top of page

Sejarah Indonesia

Advertisement

A.A. Maramis, Pejabat Republik Urusan Candu

Dia pencari dana ulung untuk kepentingan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sempat mamasok biaya angkatan perang kaum Republik di era revolusi.

22 Sep 2020

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Alexander Andries Maramis, menteri keuangan Republik Indonesia pertama. (Wikimedia Commons).

Diperbarui: 1 Jul

JIKA ada pejabat negara yang menjadi Menteri Keuangan Republik Indonesia berkali-kali, maka orang itu ialah Alexander Andries Maramis. Tokoh asal Minahasa tersebut menjabat sebagai bendahara negara sejak 25 September 1945 pada Kabinet Presidensial I. Maramis memangku lagi jabatan itu pada Kabinet Amir Sjarifuddin I (1947), II (1947), dan Kabinet Hatta (1948). Jadi, Maramis menjabat sebagai menteri keuangan sebanyak empat kali.


“Dalam jabatan tersebut, Alex Maramis menandatangani uang RI yang pertama. Uang tersebut adalah Oeang Repoeblik Indonesia, yang lebih terkenal dengan ORI,” kata Fendy E.W. Parengkuan dalam biografi A.A. Maramis, SH yang diterbitkan Depdikbud pada 1982.


Selain memprakarsai pencetakan ORI, Maramis bertugas mencari dana untuk membiayai angkatan perang Indonesia. Ketika itu, Indonesia berjuang mempertahankan kemerdekaan menghadapi Belanda yang menjajah kembali. Sebagai menteri keuangan (menkeu), Maramis mesti mengupayakan sendi-sendi keuangan negara mampu berjalan dengan baik.


Episode menarik dalam perjuangan Maramis dicatat oleh jurnalis kawakan Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil: Petite Histoire Jilid 3. Dari Maret hingga Agustus 1948, Maramis terkait dengan perdagangan candu atau opium trade. Akhir Februari 1948, Bung Hatta menginstruksikan Maramis untuk melaksanakan perdagangan candu ke luar negeri.


“Tujuannya ialah RI harus membentuk dana devisa di luar negeri guna membiayai pos-pos perwakilan RI di luar negeri, delegasi Indonesia yang berunding dengan pihak Belanda di Jakarta, dan membayar gaji para pegawai RI yang masih tinggal di Jakarta,” ungkap Rosihan.


Rosihan menuturkan, semula Jepang menyerahkan kepada pemerintah RI pabrik candu di Salemba, Jakarta pada September 1945. Di sana terdapat 24 ton opium mentah dan 1 ton opium yang diolah. Pemerintah Indonesia lalu mendirikan Djawatan Tjandoe dan Garam yang dikepalai oleh pejabat yang telah memegang jawatan itu dari zaman Belanda dan Jepang, yaitu Raden Moekarto Notowidigdo. Maramis dalam melaksanakan perdagangan perdagangan candu dengan luar negeri tentu berkoordinasi dengan Moekarto. Pada 26 Juli 1948, Maramis mengangkat Moekarto selaku koordinator buat urusan dagang candu Indonesia di Asia Tenggara dan Australia.    


Atas permintaan Kementerian Pertahanan, Maramis juga menyuplai opium kepada tentara untuk dijual ke luar negeri. Hasilnya, tentara membeli tekstil, bahan pangan, dan alat perlengkapan. Barteran semacam itu lazim saja terjadi di masa perang. Kalau kata Rosihan, “Ini revolusi, Bung!” 


Pada 10 September 1948, Moekarto ditahan oleh Belanda di Bandara Kemayoran. Dia ditangkap bersama Elkana Tobing yang mengaku sebagai juragan tembakau. Dari hasil interogasi aparat Belanda, Moekarto menyebutkan agen-agen opium yang beroperasi di Singapura. Nama-nama tersebut antara lain Tonny Wen atau Wen Kin To, Djaw Pok Li, Liong Min Lei, dan lain-lain. Mereka telah membeli opium sebanyak 8,5 ton seharga 3,8 juta dolar Singapura yang baru sebagian kecil dibayarkan. Sementara itu, sisanya yang bernilai S$2.593.000 belum diterima pembayarannya oleh pemerintah Indonesia. Pengakuan Moekarto itu membuat Maramis terpaksa menyingkir dan hengkang ke Amerika.  


Di luar negeri, Maramis tetap menjalankan perjuangan sambil bergerilya. Ketika Belanda melancarkan Agresi Militer ke-2, Maramis ikut menyokong Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) sebagai menteri luar negeri merangkap menteri keuangan. Bersama L.N. Palar, Maramis menghadiri sidang Dewan Keamanan PBB di Paris. Mereka memperkarakan aksi militer Belanda terhadap Indonesia  Kemudian di New Delhi, Maramis membentuk perwakilan Indonesia untuk badan “Pemusatan Keuangan”.


Jerih perjuangan Maramis berbuah manis. Pada Agustus 1949 diadakan Konferensi Meja Bundar (KMB) membicarakan penyerahan kedaulatan Belanda kepada Indonesia. Maramis diangkat oleh Bung Hatta sebagai penasihat delegasi RI di Den Haag, Belanda. Dan 70 tahun kemudian setelah peristiwa bersejarah itu, tepatnya pada 2019, pemerintah Indonesia menganugrahkan Maramis sebagai pahlawan nasional.*

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian

Advertisement

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy masuk militer karena pamannya yang mantan militer Belanda. Karier Tedy di TNI terus menanjak.
Alex Kawilarang Menolak Disebut Pahlawan

Alex Kawilarang Menolak Disebut Pahlawan

Alex Kawilarang turut berjuang dalam Perang Kemerdekaan dan mendirikan pasukan khusus TNI AD. Mantan atasan Soeharto ini menolak disebut pahlawan karena gelar pahlawan disalahgunakan untuk kepentingan dan pencitraan.
Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Tan Malaka pertama kali menggagas konsep negara Indonesia dalam risalah Naar de Republik Indonesia. Sejarawan mengusulkan agar negara memformalkan gelar Bapak Republik Indonesia kepada Tan Malaka.
Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Hubungan diplomatik Indonesia dan Belgia secara resmi sudah terjalin sejak 75 tahun silam. Namun, siapa nyana, kemerdekaan Belgia dari Belanda dipicu oleh Perang Jawa.
Prajurit Keraton Ikut PKI

Prajurit Keraton Ikut PKI

Dua anggota legiun Mangkunegaran ikut serta gerakan anti-Belanda. Berujung pembuangan.
bottom of page