top of page

Sejarah Indonesia

Aliansi Setengah

Aliansi Setengah Hati

Pasca Divisi Siliwangi hijrah, perlawanan-perlawanan terus berlangsung di Jawa Barat. Meskipun terkesan rapuh.

Oleh :
6 Februari 2018

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Salah satu kereta api yang menjadi korban sabotase Satoean Pemberontak 88 di Purwakarta. Foto: Arsip Nasional Belanda.

Gar Soepangat (89) selalu ingat kejadian itu. Suatu malam, ia memimpin satu seksi pasukan menyelundup ke Purwakarta. Dalam gerakan itu, selain berhasil menculik beberapa pejabat pemerintahan yang dibentuk Belanda, pasukannya pun berhasil menempelkan ratusan selebaran anti Belanda dan memasang bendera kecil merah putih di beberapa sudut kota.


“Besoknya dari radio, kami mengetahui Belanda sangat marah dengan aksi kami itu hingga mereka mendatangkan pasukan yang lebih kuat dari Jakarta,” kenang eks anggota gerilyawan Satoean Pemberontak 88 itu.


Sejak Juli 1948, situasi kemananan di Jawa Barat memang semakin kritis. Kendati sejak Februari 1948, Divisi Siliwangi sudah hijrah ke wilayah Republik, berbagai gangguan terhadap pemerintah sipil bentukan Belanda nyatanya semakin menggila. Alih-alih mengendalikan situasi, polisi dan tentara Belanda malah tersudut di pos masing-masing. Inisiatif penyerangan berpindah ke tangan kaum gerilyawan.


Kondisi tersebut menyebabkan Panglima Tertinggi Tentara Belanda di Indonesia Letnan Jenderal S.H. Spoor mencopot Mayor Jenderal Durst Britt dari jabatannya sebagai Komandan Divisi 7 December (Divisi C) dan menggantikannya dengan Mayor Jenderal (KNIL) E. Engles

“Mayor Jenderal Engles menemukan kenyataan pahit Jawa Barat merupakan ‘het centrum van de guerilla-activiteit in de Archipel’ (pusat kegiatan gerilya di Nusantara),” tulis Himawan Soetanto dalam Long March Siliwangi.


Namun kemajuan itu tidak serta-merta membuat para gerilyawan di Jawa Barat cepat puas. Untuk lebih mengefektifkan perlawanan, pada 17-19 November 1948, empat organ besar perlawanan di Jawa Barat yakni Satoean Pemberontak 88 (unsur Divisi Siliwangi), Barisan Banteng (unsur nasionalis), Bamboe Roentjing (murbais) dan Tentara Islam Indonesia (islamis) membentuk Pemerintah Rakjat Djawa Barat (PRDB). Mereka mengangkat Oya Soemantri untuk posisi pimpinan.


“Sebagai ujung tombak perlawanan didirikan pula Divisi 17 Agustus dengan pimpinan Letnan Kolonel Muhidin Nasution dari Bamboe Roentjing,”ujar Robert B. Cribb kepada Historia.


Kendati demikian, PRDB dan Divisi 17 Agustus tak pernah menemukan bentuk perlawanan yang kompak terhadap posisi Belanda. Selain ideologi, perbedaan taktik dan strategi pun menjadi masalah yang menjadikan organ-organ perjuangan tersebut tak pernah seia-sekata dalam tindakan. Misalnya, jika Bamboe Roentjing bermimpi Divisi 17 Agustus dapat menjadi kekuatan militer nyata pengganti Divisi Siliwangi yang hijrah ke kantong-kantong Republik di Jawa Tengah dan Yogyakarta, maka Barisan Banteng, Satoean Pemberontak 88 dan Tentara Islam Indonesia tidak demikian adanya.


Barisan Banteng dan Satoean Pemberontak 88 memaknai perlawanan mereka hanya sebatas perjuangan awal semata. Makanya mereka tetap konsisten dengan perlawanan-perlawanan psikologis lewat sabotase, kontra-intelijen, dan agitasi-propaganda. Sementara menurut C.van Dijk dalam Darul Islam, Sebuah Pemberontakan, Tentara Islam Indonesia memiliki agenda tersendiri secara politis yakni menjadikan Jawa Barat sebagai Darul Islam (negara Islam) yang tentu saja harus terbebas dari pengaruh Republik.


Pada 19 Desember 1948, Belanda melakukan agresi militernya yang ke-2. Situasi tersebut mengharuskan Divisi Siliwangi kembali ke Jawa Barat sesuai perintah kilat Panglima Besar Jenderal Soedirman. “Tentu saja SP 88 dan Barisan Banteng menyambut baik kedatangan kembali Divisi Siliwangi, sebaliknya Tentara Islam Indonesia dan Bamboe Roentjing bersikap dingin-dingin saja,” ujar Gar Soepangat .


Aliansi antar organ perjuangan pun semakin rapuh. Klimaksnya terjadi awal Agustus 1949 saat pemerintah Indonesia memerintahkan seluruh kekuatan bersenjatanya melakukan gencatan senjata menyusul Perjanjian Roem-Royen. “Tentara Islam Indonesia dan Bamboe Roentjing menolak keras perintah itu karena ketidakyakinan akan niat baik politik Belanda,” ujar Gar.


Perbedaan sikap tersebut otomatis membuat Divisi 17 Agustus bubar. Satoean Pemberontak 88 dan Barisan Banteng menyatakan loyal terhadap perintah para petinggi Republik. Sedangkan Bamboe Roentjing dan Tentara Islam Indonesia memutuskan untuk kembali ke hutan-hutan Jawa Barat guna kembali melakukan perlawanan terhadap Belanda dan Republik Indonesia. Sejarah mencatat, perlawanan Bamboe Roentjing baru bisa berakhir pada 1954 sedangkan pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia mencapai akhir riwayatnya pada 1962.

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
bottom of page