top of page

Sejarah Indonesia

Akibat Priyayi Berkunjung Ke

Akibat Priyayi Berkunjung ke Eropa

Ada yang diundang karena bakatnya, ada juga yang pergi karena mendapat hadiah dari pemerintah Hindia Belanda

15 Juni 2019

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Raden Saleh mengenakan pakaian dengan model kebaratan (wikimedia commons)

PERKENALAN masyarakat pribumi  dengan bahasa Belanda menjadi jalan untuk mengenal pengetahuan baru tentang negara lain. Selain itu, adanya pengajaran tentang atlas dunia juga turut mendorong hasrat para elit pribumi (termasuk bupati dan pejabat pemerintahan) untuk mulai berpergian ke luar negeri.


Walau umumnya membutuhkan waktu lebih lama untuk mempelajari bahasa, tetapi keinginan kuat telah mengantar mereka pada pengalaman besar yang tidak terlupakan. Biasanya setelah kembali ke tanah air, sebagian melanjutkan karir di pemerintahan sementara lainnya menjadi akademisi yang membangun tren intelektual Barat di dalam negeri.


Dalam bukunya Nusa Jawa: Silang Budaya Jilid I, Denys Lombard menulis ada sejumlah elit Pribumi di Jawa yang diberi kesempatan pergi ke Eropa. Di sana mereka melihat dan mengadopsi kebiasaan yang tidak ada di negerinya. Kemudian memperkenalkannya kepada masyarakat.


"Mereka ini merupakan lambang pertemuan intelektual antara kaum priyayi dan kebudayaan Barat. Perjalanan ke luar negeri yang masih sangat langka merupakan pesona yang dimimpikan semua orang" kata Irawati Durban Ardjo dalam Tari Sunda Tahun 1880-1990.


Raden Aria Natadiningrat, alias Raden Saleh Syarief Bestaman menjadi seniman Indonesia pertama yang mendapat kesempatan pergi Eropa dan tinggal di sana untuk waktu yang cukup lama. Sebagai bangsawan Semarang-Pekalongan, Raden Saleh mempunyai hubungan yang cukup baik dengan pemerintah Hindia Belanda. Hal itulah yang membuat jalannya menuju Eropa menjadi lebih mudah.


Namun lebih dari itu, Raden Saleh adalah pelukis yang bakatnya telahdiakui oleh orang-orang Eropa sehingga karirnya begitu terbuka di dunia Barat. Pada 1829 ia mendapat beasiswa belajar melukis ke Eropa, dan tinggal di Belanda, Belgia, Jerman, Prancis, hingga Aljazair dan India.


Dari keluarga bangsawan Banten, dua bersaudara Raden Aria Achmad dan Raden Aria Husein Djajadiningrat dikirim bersekolah di Prancis dan Belanda oleh orang tuanya pada awal tahun 1900-an. Hampir setengah dekade tinggal di Eropa, keduanya pulang dengan membawa pengetahuan barat yang sangat baik.


Aria Achmad kemudian menjadi bupati Batavia dan anggota volksraad(Dewan Rakyat). Sementara Husein Djajadiningrat memperoleh gelar doktor dalam bidang sastra dan menjadi salah satu intelektual penting dalam ilmu Sosial di Indonesia.


Sekitar tahun 1939-1940, bupati Ciamis, Kangjeng Raden Tumenggung Aria Sunarja, mendapat hadiah dari pemerintah Hindia Belanda berupa tiket kunjungan ke Eropa. Dia bersama istri dan seorang anaknya difasilitasi penuh untuk tinggal di sana. Negara-negara yang dikunjungi sang bupati, di antaranya Belanda, Prancis, Austria, Italia, dan Jerman.


"Hadiah itu diberikan untuk menghargai jasa-jasanya karena telah membantu pemerintah kolonial di wilayah Ciamis dan sekitarnya" tulis irawati


Sekembalinya dari Eropa, Aria Sunarja mulai mengadopsi beberapa bentuk kebaratan dalam kebudayaan lokal di wilayahnya. Seperti telihat pada pernikahan Rd. Sadiah Soenarya (putri bupati Ciamis) dengan Rd. Mohammad Hasan Kartadikusumah (putra jaksa Sukabumi) tahun 1938.


Saat itu pengantin pria menggunakan pakaian model takwa senting yang dibuka bagian depannya, dan dipadukan dengan model ves barat kerah tinggi berwarna putih di dalamnya. Pakaian itu dilengkapi dasi kupu-kupu putih, ditambah sapu tangan dan bunga anggrek di dada kiri khas masyarakat Barat.


Tidak berbeda jauh, pengantin wanita pun memakai beberapa aksesoris barat yang dipadukan dengan adat lokal. Pakaiannya tetap menggunakan kebaya tetapi hiasan di kepalanya menggunakan diadem (mahkota berlian) dengan tambahan sluier (kain tipis) di atasnya.


Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
Anak Tawanan Itu Bernyanyi “Nina Bobo”

Anak Tawanan Itu Bernyanyi “Nina Bobo”

Sukses sebagai penyanyi di Belanda, Anneke Gronloh tak melupakan Indonesia sebagai tempatnya dilahirkan.
Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Film perdana Reza Rahadian, “Pangku”, tak sekadar merekam kehidupan remang-remang lewat fenomena kopi pangku. Sarat pesan humanis di dalamnya.
bottom of page