- Nur Janti
- 4 Apr 2019
- 3 menit membaca
KAMPANYE antifeminis muncul pertengahan Maret 2019 di Instagram melalui akun Indonesia Tanpa Feminis. Akun tersebut mengampanyekan uninstall feminisme, Indonesia tidak butuh feminisme, dan “Tubuhku bukan miliku”. Kampanye yang disebut terakhir selain menegasi pandangan para feminis bahwa perempuan punya ototritas atas tubuhnya, juga bertentangan dengan desakan pengesahan RUU PKS baru-baru ini.
Per 4 April 2019, pengikutnya mencapai 2700-an akun. Namun, jumlah like kirimannya hanya sekira 300-an, jauh lebih sedikit dari jumlah pengikut akun tersebut. Kehadiran akun tersebut pun memancing komentar pengguna Instagram. Mayoritas mencibir kampanye antifemnisme yang diusung.
Menurut Julia Suryakusuma, penulis IbuismeNegara, kemunculan akun ini sudah lagu lama yang hanya menemukan platform baru, yakni lewat media sosial. Pada tahun-tahun sebelumnya, gerakan serupa bermunculan dari kelompok konservatif, seperti penentang pacaran, atau anti asing. Sebelum dibubarkan, Muslimah HTI bahkan secara terang-terangan menolak feminisme dalam demonstrasi mereka, seperti diberitakan Republika Online, Maret 2015.
Julia menuturkan kampanye yang dilakukan Indonesia Tanpa Feminis menunjukkan ketidakpahaman akun tersebut. Feminisme disederhanakan sebagai liberalisme Barat, dianggap membenci lelaki, suka bakar bra, lesbian, dan membenci kegiatan domestik. “Mau disodori fakta tentang feminisme, mereka tidak akan berubah karena tidak mau tahu,” kata Julia kepada Historia.
Selain mispersepsi tentang feminisme, menururt Julia, nalar kampanye akun tersebut, yang membenturkan Islam dan feminisme, amat keliru. Pasalnya, keduanya sama-sama membuka kesempatan bagi perempuan. Islam hadir membela hak perempuan ketika orang-orang di negara Arab masih menggangap perempuan sebelah mata. Soal hak waris, misalnya, semula tak ada, setelah Islam datang perempuan mendapat 1/3 bagian.
Pernyataan bahwa Indonesia tidak butuh feminisme pun menjadi wagu ketika orang-orang di balik akun ini justru menikmati usaha panjang para perempuan di masa lalu seperti kemampuan membaca, menulis, dan akses untuk menyalurkan pendapat. “Ironinya itu, mereka bisa bersuara juga akibat gerakan feminisme. Jadi, aneh-aneh-lucu,” kata Julia.
Sejak akhir abad ke-19, usaha pengentasan buta huruf bagi anak perempuan sudah dilakukan banyak tokoh perempuan, seperti RA Kartini, Dewi Sartika, dan Rahmah El Yunusiyah. Sementara gerakan perempuan dengan bentuk organisasi, tulis Ruth Indiah Rahayu dalam “Gerakan Perempuan Indonesia dalam Belenggu Historiografi Indonesia-Androsentris”, baru dikenal pada awal abad ke-20.
Di masa itu, kesadaran perempuan untuk memerdekakan diri dari penjajahan dan adat yang membelenggu mulai bangkit. Masalah yang disoroti pun melebar ke soal praktik kawin paksa, perkawinan anak, penelantaran keluarga, dan permaduan sewenang-wenang. Para permepuan berusaha mengatasi masalah ini lewat pembentukan Biro Konsultasi yang diketuai Maria Ullfah (menteri sosial RI pertama). Dari usaha bertahun-tahun tersebut, lahir Undang-Undang Perkawinan tahun 1974 yang mengatur pencatatan perkawinan, batas usia, dan taklik-talak.
Usaha melindungi perempuan dari kekerasan dalam rumah tangga menyusul diupayakan sejak 1997 dan berbuah sebuah legislasi: UU KDRT tahun 2004. Usaha ini tak mulus lantaran penentangan dari golongan konservatif Islam muncul sejak aturan itu diusulkan. Mereka menganggap kemunculan RUU KDRT berpotensi menghancurkan keharmonisan rumah tangga sehingga mesti ditolak.
Dalam bidang politik, para perempuan menuntut hak mereka untuk bisa memilih dan mengajukan diri dalam Volksraad. Meksi akhirnya hanya lolos sampai Dewan Kota, usaha ini menjadi bekal perjuangan hak politik perempuan ketika Indonesia merdeka. Jaminan akan hak dasar yang sama bagi semua penduduk juga diperjuangkan hingga lahir UUD 1945 pasal 27.
“Padahal, apa yang mereka kecam adalah apa yang diperjuangkan oleh para aktivis perempuan sejak lama. Saya yakin tidak banyak yang akan tertarik,” kata Julia. Sejak 25 Maret 2019, akun tersebut mengajak pengguna Instagram untuk memposting foto diikuti tagar uninstallfeminisme. Dari pantauan Historia, sejauh ini ajakan itu sepi peminat. Jumlahnya bisa dihitung jari, hanya sembilan kiriman.











Komentar