- Amanda Rachmadita
- 9 Jul
- 3 menit membaca
PERJUANGAN mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari Belanda berakhir dengan perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda. Perundingan berlangsung selama beberapa bulan sejak Agustus 1949 dan berakhir dengan pengakuan kedaulatan oleh Belanda atas Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 27 Desember 1949.
Selain Republik Indonesia dan Belanda, KMB juga dihadiri oleh perwakilan Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO), komite bentukan Belanda untuk mengelola RIS, dan wakil Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia (United Nations Commission for Indonesia atau UNCI). KMB membahas beragam bidang dalam beberapa komisi. Masing-masing delegasi menyiapkan perwakilan untuk berunding dalam komisi politik, keuangan dan ekonomi, militer, sosial hingga budaya.
Delegasi Republik Indonesia terdiri dari 57 anggota dan dipimpin oleh Mohammad Hatta. Di antara anggota delegasi, terdapat ayah dan anak, yakni Margono Djojohadikusumo dan Sumitro Djojohadikusumo. Keduanya menjadi anggota komisi keuangan dan ekonomi. Selain Margono dan Sumitro, anggota delegasi lain adalah Djuanda, Soejono Hadinoto, Soenario Kolopaking, Soetikno Slamet, dan Asmaoen.
Dalam komisi keuangan dan ekonomi, mereka membahas kebijakan ekonomi umum, moneter, perdagangan, valuta asing, bank sentral, pinjaman dan keuangan negara, pemulihan hukum dan perusahaan, serta lalu lintas darat, laut, dan udara.
Menurut Harry Poeze dan Henk Schulte Nordholt dalam Merdeka: The Struggle for Indonesian Independence and the Republic’s Precarious Rise 1945–1950, meskipun beberapa tokoh politik ikut serta dalam perjalanan ke Den Haag untuk mengikuti KMB, sebagian besar pekerjaan dilakukan oleh Hatta dan, pada tingkat yang lebih rendah, Sumitro Djojohadikusumo.
Margono pernah menjadi ketua Dewan Pertimbangan Agung serta pendiri dan Presiden Direktur Bank Negara Indonesia yang didirikan pada 1946. Sementara putra sulungnya, Sumitro, lulusan Sekolah Tinggi Ekonomi di Rotterdam, Belanda, dikenal sebagai ekonom muda yang kemudian menjadi menteri dalam bidang ekonomi dan keuangan. Latar belakang ayah dan anak itu dapat menunjang delegasi Republik dalam bernegosiasi tentang keuangan dan ekonomi.
Menurut John O. Sutter dalam Indonesianisasi: Politics in a Changing Economy, 1940-1955 Volume 2, komposisi delegasi Republik dalam komisi keuangan dan ekonomi di KMB memberikan jaminan bahwa kesepakatan yang ingin dicapai tidak akan didikte Belanda atau buatan tokoh kiri yang menjadi sasaran sentimen Amerika Serikat dan Sekutu di masa Perang Dingin. Lebih dari itu, para anggota komisi ini sebagian besar adalah orang-orang profesional dengan reputasi yang baik dan terkenal karena kebijaksanaan dan kesederhanaan mereka.
J. Thomas Lindblad menulis dalam Bridges to New Business, terdapat dua masalah keuangan dan ekonomi yang menjadi sorotan selama KMB, yaitu utang yang diambil alih oleh Republik Indonesia dari pemerintah kolonial dan posisi perusahaan-perusahaan swasta Belanda yang akan terus beroperasi di Indonesia. Pemerintah Belanda bersikeras untuk mendapatkan perlindungan agar menjamin pelunasan utang dalam bentuk hak suara dalam pembuatan kebijakan di Jakarta setiap kali kepentingan Belanda dipertaruhkan. Sementara perusahaan-perusahaan Belanda ingin terus melakukan bisnis seperti biasa.
“Intervensi yang diusulkan oleh Belanda dalam pembuatan kebijakan ekonomi di negara bekas jajahannya muncul sebagai salah satu poin ketidaksepakatan yang paling serius selama negosiasi di Den Haag... Delegasi Republik bersikeras bahwa intervensi yang terlalu jauh tidak sesuai dengan status Indonesia sebagai negara berdaulat,” tulis Lindblad.
Setelah proses perundingan yang panjang, pada 2 November 1949, delegasi Republik Indonesia dan Belanda menandatangani perjanjian keuangan dan ekonomi yang dikenal dengan nama Finec (Financieele en Economische Overeenkomst). Pasal 1 dalam perjanjian itu memerintahkan pemulihan penuh hak-hak hukum seperti yang ditetapkan di bawah pemerintahan kolonial, dengan Pasal 3 menawarkan jaminan terhadap nasionalisasi.
Berdasarkan Pasal 5, perusahaan-perusahaan Belanda berjanji untuk berpartisipasi dalam usaha patungan yang layak secara ekonomi dengan modal Indonesia, dan berdasarkan Pasal 12 (d) mereka setuju “untuk sesegera mungkin memasukkan orang-orang Indonesia yang cakap ke dalam manajemen (termasuk dewan direksi) dan posisi staf perusahaan” dengan maksud “nantinya di waktu yang tepat, sebagian besar personel pengawas perusahaan terdiri dari warga negara Indonesia”.
Besarnya utang yang akan diambil alih dari pemerintah kolonial merupakan masalah yang sangat diperdebatkan. Asal mula utang ini adalah pemisahan keuangan antara pemerintah Belanda dan Hindia Belanda pada 1867. Akibatnya, defisit anggaran pemerintah kolonial ditutupi oleh pinjaman dari pemerintah Belanda.
Lindblad mencatat, pada Maret 1947, utang internal pemerintah kolonial kepada Belanda mencapai 4 miliar gulden, dan jumlah ini kian meningkat dengan pengeluaran defisit pada 1947 untuk menutupi biaya agresi militer pertama. Perkiraan akhir utang kolonial, pada September 1949, mencapai 5,9 miliar gulden. Negosiasi selama KMB mengurangi jumlah ini menjadi 3 miliar gulden, meskipun 1,5 miliar gulden lainnya ditambahkan dari utang luar negeri pemerintah Hindia Belanda.
“Dengan demikian, pemerintah Republik Indonesia dibebani dengan beban utang yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah dekolonisasi. Indonesia membayar harga yang mahal untuk kemerdekaannya, terlepas dari kerusakan fisik dan hilangnya nyawa manusia selama revolusi,” tulis Lindblad.*













Pantas aja hutang Indonesia ribuan triliun, rupanya sejak penjajahan, pemerintah Indonesia sudah berhutang.
makanya sampai sekarang Indonesia utangnya tambah menumpuk, blm adanya dikeruk oligarki sampai hampir ounah