top of page

Sejarah Indonesia

Bung Karno Dan Sepakbola

Bung Karno dan Sepakbola Indonesia

Meski punya pengalaman kurang menyenangkan di lapangan sepakbola di masa kolonial, Bung Karno peduli dengan sepakbola nasional. Dia memprakarsai pembangunan stadion utama, mulai dari Lapangan Ikada hingga Gelora Bung Karno.

5 Juni 2025

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

...

Diperbarui: 16 Jun

PRESIDEN Republik Indonesia pertama Sukarno punya pengalaman kurang menyenangkan dengan olahraga sepakbola. Semasa bocah di Mojokerto, Sukarno acap dirundung anak-anak Belanda di perkumpulan sepakbola. Mereka enggan bermain satu lapangan bersama anak-anak pribumi seperti Sukarno. Alih-alih main bersama, Sukarno malah jadi sasaran olok-olok bernada rasis dari anak-anak Belanda.


“Anak-anak Belanda tidak pernah mau bermain dengan anak pribumi. Itu tidak mungkin dilakukan. Mereka adalah orang Barat yang putih seperti salju, yang murni, yang baik dan mereka memandang rendah kepadaku karena aku anak pribumi atau inlander. Bagiku klub sepakbola itu adalah pengalaman pahit yang tidak mungkin kulupakan,” tutur Sukarno dalam otobiografinya Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang ditulis Cindy Adams.


Kendati demikian, Sukarno bukan berarti presiden yang tidak menaruh perhatian sama sekali terhadap pengembangan sepakbola nasional. Pundit sejarah sepakbola Indonesia Dimas Wahyu Indrajaya mengatakan Bung Karno juga peduli untuk memajukan olahraga di Indonesia, termasuk sepakbola. Salah satunya dibuktikan dengan pembangan Lapangan Ikatan Atletik Jakarta (Ikada).


“Ikada itu pembangunannya karena keinginan dari Sukarno juga. Sebelumnya kan pada main bulakan, semacam lapangan biasa buat ngangon ternak. Nah, abis itu disulap jadi stadion, tapi lebih lumrah disebut Lapangan Ikada sih,” terang Dimas kepada Historia.id.


Harian Sin Po, 18 Juli 1951, memberitakan penggalian tanah pertama untuk pembangunan Stadion Ikada. Lapangan itu tidak dinamai stadion, dengan alasan untuk memperingati tradisi bulan September 1945 “Peristiwa Lapangan Ikada”. Itulah momen bersejarah ketika rapat raksasa pertama diadakan untuk menggelorakan semangat bangsa Indonesia dalam perjuangan kemerdekaan.

“Lapangan Ikada dikerjakan oleh N.V. Volkers sedang rancangannja dibuat oleh kantor arsitek Liem Bwan Tjie. Ongkos untuk pembikinan lapangan tersebut ditaksir berdjumlah satu djuta rupiah,” diwartakan Sin Po.


Menurut Dimas, Bung Karno gencar mengadakan penggalangan dana untuk menyukseskan pembangan Stadion Lapangan Ikada. Sebagaimana kebiasaan Sukarno untuk proyek-proyek besar yaitu dengan melobi para sponsor untuk mau menyumbangkan dana. Acara galang dana itu bahkan pernah digelar di Istana Merdeka pada 2 Juli 1951.


“Dalam sebuah jamuan makan malam, penggalangan dana yang diinsiasi Bung Karno berhasil meraup sebanyak Rp.1.160.000 dari sekira 50-an pengusaha sebagai modal pembangan Lapangan Ikada,” jelas Dimas.


Selama dekade 1950, Lapangan Ikada menjadi stadion kandang Timnas Indonesia. Selain sepakbola, Lapangan Ikada menjadi tempat perhelatan kejuaraan nasional cabang olahraga lain, khususnya untuk partai puncak seperti semi final atau babak final. Kegiatan non-olahraga semacam pawai akbar ataupun parade festival juga biasa diselenggarakan di Lapangan Ikada.


Pada 21 Februari 1951, untuk pertama kalinya Timnas Indonesia berlaga. Lawan yang dihadapi adalah kesebelasan Sino-Malay. Menurut Dimas, kesebelasan Sino-Malay ini merujuk pada negara Singapura sekarang, tapi saat itu belum merupakan tim nasional, hanya gabungan orang Tionghoa dan Melayunya Singapura. Pertandingan persahabatan ini digelar di Lapangan Bataviaasche Voetbal Club (BVC), tak jauh dari Ikada, dalam rangka persiapan Asian Games di New Delhi, India. Masyarakat Jakarta begitu antusias menyaksikan pertandingan ini.


“Kenyataan di dalam perasaan ini sangat diingini, dan keinginan ini rasanya telah diperoleh dihadapan mata kepala beribu-ribu penonton Jakarta, dan juga dihadapan Presiden Sukarno, Wakil Presiden Hatta, PM Natsir, dan lain-lain pembesar lagi,” ulas Aneka, No. 1, 1951.


Dalam penampilan perdana Timnas Indonesia itu, Bung Karno melakukan tendangan pertama untuk membuka pertandingan. Bukan dalam balutan pakaian olahraga, aksi itu dilakukan Sukarno masih mengenakan setelan jas putih lengkap dengan peci dan dasi. Dari tengah lapangan, Bung Karno menendang bola yang disambut sorak gempita penonton.


“Penampilan perdana Timnas Indonesia itu Sukarno yang kick off, yang buka match,” imbuh Dimas, “Itu pertandingan eksibisi hitungannya, tapi ditegaskan itu pertama kalinya Timnas bertanding terutama di kandang sendiri.”


Debut laga Timnas itu berujung manis. Kesebelasan Sino-Malay dicukur dengan skor telak 6-0. Kendati lapangan becek akibat diguyur hujan, Timnas Indonesia tampil trengginas. Pemain-pemain seperti Chaerudin (bek), Sidhi (gelandang tengah), Liong Haow (gelandan kiri), San Liong (kiri dalam), Soegiono (kiri luar), dan Witarsa (kanan luar) jadi bintang yang bersinar dalam pertandingan itu.


Di luar lapangan, Bung Karno lebih-lebih lagi mencurahkan perhatiannya bagi sepakbola maupun Timnas Indonesia. Bung Karno beberapa kali memberangkatkan Timnas Indonesia apabila hendak menjalani pertadingan atau uji coba ke luar negeri. Ketika Timnas Indonesia melakukan serangkaian uji coba ke Eropa Timur untuk persiapan Olimpiade 1956 di Melbourne, Bung Karno melepas keberangkatan mereka dengan terlebih dahulu mengundang jamuan ke Istana Bogor. Bung bahkan mewejangi pemain dengan saran unik agar mereka membawa nasi supaya bertenaga kala bertanding. Timnas Indonesia saat itu dilatih oleh pelatih asal Yugoslavia Toni Pogacnik.


“Waktu uji coba ke Eropa Timur, Asian Games, kualifikasi Piala Dunia lawan Cina, itu semua dilepas Sukarno juga kok. Sering Sukarno mah lepas atau nyambut atlet Indonesia,” beber Dimas.


Seiring waktu, Lapangan Ikada makin kurang representatif untuk dijadikan stadion utama. Lapangan Ikada bak kubangan ketika Timnas Indonesia menjamu Zenit, klub asal Uni Soviet pada 10 Januari 1960. Rumput Lapangan Ikada tak mampu menyerap air. Walhasil para pemain pada kepayahan mengolah bola ditengah lapangan yang becek berlumpur. Timnas Indonesia menelan kekalahan di akhir laga. Skor berakhir 1-4 untuk keunggulan tim tamu.


“Ini jadi salah satu poin alasan pemerintah bikin stadion yang baru, Gelora Bung Karno (GBK),” pungkas Dimas.


Sampai saat ini, Gelora Bung Karno menjadi stadion utama, terbesar, dan kebanggaan Indonesia. Ia menjadi kandang Timnas Indonesia, yang kini banyak dihuni oleh pemain-pemain naturalisasi berdarah Indo-Belanda. Termasuk pula pelatihnya yang seorang Belanda, Patrick Kluivert.*


2 Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian

uji24

Diedit
Suka

uji123

Diedit
Suka
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
bottom of page