- Martin Sitompul

- 28 Agu
- 4 menit membaca
Diperbarui: 13 Okt
AMIR Sjarifoeddin tak tahu apa yang terjadi pada 17 Agustus 1945. Sementara Sukarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Pegangsaan Timur 56, Jakarta, Amir justru meratapi nasib di penjara. Meski absen dalam proklamasi kemerdekaan, Amir bukanlah orang kemarin sore dalam panggung pergerakan nasional. Tokoh sekelas Sukarno sekalipun pasang badan untuk membebaskannya.
“Sampai pula laporan kepadaku bahwa Amir Sjarifoeddin, salah seorang pemimpin dari gerakan bawah tanah, selama berminggu-minggu telah digantung oleh Kenpeitai dengan kakinya ke atas. Dia disuruh meminum air kencingnya sendiri. Dia takkan dapat tahan lebih lama lagi. Aku merundingkan pembebasannya dengan menegaskan kepada para pejabat yang bersangkutan,” kenang Sukarno dalam otobiografinya Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Amir ditangkap polisi intelijen Jepang (Kenpeitai) sejak Februari 1943. Sebelum ditangkap, Amir membentuk Gerakan Anti-fasis (Geraf) pada 1940, yang merupakan kelompok kiri anti-fasis. Kenpeitai kemudian mencurigai Amir berkomplot menggalang gerakan rahasia melawan Jepang. Sejak ditangkap, Amir dipenjara berpindah-pindah.Tindakan ini diambil Jepang untuk mencegah Amir dilarikan dari penjara oleh para pemuda simpatisannya. Dari Penjara Kalisosok, Surabaya, Amir dibawa ke ke Jakarta untuk mendekam di Penjara Salemba. Di Jakarta, Amir menjadi tahanan dari penjara ke penjara, mulai dari Salemba, Glodok, kemudian Cipinang. Dari Cipinang dipindah lagi ke Sukamiskin, Bandung, dan kemudian kembali ke Salemba.
Menurut Soe Hok Gie dalam tesisnya Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan, Amir mendapat tugas khusus dari pemerintah Hindia Belanda untuk membentuk gerakan bawah tanah melawan Jepang. Tawaran itu berasal dari Charles van der Plas, mantan gubernur Jawa Timur, diperantarai oleh P.J.A Idenburg, direktur pendidikan kolonial di Batavia yang juga mantan sekretaris kabinet gubernur jenderal. Atas kesediaannya membantu van der Plas, Amir diberi dana sebesar 25 ribu gulden dari pemerintah kolonial untuk menyusun jaring-jaring bawah tanahnya.
Amir, seperti disebut penulis biografinya, Frederick Djara Wellem, kemungkinan ditangkap karena ucapannya dalam perayaan natal 1942, di Kebun Binatang, Jakarta. Amir berpidato yang isinya mengecam pemerintah Jepang. Dalam sidang pengadilan di Surabaya, Amir dijatuhi vonis hukuman mati oleh Jepang. Menurut Johannes Leimena –sahabat Amir yang juga tokoh nasionalis Kristen–, Amir ditangkap dan dijatuhi hukuman mati dengan tuduhan mengadakan kegiatan mata-mata bagi sekutu. Leimena sendiri ikut ditangkap Kenpeitai dan dipenjarakan karena kedapatan mengunjungi Amir beberapa bulan sebelum Amir ditangkap.
“Melihat hukuman mati yang dijatuhkan atas Amir maka hampir dipastikan bahwa tuduhan yang dikenakan padanya adalah sebagai mata-mata musuh. Hukuman mati bagi seorang adalah hukuman yang layak pada masa perang,” ungkap Frederick dalam Perdana Menteri RI Amir Sjarifoeddin: Tempatnya dalam Kekristenan dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia.
Selama di penjara, Amir meratapi nasibnya yang mengenaskan sambil menunggu hari hukuman mati. Sejarawan Slamet Muljana disiksa di luar perikemanusiaan. Badannya kurus, kering dan tinggal tulang semata. Kerabat Amir, Sutan Gunung Mulia, seorang petinggi Bunkakyoku (Kementerian Pengajaran) mengetahui Amir dalam bahaya sehingga memberitahukan kepada Hatta, yang saat itu berkedudukan sebagai penasihat pemerintah pendudukan Jepang. Secara beranting, pesan untuk menyelamatkan Amir sampai kepada Sukarno. Hatta dan Sukarno lantas melobi Jenderal Nagano, panglima tertinggi Jepang di Jawa. Jika permintaan membebaskan Amir ditolak, maka dwitunggal Sukarno-Hatta enggan melanjutkan kerja sama dengan Jepang.
“Berkat gertak Sukarno, keputusan hukuman mati berubah menjadi hukuman penjara seumur hidup. Sedangkan tawanan-tawanan lain tetap menjalani hukuman mati,” tulis Muljana dalam Kesadaran Nasional: Dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan.
Di penjara pula Amir semakin memperdalam imannya sebagai seorang Kristen. Amir tekun mendalami Alkitab, tidak hanya Perjanjian Baru melainkan juga Perjanjian Lama, khususnya kitab para nabi. Kitab-kitab yang ditulis Nabi Amos, Yeremia, dan Yesaya begitu menawan hati Amir. Menurut Frederick, para pembawa misi Kristen dari Eropa membatasi pekabaran Injil tentang Perjanjian Lama ke koloni Hindia Belanda karena khawatir isinya sanggup mengobarkan semangat perjuangan kemerdekaan orang pribumi. Namun, dalam tahanan Jepang, Amir tak mengalami sensor dari aparat pengawas Jepang untuk membaca Alkitab seutuhnya.
Selain mendalami kitab para nabi dalam Perjanjian Lama, kegiatan lain Amir selama di penjara ialah memimpin ibadah dan memberitakan injil kepada teman-teman sesama tahanan. Di antara mereka yang mendengar pemberitaan Injil tersebut ada beberapa orang yang bertobat menjadi Kristen. Amir tampaknya telah membawa Injil ke tengah-tengah orang tawanan dalam penjara sehingga pekabaran Kristen itu bergema dalam penjara Jepang di Malang.
“Hal ini memperlihatkan kepada kita betapa besar kesetiaan Amir kepada imannya dan Tuhannya,” terang Frederick.
Meski demikian, tak kurang pula siksaan dan aniaya yang dialami Amir. Badannya kurus kering akibat diberi jatah ransum yang tak layak. Selain itu, Amir juga diinterogasi dengan cara digantung, persis seperti orang disalib terbalik, dengan posisi kaki di atas dan kepala di bawah. Beruntung dia lolos dari maut. Hingga hari-hari penyiksaan itu berlalu, Amir kehilangan akses terhadap informasi di luar tembok penjara, termasuk peristiwa penting seperti kekalahan Jepang dan proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Amir baru dibebaskan dua bulan setelah kemerdekaan Indonesia. Pada waktu itu, Sukarno dan Hatta sebagai presiden dan wakil presiden Republik yang pertama sedang menyusun kabinetnya. Para pemuda mendesak Sukarno-Hatta agar melibatkan Amir dalam pemerintahaan yang baru dibentuk itu. Menilik reputasinya, Amir tentu begitu diperhitungkan. Dia dikenal sebagai salah satu tokoh Sumpah Pemuda 1928, pada 1930-an mendirikan Partai Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), dan menjelang pendudukan Jepang menggalang gerakan perlawanan bawah tanah anti-fasisme.
Pada 1 Oktober 1945, Amir dijemput dari penjara di Malang. Hari itu, statusnya bukan lagi sebagai tahanan politik, tetapi sebagai seorang menteri. Amir ditunjuk sebagai Menteri Penerangan RI yang pertama. Ketika dibebaskan, Amir sendiri hampir tak percaya bahwa Indonesia sudah merdeka dan dirinya adalah seorang Menteri.
Pada hari terakhir di penjara, Amir diperlakukan dengan baik sekali. Tempat tidurnya dilengkapi kasur dan berkelambu. Makanannya pun berubah menu menjadi sajian nan lezat. Orang-orang memberitahunya bahwa dia diangkat menjadi menteri sehingga perlakuan kepadanya sangat istimewa. Setelah tiba di Jakarta, Amir baru yakin sepenuhnya Indonesia telah merdeka. Begitu pula dengan jabatan menteri yang melekat padanya. Namun, Amir tidak segera memangku jabatannya sebagai Menteri karena harus memulihkan kesehatannya lebih dulu.
Pada hari-hari berikutnya sebagai orang bebas dan pejabat tinggi negara, Amir memainkan peran penting dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Jabatan menteri penerangan saat itu memiliki kekuasaan dan otoritas yang sangat luas sebagai corong pemerintah Indonesia. Amir memegang jabatan menteri penerangan hingga 1946. Puncaknya, Amir ditunjuk sebagai perdana menteri Indonesia yang ke-2 pada 1947, dan menjadi tokoh yang memimpin delegasi Indonesia dalam Perundingan Renville 1948, hingga akhirnya terlibat dalam pemberontakan di Madiun yang sekaligus menuntaskan kiprah dan riwayatnya.*












Komentar