaan-kerajaan di Nusantara, khususnya pada masa Hindu Buddha tak ada satu kekuatan yang lebih menonjol dibandingkan lainnya. Bahkan Majapahit sebagaimana disebut dalam Desawarnana atau Kakawin Nagarakrtagama  yang ditulis Mpu Prapanca pada abad ke-14. Kekuasaan kerajaan yang disebut hampir meliputi Nusantara itu bukan berarti karena sukses mengalahkan kerajaan lain dan mendudukinya. "Itu adalah bentuk pengakuan lokal terhadap kekuatan Majapahit. Bukan kalah-mengalahkan, kuasa-menguasai," kata Himar. Begitu pula dalam kasus Pamalayu. Lewat pemahaman yang lebih baik, peristiwa Pamalayu merujuk pada perjalanan utusan Singhasari ke Malayu untuk membuka hubungan kerja sama. "Dalam semangat ini kita perlu melihat lagi hubungan-hubungan antardaerah pada masa lalu di Nusantara untuk memaknainya kembali," kata Hilmar.

  • Drama di Gunung Dora

    AWAL Februari 1948, sesuai kesepakatan Perjanjian Renville, Divisi Siliwangi harus meninggalkan kantong-kantong mereka di seluruh Jawa Barat dan menempati basis baru mereka di sebagian Jawa Tengah dan Yogyakarta. Sebagai pasukan laskar yang sudah melebur ke Divisi Siliwangi, Pasoekan Pangeran Papak (PPP) tak terlepas dari kewajiban tersebut. “Namun sesampai di Yogyakarta, ayah saya meminta agar sebagian besar personil PPP pulang kembali guna tetap meneruskan perlawanan terhadap Belanda di Garut,” ungkap Basroni (56), salah satu putra Mayor S.M. Kosasih (Komandan PPP). Kosasih yang diangkat menjadi staf di Markas Besar Tentara (MBT) Yogyakarta lantas menyerahkan kepemimpinan PPP kepada wakilnya, Letnan Dua Raden Djoeana Sasmita. Atas perintahnya pula, PPP kemudian membentuk komando gabungan  dengan beberapa kesatuan gerilya Indonesia lainnya di Garut: Pasoekan Taroenadjaja, Pasoekan Banteng dan Pasoekan Dipati Oekoer. “Mereka membentuk (Markas Besar) Gerilja Galoenggoeng, yang bermarkas di hutan Gunung Dora, Parentas (perbatasan Garut-Tasikmalaya), “ demikian menurut catatan A.H. Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Jilid VII: Periode Renville. Sebagai komandan MBGG, dipilihlah Letnan Dua Djoeana. Dia kemudian memilih beberapa eks tentara Jepang sebagai bagian dari tim-nya. Aboe Bakar/Masharo Aoki (koordinator eks tentara Jepang di PPP) dipilih Djoeana untuk membawahi pelatihan militer. Sedangkan untuk bagian intelijen dan operasi tempur, Djoeana tetap mempercayakannya kepada duo Korea: Soebardjo (Guk Jae-man) dan Komaroedin (Yang Chil Sung). MBGG sendiri ada di bawah koordinasi Brigade Tjitaroem, pimpinan Letnan Kolonel Soetoko. Namun pada Agustus 1948, Soetoko terciduk militer Belanda sehingga Brigade Tjitaroem kemudian berpindah pimpinan kepada Letnan Dua Tjoetjoe Adiwinata, pimpinan Pasoekan Taroenadjaja. “Selain menghadapi militer Belanda dan pasukan Negara Pasundan, MBGG juga bertugas untuk mengondisikan upaya penyusupan prajurit-prajurit Divisi Siliwangi dari wilayah Republik ke Garut dan Tasikmalaya,” demikian menurut buku Siliwangi dari Masa ke Masa yang ditulis oleh Tim Penyusun Sejarah Militer Kodam VI Siliwangi. *   Senin, 25 Oktober 1948. Gelap membekap Desa Parentas malam itu. Di markas MBGG, Djoeana, Aboe Bakar, Komaroedin dan Oesman, masih terlibat dalam pembicaraan serius sekitar pengkondisian pasukan penyusup dan pembahasan taktik untuk melawan pasukan Negara Pasundan dan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Sementara keempatnya melakukan pertemuan, di ruangan lainnya Soebardjo yang sedang sakit tengah berbaring. Di luar, penjagaan dilakukan oleh dua gerilyawan asal Korea, Adiwirio (Woo Jong Soo), Oemar (Lee Gil Dong) serta 4 orang Jepang, salah satunya kerap dipanggil Soenario.   Hingga lewat tengah malam (memasuki Selasa, 26 Oktober 1948), rapat masih terus berlangsung alot. Tepat pukul 01.30, tetiba terdengar rentetan tembakan. Bersamaan munculnya suara tembakan tersebut, tim buru sergap Yon 3-14-RI langsung mendobrak pintu gubuk tempat para pimpinan MBGG tengah rapat setelah sebelumnya berhasil melumpuhkan para penjaga. “Ayah saya yang sedang ngetik , tidak sempat meraih senjata. Mereka yang ada di ruangan itu kemudian langsung ditawan,” ujar Kandar, putra tertua dari Djoeana. Operasi penggerebakan Tim 3-14-RI itu berhasil menewaskan 3 orang Jepang dan meringkus Soebardjo, Aboe Bakar, Komaroedin, Oesman dan Djoeana. Sementara 2 orang lainnya yakni Adiwirio dan Soenario berhasil lolos. Namun menjelang siang, Soebardjo mencoba lari dan langsung dieksekusi. “(Soebardjo) tertembak mati…” tulis Djoeana dalam selembar catatan hariannya. Dengan tertembaknya Soebardjo maka berakhirlah drama di Gunung Dora. Haji Udin (83), masih ingat bagaimana keempat tawanan itu digiring dari Gunung Dora dalam tatapan duka para penduduk Parentas. Laiknya tawanan berbahaya, mereka diperlakukan sangat ketat: tangan dan leher diikat tali yang memanjang dan dipegang para prajurit 3-14-RI secara bergantian. “Saya melihat selain Pak Aboe Bakar, tawanan lain ditutupi mukanya dengan sarung, ‘ungkap Haji Udin yang saat itu masih berusia 12 tahun. Di Desa Pameungpeuk, tetangga Parentas, rombongan militer Belanda yang membawa 4 tawanan itu berhenti. Mereka lantas membakar rumah-rumah yang pemiliknya dicurigai sebagai antek kaum gerilyawan Republik. Menurut Emen (92), salah seorang saksi mata kejadian itu, penentuan dibakar-tidaknya suatu rumah didasarkan atas petunjuk seorang bumiputera yang ikut militer Belanda saat itu. “Kami tahu dia orang Panyeredan (tetangga Pameungpeuk). Tak kami sangka ternyata dia anjing Belanda,”ujar Emen. Seterusnya tawanan dibawa ke Ciharus (markas tentara Belanda di wilayah Wanaraja), lalu dibawa ke Jakarta. Menurut catatan harian Djoeana, mereka kemudian dipisahkan: Aboe Bakar, Komaroedin dan Oesman ditahan di Penjara Glodok sedangkan Djoeana dijebloskan ke Penjara Cipinang. * PADA Februari 1949, pengadilan militer Belanda di Jakarta memutuskan Aboe Bakar, Komaroedin dan Oesman dihukum mati sedangkan Djoeana hanya mendapat hukuman penjara seumur hidup. Pertengahan Mei 1949, ketiga eks tentara Jepang itu lantas dibawa kembali ke Penjara Garut. Menurut Yoyo Dasrio salah seorang jurnalis Garut yang sempat menelusuri kisah ini, dua hari menjelang hukuman mati dilangsungkan mereka bertiga membuat permintaan terakhir. “Saya dengar sendiri dari Lebe (penghulu agama Islam) yang mengurus mereka bertiga menjelang kematian, saat menjalani hukuman mati mereka ingin berpenampilan seperti bendera Republik Indonesia: memakai sarung merah dan baju serta celana berwarna putih,”ungkap Yoyo kepada saya pada 2015. Sabtu, 21 Mei 1949 (berdasarkan berita yang dilansir dari surat kabar Nieuwe Courant , 24 Juni 1949), Aboe Bakar, Komaroedin dan Oesman digiring ke kawasan komplek pemakaman Belanda (Kerkof) di Garut. Tepat di pinggir Sungai Cimanuk, mereka ditembak mati dalam penampilan seperti bendera Merah-Putih. Jasad mereka kemudian dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Pasirpogor, sebelum pada 1975 dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Tenjolaya, Garut.

  • Senjata Kena Guna-Guna

    Pada 10 Juni 1980 pukul satu dini hari.Pasukan Fretilin, yang menginginkan Timor Timur merdeka penuh, menduduki studio TVRI di Kota Dili. Mereka menembaki pos polisi. Suara tembakan itu membangunkan Jusuf Manggabarani, Komandan Brimob di Marcado, Kota Dili. Dia langsung mengambil senjata dan memberikan pistol kepada istrinya, Sumiati, yang juga seorang polisi wanita dan baru melahirkan. Jusuf mengumpulkan 16 anggota untuk merebut studio TVRI dan mengamankan anggotanya di pos penjagaan. Dia menaksir pasukan Fretilin berjumlah 32 orang. Jarak antara asrama Brimob dengan studio TVRI tidak jauh, namun jalannya berkelok-kelok karena perbukitan. Jusuf dan anak buahnya berangkat dengan mobil Datsun tua. Fretilin menembaki mobil itu. “Maju terus pantang mundur. Awasi segala arah dengan sigap. Awas, jangan ada yang menembak. Selama bersama saya yakinlah tak akan kena peluru. Maju saja. Lurus. Terus,” kata Jusuf dalam biografinya , Cahaya Bhayangkara . Setelah mobil berhenti. Jusuf memerintahkan anggotanya naik ke atas untuk memberikan bantuan kepada pos polisi yang diserang. Jusuf terus memantaunya. Tiba-tiba. Seorang anak buahnya berteriak, “Sial komandan…” “Sial kenapa?” “Senjata kita diguna-guna!” “Diguna-guna?” “Tidak bisa meletus!” Jusuf merayap dan mendekati anak buahnya itu. Dia mengambil senjatanya. “Sial apa? Mana magasinnya? Belum dipasang ini!” bentak Jusuf. Magasin belum dipasang mungkin karena buru-buru. “Siap salah komandan, belum dipasang,” kata anak buahnya yang segera mengambil magasin dari ransel dan memasangnya. “Apanya yang diguna-guna? Magasin belum dipasang,” kata Jusuf kepada anggotanya. Sambil tersenyum, mereka pun segera memeriksa senjatanya jangan sampai magasinnya belum dipasang. Pertempuran berlangsung sampai ayam berkokok. Seiring matahari terbit, Fretilin mundur. TVRI bisa dikuasai. Namun, beberapa anggotanya di pos penjagaan terluka, dua di antaranya, Kelau Nahak dan Marzuki, terluka parah. Jusuf memangku Kelau Nahak. “Bapak Bot (Bapak Besar). Maafkan saya komandante. Saya tidak bisa melindungi Komandante Polis Komando,” kata polisi asal Timor Timur itu. “Sudah begini kamu masih mikirin Komandan. Bertahanlah Kao nahak, kami berikan bantuan,” kata Jusuf. Namun, Kelau Nahak dan Marzuki tidak tertolong. Jusuf sedih karena istri Kelau Nahak belum lama melahirkan. Dia baru saja menjadi seorang bapak. Keberhasilan merebut TVRI dari Fretilin membuat Jusuf ditawari kenaikan pangkat kehormatan. Namun, dia menolak dan sempat diprotes anak buahnya. Namun, Jusuf meminta dia dan anak buahnya diberikan kesempatan sekolah. Jusuf bertugas di Brimob selama sepuluh tahun dari Dansat Brimob Polda Sulsera sampai Danmen II Korps Brimob Polri. Kariernya terus naik dengan menjabat Kapoltabes di Ujung Pandang kemudian Kapolwiltabes Bandung. Polisi spesialis daerah konflik ini kemudian menjabat Wakapolda Sulsel, Dankor Brimob Mabes Polri-Kapolda Aceh, dan terakhir menjabat Wakapolri.

bottom of page